SECOND

27 0 0
                                    


"Ra, lihat deh! Itu bukannya Rumahnya Pak Jarwo? Kok rame sekali ya," gumam Andini, sahabatku."Entahlah Din, aku juga tidak tahu," Kami penasaran lalu bertanya kepada warga. "Oh itu neng, rumahnya Pak Jarwo kerampokan neng, katanya sih Pak Jarwo dan keluarganya dibunuh mba sampai meninggal dunia," ucap seorang ibu yang kebetulan lewat.


Aku menatap rumah itu. Lalu seorang tersangka dipaksa keluar dari sebuah rumah karena mencoba melarikan diri.

"Loh dia kok ?!"Aku tak sengaja bertatapan dengan tersangka itu. Dia menatap tajam kearahku. Sangat mirip.

"Ra, Ada apa?"

"Eh, Din, nggak apa-apa kok, Cuma tersangka itu kok mirip mantanku,"

"Mantan pacar?" Aku mengangguk.

"Ra, Ra, kamu ini ada-ada saja,"


Aku bangun dari tidurku. Badanku lemas. "Ra ayo cepat bangun Ra, kita harus melarikan diri!" Beberapa orang lalu mengejarku dan orang-orang yang ada di rumah ini. Tubuh-tubuh besar dengan pistol dan pisau di tangan mereka yang siap menerkam kapan saja. Mengapa mereka mengejarku? Sebenarnya aku ada dimana? Situasi macam apa ini sebenarnya?"Celaka! Mereka mengetahui tempat persembunyian kita Ra! Kita harus melarikan diri!" Aku mempercepat langkahku. "Tangkap dia!!!!" seru seseorang.


DORR!!! DORR!! Mereka tak henti-hentinya melayangkan tembakan ke arah kami. Satu per satu dari kami tumbang, termasuk aku. Aku tergeletak, tubuhku sangat lemas tak sanggup berdiri. Seseorang menghampiriku. "Tiara, maaf aku telah menyakitimu. Lebih baik begini," ucap orang itu. Tino? Benar itu dirimu? Banyak pertanyaan yang terukir di benakku tapi tak satupun keluar dari mulutku. Mataku semakin berat seperti sangat ingin terpejam.


Aku membuka mataku perlahan, kepalaku pusing tapi badanku terasa sangat ringan. "Ini dimana?" tanyaku pada seseorang. Orang-orang hanya terdiam.


"Percuma kamu tanya kepada mereka, mereka ga akan dengar,".

"Dini! Apa maksud omonganmu barusan?"

"Dunia kita sudah berbeda dengan mereka Ra,"


Andini menarik tanganku membawaku ke sebuah rumah yang letaknya tak jauh dari tempatku berada.

"Lihatlah Ra, televisi penuh dengan berita pembunuhan kita, tapi aku bersyukur pelakunya sudah tertangkap,"


Betapa terkejutnya aku melihat berita di televisi. Namaku ada di daftar korban pembunuhan berantai. Ya itu aku! Sekilas aku melihat tubuhku bersimpah darah sedang dibawa petugas medis

"Jadi, aku benar-benar telah mati?" aku menangis. "Takdir memang kejam Ra," ucap Andini. "Tino?!"

"Kudengar dia memang mafia di kota ini, menghabisi nyawa setiap orang yang mencoba menghalangi aksi rampoknya. Kau mengenal pelakunya?"

Tentu saja aku tidak akan melupakan orang yang telah menduakan cintaku.

"Ya, mantan pacarku yang dulu pernah mengkhianatiku. Mengapa dia begitu kejam?!"

"Kau beruntung Ra, Tuhan menjauhkanmu darinya," Ya aku memang beruntung, tapi bagaimana bisa aku mati konyol di tangan orang yang sudah menyakitiku ?


Suara tawa orang-orang di luar membangunkanku. "Hey Ra, kau sudah bangun?" Aku bingung. Aku melihat sekelilingku. Ini di rumahku! Aku mendekat pada Andini dan temanku yang lain. "Kita masih hidup?" tanyaku pada mereka. Hening. Lalu tiba-tiba tawa mereka pecah. "Aku serius Din," ucapku. "Ra, Ra, ya masih lah, kamu cuma pingsan tadi gara-gara anemia mu kumat, eh kok jadi linglung gini sih kamu," ucap Randy, temanku yang lain."Kebanyakan nonton film kamu Ra," ledek Andini.


"Eh bukannya itu kasus pembunuhan berantai yang tadi ya? Ra itu pelaku yang kamu bilang mirip mantan pacarmu," ucap Andini. Aku menoleh ke televisi. "Wah Tiara gagal move on ya," ledek Randy. "Apaan sih kalian, mana mungkin aku gagal move on dengan orang yang sudah mengkhianatiku," ucapku. 


"Kau beruntung Ra, Tuhan menjauhkanmu darinya," Aku merinding, ucapan Andini mengapa sama persis seperti di mimpiku tadi ???

SECONDWhere stories live. Discover now