35. Time Can Heal

575 86 10
                                    

Tap vote dulu ya sebelum lanjut hihihi

***

Kepalaku berdenyut hebat tatkala aku membuka kelopak mataku dengan perlahan, tubuhku kurasakan melemas. Aku kembali memejamkan mata berharap denyutan itu tak lagi kurasakan. Dengan perlahan aku membuka mata, Kia yang tengah sibuk dengan ponselnya menjadi orang pertama yang kulihat.

"Ya.." Panggilku lemah membuatnya dengan sigap merapat kearahku. "Haus." Keluhku yang langsung disodorkannya segelas air putih yang telah tersedia di meja sampingku. Kia membantuku minum. Setelahnya aku baru menyadari, aku menjadi seorang pasien di rumah sakit ini.

"Lo bikin panik satu kosan tau gak, mana Bu Kos lagi gak ada. Gue tuh ngetok pintu kamar lo sejak subuh, sampai 30 menit gak ada sahutan gue terpaksa bangunin satu kosan buat minta bantuan buka pintu kamar lo. Untung ada kunci anak anak yang pas, jadi gue gak perlu rusakin properti orang lain. Gue masuk dan lihat lo masih tiduran di kasur, tapi waktu gue sama anak anak coba panggil lo buat bangunin, lo sama sekali kagak nyaut. Anjirlah kita semua panik, untung gue yang masih rada waras auto telfon Andra buat minta bantuan bawa lo kesini." Mungkin jika aku tak sedang lemas, aku sudah melayangkan cubitan pada lengannya. "Lo dehidrasi berat kata dokter."

Aku mengangguk. "Makasih ya."

"Iyalah lo harus berterima kasih sama gue, eh sama anak anak yang lain plus si Andra. Tuh si Andra yang gendong lo dari kamar ke mobilnya. Gila gak tuh, lakik juga ternyata." Aku tersenyum, dalam hati mengucapkan terimakasih memiliki banyak orang yang masih mau ada disampingku hingga saat ini.

Fikiranku melayang mengingat orang rumah. Astaga! Sadar bahwa seharian kemarin aku sama sekali tak menghubungi mereka. "Ya, kamu kasih kabar ke keluargaku soal kondisiku?"

"Kakak lo nelfon gue sih kemarin, tapi tenang aja gue bilang kalo lo baik baik aja kok. Abis makan, mending lo hubungin keluarga lo." Aku mengangguk. Kia membantuku duduk guna mempermudah membantuku makan. Sebenarnya aku bisa makan sendiri, namun Kia melarang dan mengajukan diri untuk menyuapiku.

Ternyata sulit mengalihkan fikiran tentang Ali, berkali kali aku mencoba berkali kali itu pula aku gagal. Seingatku, malam kemarin aku menumpahkan segala kesedihanku hingga aku ketiduran saking lelahnya mungkin. Aku melakukan itu semua berharap ke esokan harinya aku bisa melupakan seorang Ali Bayu.

Tapi ternyata perkiraanku salah, aku gagal. Bahkan sekarang yang ada diotakku adalah bagaimana kondisi Ali sekarang.

Apa dirinya bisa menjalankan hidupnya seperti biasa?

Apa Ali tahu kondisiku sekarang?

Tersenyum getir bahwasanya kami harus saling menyakiti sebelum perpisahan. Bahkan rasanya seperti mimpi, ketika aku bangun membuka mata dan benar benar menyadari bahwa yang terjadi kemarin adalah nyata. Kenyataan terkait hubungan kami tak bisa dikatakan baik. Aku khawatir, kedepannya nanti antara aku dan Ali akan ada yang berbeda. Rasa sakit akibat perpisahan yang tak di inginkan pasti memberi dampak yang cukup kuat kurasa.

***

"Udah sarapan kan?"

Aku mengangguk pasti. "Udah, sarapan roti sebungkus."

"Mampir bubur ayam depan dulu kalo gitu." Kata Andra mengarahkan kendaraannya menepi kedepan kedai bubur.

Aku mendengus. "Aku udah kenyang makan roti, Ndra. Serius."

"Gak, lupa ya orang Indonesia tuh belum disebut makan kalau belum makan nasi. Lagian mau masuk rumah sakit lagi?" Andra melemparkan tatapan mengintimidasi membuatku terpaksa menyetujuinya.

Kamu akan menyukai ini

          

"Trauma disuruh gendong aku lagi ya?" Selidik ku berniat bercanda.

"Alhamdulillah, peka akhirnya." Satu layangan pukulan mampu kuberikan pada lengannya. Kemudian Andra turun untuk membelikan bubur tersebut.

Tujuan kami adalah sebuah desa yang ada di daerah kabupaten Malang, tempat dimana pelaksanaan proker pengabdian masyarakat. Andra mendesakku agar ikut naik mobilnya, dibanding join naik bus kampus yang memang telah disediakan untuk panitia. Andra semakin memaksaku ikut dengannya saat mengetahui beberapa tatapan tak suka melayang padaku.

Aku masih mengingat saat hari kedua aku dirawat dua bulan yang lalu di Rumah Sakit, beberapa staff humas kepanitiaan ini datang bersama sama menjengukku. Tak menyangka mereka dengan tulus meminta maaf melihat kondisi dropku. Mereka merasa bersalah, katanya mungkin aku tak harus sampai menginap di rumah sakit jika tidak harus menyebarkan poster seorang diri disetiap fakultas yang ada di kampus. Nyatanya mereka tak tahu bahwasanya ada Andra yang membantuku, mereka menganggap aku mengerjakan tugas ini sendiri. Akhirnya aku melunakkan sikap kembali, apalagi ketika mereka membawa bingkisan kado yang berisi sepasang sepatu converse. Aneh bukan, baru kali ini aku sakit namun malah diberikan kado sepatu.

Dua bulan berlalu, bayang bayang Ali belum dapat kusingkirkan. Diam diam, tanpa Kia ketahui aku masih sering melamun untuk memikirkannya. Kia tentu menjadi tempat berkeluh kesahku akan masalahku dengan Ali kemarin. Aku sama sekali tak bisa menutupi kesedihanku padanya sehingga aku membeberkan semuanya, secara detail berdasarkan sudut pandangki.

Kia tentu saja banyak mengumpat setiap aku menceritakan bagian tertentu. Kia secara supportif, setuju bahwa kesalahan terdapat padaku. Namun, Kia juga permasalahkan cara Ali saat meninggalkanku. Dimana setelah hari itu, tepatnya sore hari sebelum magrib menjelang. Ali sama sekali tak berniat memberiku kabar lagi, meskipun sikapnya tak sampai memblokir nomor ataupun sosial mediaku. Sejauh ini aku masih menyaksikan beberapa status unggahannya di media sosial.

Rasanya aku sendiri tak memiliki alasan untuk menghubunginya kembali. Kami selesai, entah secara baik baik atau tidak biarlah menjadi asumsi mereka yang mau repot ingin tahu. Kami berdua tak lebih dari sekedar teman sekarang, hanya berani melihat tapi tak memiliki nyali untuk menyapa.

Kia juga beberapa kali mengantarkanku konsultasi pada psikolog karena melihat perasaanku nampak tak kunjung membaik. Hal ini tentu atas saran Kia. Aku semakin menyanyanginya sekarang, setelan menyadari banyak hal yang dirinya berikan padaku. Terutama kebaikannya, melihat ketulusannya sungguh aku merutuki Rama yang nyatanya dengan tega meninggalkan Kia.

"Gue gak ngerti aja gimana jalan fikir si Ali, harusnya dia dampingi lo buat cari solusi bareng bareng. Bukan malah ninggalin lo kaya gini. Ali pantas dapet gelar pengecut dari gue Pril, bodo amatlah. Sorry ya kalo gue ngomong terlalu jujur gini."

Aku hanya bisa memberikan senyum pada Kia kala itu. Menyayangkan kami harus sama sama memiliki kisah cinta yang berakhir tak mengenakkan seperti ini. Patah hati selalu meninggalkan kesan sakit pada orang yang pernah saling bersangkutan.

Kia pula yang memintaku membuka diri kembali pada Andra. Katanya Andra tak pantang menyerah apalagi mengeluh, meskipun kemarin aku sudah resmi bersama Ali. Menurutnya, membuka diri untuk orang lain bisa menjadi salah satu cara bagi kita untuk bisa melupakan orang lain. Ya dia bilang seperti itu karena dirinya sekarang mengalami kondisi itu.

Kia sendiri tengah didekati dengan teman seangkatan kami. Satu jurusan, pula. Bagaimana cerita lengkapnya, Kia belum mau membagikannya padaku. Katanya dirinya akan langsung bercerita secara detail saat keduanya telah resmi pacaran. Aku turut bahagia mendengarnya-tentu saja. Toh, Rama sudah tak lagi bisa dirinya harapkan.

Kasus kami berbeda, dalam fikiranku masih sering mengungkit mengenai dimana aku masih memiliki kesempatan untuk bisa kembali dengan Ali. Jujur, pemikiran seperti itu yang masih berseliweran diotakku. Sehingga, sebaik apapun Andra aku tetap belum bisa memberikan Andra kesempatan. Aku ingin belajar menuruti kata hati serta kemauanku, tanpa memikirkan kemungkinan berbagai resiko atas pilihanku.

Can I've Your Heart? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang