Haruto semakin melebarkan bola matanya saat mendengar teriakan orang lain di luar.
Dia tidak yakin namun suara itu terdengar seperti milik...
"Kau pria gila! menyingkir!"
dubrag!
Haruto terjengit ketika pintu kamarnya berbunyi seakan ada yang menabrak.
"Haha, haha, hahaha!"
zrenggg!
"Aish, hei! Kau yang di dalam! Matikan lampu kamarmu!"
Haruto mengangkat alisnya, dia masih heran sekaligus takut setengah mati.
"Cepatlah!"
Gerakan Haruto terbata, dia mencari saklar lampu yang padahal dia sudah tahu letaknya dimana, namun karena pikirannya linglung dia mendadak bingung.
Setelah menemukan saklar lampu, dia langsung mematikan lampu kamarnya.
Tepat setelah lampu padam, pandangan Haruto perlahan memburam, suara di sekitarnya perlahan menghilang, telinganya berdengung.
Dan gelap.
📰📰📰
"Haru?"
"Haru-ya."
"Nak, bangun."
Haruto membuka matanya meskipun terasa sangat berat.
Dia langsung menegang sesaat setelah melihat Seokjin sedang duduk di sampingnya.
Namun anehnya dia tidak tahu apa penyebab bulu kuduknya mendadak berdiri seperti ini.
"Tidurmu nyenyak sekali, ya? Haha. Bersiaplah, kita akan ke gereja." Pria yang lebih tua mengelus kepala yang lebih muda.
Haruto tidak merespon apa-apa selain mengangguk.
Seokjin berdiri, lalu pergi dari kamar haruto setelah memberikan senyuman manis terhadap anak bungsunya.
Pintu tertutup.
Tertutup?
Haruto masih ingat kemarin malam ia mengunci kamarnya, bagaimana Seokjin bisa masuk?
Dan... saat pertama kali diperkenalkan kamar ini Seokjin pernah berkata padanya bahwa yang memegang kunci kamarnya hanyalah Haruto.
Lantas?
Lelaki Jepang itu menggeleng kecil. Ah, ini masih pagi, tidak heran mengapa pikirannya sedikit melantur.
Dia menurunkan kakinya ke lantai berbahan kayu itu, hendak membangkitkan diri.
grep!
"Hah!" Kagetnya sambil mengangkat kedua kakinya dengan segera.
Dengan hati-hati dia melihat ke bawah.
Tangan.
Ada tangan.
Bersimbah darah yang terlihat sudah mengering, berusaha memperlihatkan diri untuk keluar dari bawah tempat tidur agar terlihat.
Haruto menelan ludahnya gugup, ini darah. Dia harus menetralkan emosinya agar tidak terpengaruh.
"Heh hah heh, bukannya ditolongin. Keluarin gue, anying."
Tangan itu mengetuk lantai dengan pelan.
Haruto terdiam sesaat, namun dia langsung bergegas turun dan menarik tangan itu.
Dan dia dibuat terkejut lagi ketika yang ia tarik adalah kakak angkatnya.
Yootae berdiri atas pertolongan Haruto lalu meregangkan badannya dan menguap.
Haruto ternganga, keanehan apa lagi ini?
Bagaimana lelaki ini bisa masuk dan untuk apa bersembunyi di bawah kolong ranjang?!
"A-apa yang hyung lakukaㅡ m-maksudku bagaimana bisa?"
"Nanti gue kasih tahu, dia ngajak lo ke gereja kan?"
Haruto sedikit heran karena gaya bicara yootae yang sangat aneh, "ayah?"
Yootae mendengus, "ayah ya... iya, ayah lo."
Haruto merasa dirinya semakin bodoh, namun ia mengangguk.
Yootae mendecih, "ayo kabur." katanya sambil mendekat kearah jendela kamar Haruto.
"Wait, hyung tanganmu terluka..." cegah Haruto.
"Bukan darah gue," Yootae mengibaskan tangannya lalu menyuruh haruto mendekat.
"Mereka berdua gila, ayo kabur."
a/n : chapter-chapter sebelumnya ada yang direvisi, kalau mau baca ulang silahkan, lopyu :"
oh iya, ini ceritanya mau tetep lanjut apa gimana? aku ga yakin kalian bakal suka soalnya huhu ㅠ