Jeon Meira tak pernah mengira bahwa dirinya akan dipersunting oleh seseorang disaat umurnya baru menginjak 19 tahun. Berdiri diatas altar pernikahan ketika umurnya masih semuda itu terasa begitu aneh. Belum seharusnya.
Ini perjodohan. Kolot memang...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Happy reading ♡
• • •
Meira terbangun dengan keringat yang membanjiri pelipisnya, dadanya naik turun, nafas pun tersengal-sengal. Tangan kanannya memegang permukaan dada, jantungnya terasa berpacu begitu cepat, ia ketakutan. Air mata Meira turut menetes membasahi pipi.
"Meira, ada apa?" Jimin ikut terbangun ketika merasakan pergerakan di sebelahnya. Raut wajahnya seketika berubah khawatir kala mendapati Meira yang tebangun dalam posisi duduk, ia melihat gadis itu menangis, tubuhnya bahkan gemetar.
Jimin beringsut lebih dekat, kedua tangannya meraih bahu Meira, lalu membuat gadis itu menghadap dirinya. "Meira, a-ada apa? K-kenapa kau tiba-tiba seperti ini?" Jimin panik, Meira terlihat begitu ketakutan, gadis itu masih menangis dengan mata yang terpejam kuat. Kedua tangannya berada didepan dada, saling meremas seakan menahan takut.
"Hei, sayang ... ada apa?" Suara Jimin melembut. Tanganya menyentuh pipi Meira, memberi usapan-usapan menenangkan sambil menghapus air mata yang membasahi pipi gadis itu. Jimin juga menyeka keringat yang masih menempel pada kening dan pelipis sang istri.
"Kau mimpi buruk?" Jimin melihat jam, ini masih menunjukan pukul 2 dini hari. Ia yakin Meira pasti baru habis bermimpi.
"Jim ... A-a-aku ta-takut... " ujar Meira begitu lirih di sela-sela isak tangisnya. Suaranya bergetar.
Perlahan, Jimin menarik Meira ke dalam pelukannya. Memeluk gadis itu begitu erat, tangannya memberi usapan-usapan pada punggung Meira, berharap agar setidaknya itu bisa membuat Meira merasa sedikit lebih tenang.
"Jimin, a-aku takut. Aku mimpi buruk." Kedua tangan Meira melingkar kuat pada tubuh Jimin, memeluknya begitu erat, sementara wajah Meira tenggelam di ceruk leher laki-laki itu, seakan ingin menumpahkan semua rasa takutnya disana.
"Tenangkan dirimu dulu." Jimin memberi tepukan-tepukan lembut pada punggung Meira. Ingin membuat gadis ini tenang dulu, setelah itu baru ia akan bertanya.
Sejujurnya Jimin sangat khawatir, ini pertama kalinya Meira seperti ini. Pikiran Jimin mulai merujuk pada sesuatu yang selama ini ia waspadai. Ia yakin pasti ada kaitannya dengan hal itu.
Setelah beberapa menit berlalu, Meira mulai sedikit tenang, isak tangisnya juga sudah mereda. Tubuhnya tak lagi bergetar ketakutan.
"Kau bermimpi apa, Meira?" Jimin bertanya dengan suara lembut. Ia sedikit menjauhkan Meira dari pelukannya agar bisa menatap wajah gadis itu.
"Aneh. Aku bermimpi dikejar oleh kuda hitam bersayap. Hanya kuda dan tidak ada penunggangnya. Samar-samar aku juga melihat seperti ada sebuah tombak di atas kuda itu, melayang, seolah ada yang memegangnya tapi sosok itu tidak terlihat. Aku tidak tahu apa alasannya mengejarku." Jelas Meira, menceritakannya saja membuat rasa takut itu kembali muncul. Entah kenapa mimpi itu seolah mempengaruhi mentalnya.
Cerita yang dipromosikan
Kamu akan menyukai ini
Rahang Jimin seketika mengeras setelah mendengar penjelasan Meira tentang mimpinya, namun ia berusaha agar tetap terlihat tenang di depan Meira. Sebelah tangan Jimin pun terkepal kuat tanpa ia sadari.
Jimin memasang tatapan lembut, berusaha merendam emosinya yang tiba-tiba meluap. Tangannya mengusap sisa-sisa air mata yang membasahi pipi Meira. "Itu hanya mimpi, sayang. Jangan terlalu dipikirkan."
"Tapi, rasanya seperti nyata. Buktinya aku sampai terbangun dengan rasa takut luar biasa. Kau mungkin menganggap itu hanya mimpi biasa, tapi aku tidak, Jim. Aku merasa seolah-olah mimpi itu adalah sebuah peringatan untukku."
Jimin bisa menangkap adanya ketakutan yang tersirat dalam manik mata Meira.
"Jimin, mungkinkah ini ada kaitannya dengan sesuatu yang sering mengganguku? Tentang jantungku yang sering tiba-tiba sakit tanpa sebab?" tanya Meira. Ia tiba-tiba berfikir kesana.
Jimin menarik nafas kemudian membuangnya perlahan. Ia meraih tangan Meira untuk digenggam. "Meira, apa kau percaya padaku?"
Meira bingung karena Jimin tiba-tiba bertanya seperti itu, tapi meski begitu ia tetap mangangguk lemah atas pertanyaan Jimin.
"Jika aku mengatakan bahwa mimpimu itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan sesuatu yang mengganggumu apa kau masih tetap percaya padaku?"
"Jim——"
"Akhir-akhir ini aku sering merasa takut, Meira. Aku takut setiap kali kau bertanya mengenai hal-hal semacam itu padaku. Aku takut sekaligus bingung untuk memilih kata yang pas untuk menjelaskannya agar kau percaya padaku. Aku takut kau mencurigaiku yang tidak-tidak." Jimin menatap Meira serius.
"Jadi, tidak ada kaitannya? Kau tidak berbohong, kan?" Tatapan Meira tak kalah serius, namun masih tersirat sebuah ketakutan disana.
"Iya, sayang. Itu hanya mimpi biasa. Jangan terlalu dipikirkan ya? Tidak akan terjadi apa-apa padamu, kau bersamaku." Jimin mengusap-ngusap punggung tangan Meira agar gadis itu merasa lebih tenang dan melupakan tentang mimpi buruknya.
Meira diam, ia tidak tahu bagaimana harus menanggapi. Meira jelas menyadari akan perubahan ekspresi Jimin ketika dirinya menceritakan mengenai mimpi buruk itu. Hal itulah yang membuat Meira berfikir jika mimpi tersebut mungkin ada kaitannya dengan sesuatu yang mengganggunya selama ini. Meira juga menyadari bagaimana Jimin yang berusaha untuk tetap terlihat tenang dihadapannya.
Tapi Meira sengaja diam, bersikap seolah-olah ia tak menyadari akan perubahan ekspresi pada wajah Jimin. Ia hanya ingin tahu apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh Jimin dan ternyata lagi-lagi dia mengatakan 'tidak akan terjadi apa-apa.'
Meira tidak tahu apakah ucapan itu mengandung kejujuran atau mungkin hanya sebagai kalimat penenang agar dirinya tidak takut lagi.
Lagipula siapa yang bisa menjamin sebuah ucapan yang terlontar dari mulut itu memang murni sebuah kejujuran?
Mouth is a good liar. Dan mulut juga merupakan sesuatu yang paling pintar dalam urusan memanipulasi keadaan. Mulut adalah awal dari sebuah kebohongan, bisa dibilang mulut juga awal dari suatu masalah.
Namun untuk saat ini entah mengapa hati Meira lebih memilih untuk mempercayai Jimin ketimbang menuntut laki-laki itu untuk mengatakan yang sebenarnya. Entahlah, mungkin sisi positifnya sedang menguasai. Jimin menyembunyikan banyak hal dari Meira, mungkin tujuannya memang baik. Ya, setidaknya untuk saat ini Meira ingin mencoba menanam pemikiran itu dalam kepalanya.
"Ayo tidur lagi." Jimin membantu Meira untuk berbaring. Membiarkan gadis itu untuk menggunakan lengannya sebagai bantal.
Meira menghambur ke pelukan Jimin, menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher laki-laki itu. Tangan Meira pun melingkar erat pada punggung Jimin. Meira mulai terbiasa dengan tindakan semacam ini, entah kenapa jika memeluk Jimin dalam kondisi seperti ini rasanya sedikit lebih lega, ia merasa seolah dilindungi dari rasa takut itu.