Chapter 19

2.8K 399 53
                                    

Setelah keluar dari fakultas kedokteran, Papa marah besar. Beliau selalu menginginkan anaknya menjadi dokter, begitu juga dengan Mama. Papa memaklumi jika aku marah saat itu tapi tidak pernah menyangka aku mengambil langkah ekstrem seperti mengajukan pengunduran diri ke kampusku. Aku sudah ikhlas. Entah itu ditutupi oleh segenap kebencianku atau yah, aku hanya sudah ikhlas. Namun tidak dengan Papa. Beliau menentangnya, sementara aku sudah kehilangan minat dan semangatku telah meredup. Itulah alasan kenapa aku dan Papa tidak terlalu akrab.

Aku nggak pernah punya pemikiran masuk teknik sebelumnya. Papaku juga tidak menyetujuinya namun aku sudah terlanjur mendaftar dan diterima. Papa bilang beliau tidak akan membantuku sama sekali begitu aku lulus dan harus mencari kerja.

Syukurlah aku lulus dengan nilai hampir sempurna, kemudian mengambil profesi selama kurang lebih satu tahun hingga akhirnya aku bisa kerja di tempat Keenan sekarang. Aku benar-benar mulai dari nol dan Papa tidak membantu sama sekali dalam tahapanku mencari pekerjaan, beliau hanya membiayai kuliah dan segala keperluanku.

Begitu saja aku sudah bersyukur. Aku memang sudah mengecewakan Papa dengan memilih keluar dari kedokteran.

Lebih baik daripada aku harus berpura-pura bersikap semuanya baik-baik saja, profesi itu terlalu licik, hanya mementingkan uang. Skala prioritas yang aku pelajari saat etika kedokteran, itu semua bohong. Saat hal itu terjadi pada mereka, semua orang mendadak jadi materialistis.

Menjadi arsitek bukan hal yang mudah, pendidikannya gak kalah lama dengan dokter. Yah walaupun untuk menjadi dokter tahapannya jauh lebih banyak. Tapi struggle buat tetap bertahan di dunia arsitektur itu susah. Beberapa temanku bahkan mengundurkan diri sebelum pendidikannya benar-benar selesai.

Kalau kata dosen dulu, cuma 10-15% yang berhasil jadi arsitek beneran. Sisanya cari bidang bisnis maupun profesional yang bahkan gak ada hubungannya lagi sama arsitek.*

Aku cukup beruntung untuk masuk ke golongan 10-15% itu. Waktu aku bilang menjadi arsitek itu gak gampang, i mean it. Namun aku selalu suka bagaimana menggambar, memikirkan bangunan-bangunan yang harus aku gambar untuk seseorang, membayangkan gambarku dibuat secara nyata oleh kontraktor, membuat seseorang tersenyum puas dengan hasil karyaku. Rasanya sepadan.

Tugasku sebagai arsitek bukan hanya untuk membangun sebuah bangunan. Kemampuan mendesain saja tidak cukup, kemampuan detailing dan mengatur konstruksi bangunan sangat dibutuhkan. Kamu harus jadi orang yang detail dan menyeluruh secara bersamaan. Belum lagi jila klien melakukan banyak sekali perubahan dan minta revisi.

Aku harap untuk tugas pertamaku setelah bergabung ke perusahaan Keenan berjalan dengan lancar dan memberikan kesan baik pada Bu Sarah,

Aku menaikkan kacamataku yang melorot. Besok aku harus presentasi hasil kerjaku pada Regas, malam ini aku kembali mempelajari hal-hal yang harus kupresentasikan pada Regas besok. Aku tidak muluk-muluk, hanya semoga tidak banyak revisi.

Beberapa hari ini aku tidak bertemu dengan Regas, hanya papasan satu kali itu juga aku pergi dia baru saja pulang dari rumah sakit. Kami bertukar pesan beberapa kali, menanyakan keadaan masing-masing. Katanya akhir-akhir ini orang-orang jadi suka sakit sehingga dia harus stay di rumah sakit untuk melakukan beberapa operasi.

Hubunganku dengan Keenan baik-baik saja. Sudah lebih dari satu minggu berlalu sejak kami jalan bersama waktu itu. Kami kembali berteman seperti biasa sementara aku menahan perasaanku agar tetap pada kadarnya. Aku berusaha menyibukkan diri supaya tidak terlalu kepikiran. Salah satu langkah untuk move on.

Aku berniat untuk tidur setelah menambahkan beberapa hal di presentasiku. Aku deg-degan memikirkan harus presentasi di depan klien dan Bu Sarah besok pagi. Iya, Bu Sarah katanya ingin melihat hasil kerjaku dan itu membuatku semakin deg-degan.

Neighbour From HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang