Part 06

56 3 0
                                    

PERKAWINAN SIRI (PART 6)

Oleh : Amara Yasmine

Dadaku seakan dipukul beban ratusan ton. Sakit sakit sekali. aku membuang pandangan ke arah kanan, melihat deretan anggrek kesayanganku yang di rawat sedemikian rupa oleh Sari. Aku berharap ini mimpi, aku berharap hanya ilusi setelah  mendengar kata kata Sari barusan tadi. Tapi tidak, ini bukan mimpi apalagi ilusi, ini nyata. Sari ada di depanku tapi aku tidak berani memandangnya. Sungguh.

Aku menghela napas dalam dalam.  Pandanganku kembali lurus memandang Sari. Dia menunduk setelah aku melihatnya.

“Tunggu. Kita belum selesai.” Kataku sambil menggenggam pergelangan tangan kirinya dengan tangan kiriku setelah kulihat dia hendak pergi begitu saja meninggalkanku.

Sari meronta berusaha keras untuk melepaskan genggamanku. Tapi aku tidak mau kalah lagi kali ini, aku menggenggam lebih kuat pergelangan tangannya. Aku tak peduli saat Sari merintih kesakitan.

“Jadi menurut kamu saya ini tidak baik dan tidak menghormati kamu? Selama bertahun tahun disini, jadi tidak pernah sedetik pun kamu merasa bahagia?”
Sari diam dan tetap berusaha melepaskan genggamanku.

“Jawablah.  Jangan mencoba pergi, karena saya tidak akan membiarkannya.” Kataku.

15 detik.

“Saya bahagia. Bapak baik dan hormat sama saya.”

“Jadi kenapa kamu bilang begitu tadi?”

“Tapi kebahagiaan yang saya maksudkan itu beda, pak...”

“Beda bagaimana?”

Airmata Sari menetes. Sudah dua kali ini aku melihatnya menangis karena aku. Ah Bobby, apa yang telah kau lakukan. Aku masih memandanginya. Hidungnya bangir, alisnya bersatu, pipinya tirus dan putih. Matanya... Yah Sari memiliki bolamata yang sangat indah, tak bosan memandangnya.

Tapi kini bola mata itu sedang memerah saga, karena aku. Aku ingin mendekat dan memeluknya seperti tempo hari, tapi entah kenapa berat sekali langkah ini untuk merengkuhnya, kakiku seakan membeku.

“Pak... Izinkanlah saya pergi... ” Kata Sari kemudian.
Kakiku yang membeku kini terasa mencair. Lututku terasa lemas. Lemas sekali. Aku merasa rubuh.

“Pak, kita hanya menikah siri, sebenarnya saya bisa saja pergi meninggalkan rumah ini kapan pun saya mau. Tapi saya masih punya otak pak. Saya masih tahu diri. Saya sangat menyayangi Oma dan Nadia juga Nadine. Kalau tidak karena mereka, sudah dari dulu saya pergi pak...”

Aku merasa tidak memijak tanah. Aku seperti terbang. Energiku hilang. Sampai aku menyadari kalau tangan Sari telah terlepas dari genggamanku.

“Pak... Saya tahu, bapak sangat membenci saja. Bapak jijik dan muak melihat saya. Saya akui, saya yang salah pak. Saya mau saja saat Oma menjodohkan saya dengan bapak. Tapi bapak tahu tidak apa alasannya sampai saya mau?”

Aku melihat Sari terisak isak. Airmatanya semakin tumpah.

“Sebelum Oma meminta saya untuk bekerja disini, saya tidak punya tempat tinggal pak. Kakak saya, orang yang sebelumnya rumahnya saya tempati, tidak sanggup lagi membayar kontrakan dan pindah ke rumah mertuanya. Apa mungkin saya juga ikut bersama mereka, tidak kan pak. Sementara kakak saya yang lain, tinggalnya di kampung di rumah orangtua kami. Kalau pun saya pulang ke kampung, saya mau kerja apa pak?”

Sari semakin terisak. Aku pun menyadari, kelopak mataku basah.

“Berapa lah gaji pekerja toko pak, saya tidak sanggup membayar kost pak. Bapak tidak tahu kan, dua minggu saya tidur di em... di emperan pak... Bahkan ada yang menawari saya jadi wanitan malam dengan imingan uang banyak. Tapi saya tolak, biar miskin begini saya masih punya harga diri pak.”

Pernikahan SiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang