Plan tersentak kaget sekaligus bahagia saat mendapati Mean tengah duduk di tangga yang biasa digunakan untuk membantu siapapun mengambil buku pada rak yang terlalu tinggi untuk digapai dengan tangan.
Tangga itu ada di salah satu lorong perpustakaan. Mean begitu asyik berfokus pada bukunya dan bahkan tak menyadari Plan tengah berjalan mendekati dari belakangnya.
Plan berhenti tepat di belakang Mean. Ia kemudian tersenyum. Tangannya mengalung dari belakang leher Mean dan ia tak sungkan mencium pucuk kepala Mean lembut.
"Hei," bisik Mean. Ia menoleh dan mencium pipi Plan lembut.
Meski pada awalnya ia kaget, ia tahu orang yang mendekapnya dari belakang adalah Plan. Mudah mengindetifikasinya sebab bau harum parfum Tulipnya yang khas.Mean berdiri dan mereka berciuman di lorong itu dengan lembutnya.
Setelah malam itu, mereka sering bertemu secara rahasia dan bercinta. Mereka lebih dekat dan masing-masing sudah mulai terbuka. Ayah Plan benar. Mean sebenarnya adalah orang yang lembut. Ia hanya perlu bersama dengan orang yang tepat, maka ia akan menjadi orang yang baik.
"Kau kenapa?" tanya Plan saat mereka melepaskan ciuman dan Mean terlihat gusar.
"Aku cemburu karena kau terlalu dekat dengan ayahku," sahut Mean.
"Eeeh! Lucu sekali," sahut Plan.
"Aku melihat kalian di danau tempo hari," sahut Mean. Wajahnya merengut kesal.
Plan diam sejenak dan berpikir tentang yang baru saja dikatakan Mean dan ia kemudian tergelak.
"Ah, itu!" ujar Plan. Ia kemudian tersenyum.
"Baby, kau tahu apa yang kami bicarakan saat itu," ujar Plan lagi merajuk Mean yang terlihat wajahnya masih kesal.
Mean menggelengkan kepalanya dan ia menatap Plan teduh.
"Kau. Kami berbicara tentangmu. Aku mengakui perasaanku tentangmu kepadanya," ujar Plan dengan tenang.
Mean terhenyak. Ia membelalakkan matanya.
"Apa yang dikatakannya?" tanya Mean. Wajahnya terlihat tak percaya.
"Dia hanya bilang, bahagia karena aku sudah menemukan seseorang yang tulus mencintaiku," ujar Plan lagi.
"Eh? Dia mendukung kita?" Mean seolah tak percaya. Nada kaget masih menyelimuti bicaranya.
"Kalau kau siap mengenalkanku pada dunia, dia akan melepaskan aku," ujar Plan lagi.
"Pho benar-benar berkata seperti itu?" Mean memastikan.
"Kalau kau tak percaya, kenapa kau tak bicara dengannya? Tapi, dia memang meminta satu syarat kepadaku," ujar Plan lagi. Yang inu bohong. Ini karangan yang Plan buat untuk memuluskan rencananya.
"Apa?" tanya Mean.
"Kau harus minta pendapat dari ibumu," ujar Plan.
"Paman bilang, jika ibumu bilang oke, dia akan melepaskan aku dan berbicara kepada Ibu Pearl," ujar Plan lagi.
Mean membelalakkan matanya. Syaratnya cukup berat juga. Itu karen sudah lama ia tak pernah berkomunikasi dengan ibunya dan ia bahkan tak tahu bagaimana memulainya.
"Aku, uhm, entahlah!" ujar Mean.
"Mean, kau tak serius denganku," nada Plan mengeluh. Ia membalikkan tubuhnya.
"Tentu saja aku serius. Aku sangat mencintaimu. Kau tahu itu!" ujar Mean lagi.
"Kalau begitu, bicara dengan ibumu. Buktikan kalau kau memang benar mencintaiku," sahut Plan.
Mean diam dan ia memeluk Plan. Ia mencium pucuk kepalanya dan kemudian berbicara.
"Baiklah. Kurasa cepat atau lambat aku harus bicara dengan Mae. Apa salahnya aku bicara dengannya sekarang," sahut Mean sambil mengelus punggung Plan lembut.
Plan tersenyum bahagia. Mereka melakukannya lagi di perpustakaan. Suara desahannya harus mereka tahan jika tak ingin ada yang mendengarnya.
***
"Brug!" Terdengar sesuatu jatuh tak jauh dari Mean. Ia baru saja memasuki pintu perpustakaan. Belumlah ia reda dari kekagetan karena suara yang jatuh itu, ia mendengar suara mengaduh dari salah satu lorong buku dan jelas itu suara ibunya.Mean dengan cepat berlari ke arah lorong dan mencari sumber suara dan ia mendapati ibunya tengah mengesot berjalan sambil meringis karena kakinya terkilir.
"Mae," teriak Mean dan ia berlari menghampiri Ploy dengan wajah yang panik.
"Kau tak apa-apa?" tanya Mean dengan wajah khawatir.
Ploy tercengang sebentar. Itu kali pertama ia berbicara lagi dengan Mean setelah kali terakhir Mean memasuki SMA.
"Kakiku terlilir," ujar Ploy. Ada suara haru di dalamnya.
"Aku bawa kau ke kamar," ujar Mean sambil menggendong ibunya ala pengantin ke kamarnya yang cukup jauh dari sana.
"Ada apa dengan Ploy?" Ken datang tergopoh-gopoh disusul Plan di belakangnya.
"Mae jatuh. Kakinya terkilir," sahut Mean. Ia sedang diperiksa dokter. Mean menatap ayahnya lalu menatap Plan sambil tersenyum. Ayahnya yang tahu hanya mesem-mesem dan langsung masuk saat dokter keluar dari kamarnya.
"Kenapa istriku?" tanya Ken cemas. Ploy yang mendengarnya dari dalam membelalakkan matanya. Ia cukup kaget dengan Ken yang begitu perhatian.
"Jatuh terkilir. Untuk sementara sebaiknya istirahat dan kalau mau keluar jalan-jalan pakai kursi roda saja dulu," ujar sang dokter.
Mean hendak menyusul ayahnya. Namun, Plan menahannya sambil menggelengkan kepalanya dan tersenyum.
"Biarkan mereka dulu bicara. Sementara itu, kau dan aku bicara," bisik Plan sambil mengedipkan matanya.
Mean hanya tersenyum. Ia masuk ke dalam kamar dan meminta izin sebentar kepada ibunya.
Plan dan Mean keluar dari kamar. Mereka tak berjalan bersamaan. Lebih tepatnya berjalan Mean di depan dan Plan di belakangnya mengikuti sampai pada kamar Mean. Dan dengan cepat Mean menariknya masuk.
Mereka tak membuang waktu dan berciuman dengan panas dan bagaikan pasangan yang lama tak berjumpa dan saling merindukan,mereka tenggelam dalam cumbuan yang penuh gairah.
"Uuuungh, Meaan! Aaaa, mmmph," lenguh Plan panjang dan Mean masih asyik menikmati permainannya di bawah.
"Rak, na Plan!" bisik Mean sambil terus mendorong naganya lebih dalam.
"Nnnnngh, Meaan, Baby, mmmph," desah Plan lagi dan tak lama kemudian keduanya sama-sama mencapai puncak pelepasan.
Sementara itu di kamar, Ploy dan Ken duduk berhadapan. Ploy menyenderkan dirinya pada badan ranjang sementara Ken berada di depannya, duduk miring di bibir ranjang.
"Kau ingin keluar? Pada jam ini biasanya kau menikmati tehmu di gazebo sambil membaca buku tentang desain pengantin, bukan?" tanya Ken menawarkan dengan lembut.
"Dari mana kau tahu?" tanya Ploy dengan nada yang kaget.
"O, aku tahu banyak, termasuk kau dan Puttisai. Tapi, aku tak akan menyalahkanmu. Semuanya adalah kesalahanku," sahut Ken.
Ploy diam. Dia tak menyangkal perselingkuhannya dengan pengacara suaminya itu.
"Kalau kau memberikan aku waktu, aku ingin bicara kepadamu," ujar Ken lagi dengan nada memohon. Tatapannya sangat teduh.
"Okay," ujar Ploy dengan nada yang lemah.
"Kita bicara di taman," ujar Ploy.
"Okay," ujar Ken dan ia menggendong Ploy ke kursi roda. Sejenak, Ploy terpana. Mereka belum pernah sedekat itu kecuali saat mereka bercinta berkat minuman keras dan menghasilkan Por.
Ken mendorong kursi roda ke taman dan mereka duduk bersebelahan memandang sejumput bunga berwarna-warni dengan macam dan jenis yang berbeda.
Keduanya hening dan masih menikmati pemandangan di depan mereka. Tak lama mereka saling memandang dan tersenyum.
Bersambung