i.iii. penantian menuju akhir september, 2014

351 42 91
                                    

Satu persatu kelopak mawar itu akan rontok. Merah sudah bukan lagi warna abadinya. Semuanya berubah. Semuanya sudah berubah ketika suara gemericik air dari hujan tidak juga membawa kabar baik. Tangkainya tetap berdiri. Tidak juga patah . Padahal sudah sangat lelah sesungguhnya.

"Aku lihat, akhir-akhir ini kau selalu datang berkunjung," ucap barista itu.

"Apa kamu tidak senang kalau aku jadi pelanggan tetap di sini?" tanya Naya.

Barista itu menggeleng. "Aku sangat berterima kasih. Tapi, bolehkah aku mengetahui sedikit alasan?"

"Sebenarnya tidak apa-apa, sih. Tapi, apa aku harus bercerita kepadamu?"

"Tidak juga bukan masalah."

"Baiklah, sedikit saja."

Naya menarik napasnya. Sesungguhnya ada pertemuan yang ia inginkan terjadi di kedai ini seperti malam itu. Namun, ia tidak tahu di mana laki-laki itu bersembunyi. Apa, semesta tidak suka kepadanya sampai-sampai memekatkan malam?

"Sebenarnya aku berharap bisa bertemu dengan Damara lagi di sini," ujarnya.

"Kenapa?"

"Tidak tahu. Sekali lagi saja."

"Apa kau merindukannya?"

"Hah?"

Semesta, yang benar saja. Mengapa orang-orang enteng sekali berbicara tentang rindu? Padahal, menurutnya, rasa yang tidak jelas muasalnya seperti itu tidak mudah untuk dipahami. Bahkan nalar dan nurani saja tidak bisa damai jika tahu itu adalah kasus tentangnya.

"Aku tidak tahu standar rindu itu seperti apa."

Barista itu sedikit ingin tertawa. Akan tetapi, ia berhasil menahannya. "Tidak ada yang namanya standar tentang rindu. Perasaan itu terlalu rumit. Jika kau merindukannya, tinggal rindukan saja. Tidak usah terlalu banyak dipikirkan."

"Aku memang tidak pernah bisa paham."

"Apa aku boleh memberikan sedikit saran?" tanya barista itu.

"Ya, tentu saja," jawab Naya.

"Sebaiknya kamu tidak usah terlalu berharap bisa bertemu dengan Damara lagi di sini."

"Kenapa?"

"Karena dia tidak suka kopi."

"Ah, aku lupa masalah itu."

"Tapi aku juga tidak akan melarangmu menantikan penantian di sini. Karena katamu, orang itu aneh. Aku juga sepakat, sih. Dia pasti akan kembali untuk segelas kopi."

"Aku juga berharap seperti itu."

"Aku ingat persis bagaimana tenangnya dia saat menghirup aroma kopi. Aku rasa dia benar-benar menyukainya."

"Padahal kopinya juga tidak kalah enak untuk dinikmati," ucap Naya sedikit tersenyum saat sedikit tapak tilas lepas landas di kepalanya.

"Benar-benar aneh."

Namun, satu malam lagi tak menemukan jawaban dari penantiannya. Entah kapan, entah sampai kapan semesta mempermainkan kita seolah-olah kita adalah dosa yang tidak penah dicintai. Namun, satu tangkai mawar yang sudah jatuh kelopaknya itu akan tetap berdiri.

***

Lepas bercerita kepada Tuhan dalam doa-doanya pada pukul 7.30, Damara mengambil rehat barang sejenak mengistirahatkan mata dan jari-jari tangannya yang mulai kebas. Di kantor sedang tidak ada apa-apa, dan perutnya sedikit lapar. Sambil menunggu makanan yang ia pesan untuk pulang bersama petugas servis, Damara sedikit memainkan ponselnya. Menggulir laman Twitter-nya untuk melihat-lihat.

"Sedang apa, Dam?" tanya seorang pria sedikit berumur yang duduk di seberang meja makan.

"Ah, Damara sedang main Twitter saja, Pak. Sambil menunggu makanan datang," jawabnya. Pak Asep adalah salah satu drafter senior di kantornya.

"Sudah berapa lama kamu lembur, Dam?"

"Jalan empat hari, Pak."

"Tidak lelah?"

"Lelah sebenarnya, Pak," ujar Damara pelan. Khawatir jika atasan mendengar keluhannya. "Tapi mau bagaimana, lagi, Pak. Tuntutan."

"Sebenarnya Bapak tidak tega melihat drafter muda sepertimu berkerja terlalu keras. Tapi, Bapak juga sedang ada proyek yang tidak bisa Bapak tinggalkan."

"Tidak apa-apa, Pak."

Tak lama pesanan Damara datang bersama petugas servis. Ia memesan sebungkus nasi padang.

"Apa Bapak memesan makanan juga?"

"Selagi kamu shalat tadi, Bapak sudah memesan terlebih dahulu."

"Kalau begitu, Damara ambilkan piring dan sendok."

"Terima kasih, Dam."

Damara dan Pak Asep bersantap nasi padang saat semesta banyak sekali berbicara dengan keheningan dan sesiul angin. Saat malam, ia bisa sedikit bersantai dalam rehat. Perusahaan tidak terlalu ketat ketika pekerjanya lembur sampai malam.

"Pak Asep."

"Ya, Dam?"

"Apa Damara boleh bertanya sesuatu?"

"Tentu saja."

"Kalau begitu, kenapa manusia perlu mencari kepantasan?"

Pak Asep sedikit terkejut dengan pertanyaan milik Damara. "Kenapa baru bertanya sekarang? Padahal cerita itu sudah Bapak ceritakan sejak lama, Dam."

"Tidak tahu saja, Pak. Tiba-tiba Damara jadi kepikiran."

Pak Asep senang sekali berkelana di salam serangkaian bahasa. Di setiap waktu rehat seperti ini, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada mendengar Pak Asep bercerita. Pernah sekali waktu ia menjabarkan sebuah perjalanan mengenai seorang laki-laki yang sedang berjuang memperjuangkan seorang perempuan. Katanya, ia tidak punya apa-apa. Akan tetapi, laki-laki itu selalu mencari kepantasan. Demi sebuah penerimaan yang sarat akan keseimbangan, baginya, yang selalu berada di bawah akan terus terinjak. Oleh ketetapan, oleh waktu, oleh manusia. 

"Apa semua itu demi kesetaraan?" tanyanya lagi.

"Itu betul. Tapi, kita tidak akan pernah bisa menang jika membandingkan sandal jepit dengan sepatu pantofel, bukan? Setidaknya, manusia kecil seperti kita hanya ingin diterima, Damara. Karena menurut Bapak, manusia itu sudah setara dengan kurang-lebihnya."

Damara lama diam. Jawaban itu seolah sedang merayu nuraninya. Yang dikatakan Pak Asep memang benar. Semesta memang tidak pernah memihak manusia kecil sepertinya. Ketetapan tidak pernah baik jika itu untuknya.

"Jadi begitu, ya, Pak?"

"Tapi itu hanya menurut Bapak, Dam."

"Mungkin yang dikatakan Pak Asep memang benar."

Pak Asep sedikit tertawa. Ia rasa, ada yang sedang berbeda di pikiran Damara. "Bapak hanya sok bijak, Damara. Setidaknya, di depan kau, Bapak harus telihat keren."

Setelah itu, Pak Asep lekas berdiri. Ia rasa sudah cukup istirahatnya. Pak Asep pamit terlebih dahulu kepada Damara untuk menyimpan piring kotor di dapur. Sedang Damara, laki-laki itu hanya diam dengan pikirannya. Setelah bertemu dengan gadis itu, ia tersadari sesuatu. Dilihat dari penampilannya, gadis itu terlihat jelas berbeda dengan dunianya. Akan tetapi, ia rasa tidak ada salahnya bertemu dengan gadis itu sekali lagi. Ya, nuraninya pasti sedang cemas saja.

***

jangan jatuh cinta,
katanya

Apa karena tidak ada jatuh
yang seindah terbenamnya matahari?
padahal tidak benar-benar begitu

ke mana penerimaan harus pulang?
tanyanya
apa karena menemukan perasaan yang
bingung itu tidak semudah menyelesaikan
kepingan teka-teki silang?

ke mana arah persimpang menunjuk?
di mana rumah agar penerimaan bisa pulang?
tidak,

ia akan tetap mencari-cari





UPDATE YEAAAY ✌
SELAMAT MEMBACA. HOPE YOU 😂😂

andai, jikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang