48 | POTEK

57.3K 6.7K 652
                                    

Karena efek seneng banget bacain komentar kalian kemarin, hari ini aku up panjang, deh. Moga kalian belum bosen , ya?

***

Mia terbangun pukul dua pagi. Hembusan air conditioner membuatnya agak menggigil. Ruang rawatnya gelap. Satu-satunya sumber cahaya di ruangan ini asalnya dari lampu jalan yang masuk lewat jendela. Ia berniat untuk bangkit duduk. Namun gerakannya terhenti ketika tempat tidur berderak. Aiden sedang tidur di sebelahnya. Laki-laki itu duduk di kursi, sedangkan kepalanya direbahkan di dekat perut Mia. Tangan kanannya digenggam.

Hati Mia mendadak terasa seperti sedang diremas.

Melihat wajah kelelahan suaminya tidak membuat Mia merasa lebih baik. Baju yang Aiden kenakan masih baju yang sama dengan yang terakhir ia kenakan saat bertemu Mia tadi siang.

Tangan kiri Mia terangkat, ingin membelai kepalanya. Namun niat itu ia urungkan. Ia tak mau membuat Aiden terbangun. Pasti beberapa waktu belakangan suaminya itu mengalami sulit tidur karena mencemaskannya. Ia perlu waktu istirahat. Mia tak tega mengganggu.

Merasa kantuknya hilang, Mia melepaskan tangannya dari genggaman Aiden secara perlahan tanpa membangunkannya. Ia turun dari tempat tidur dengan bertelanjang kaki, kemudian ia mendorong tiang infusnya cukup hati-hati agar tak berisik.

Mia menduga kalau dirinya dirawat di rumah sakit sekitaran Malang saja. Ia tidak merasa familiar dengan lorong serta koridor di sini.

Aiden bilang Clara dirawat di ruang sebelah.

Mia memiringkan kepala untuk memandangi pintu ruangan di sebelah kamar rawatnya. Ia memberanikan diri untuk masuk ke dalam. Pintunya tidak dikunci. Berbeda dengan ruangan Mia, kamar ini masih terang benderang.

Clara menoleh begitu mendengar pintu dibuka dari luar. Cewek itu tersenyum lemah saat melihat Mia masuk ke dalam. Seragam rumah sakit mereka sama. Mereka juga sama-sama mendorong tiang infus kemana-mana. Bedanya, Clara mengenakan sandal, sedangkan Mia bertelanjang kaki. Cewek itu sedang berdiri di depan jendela ketika Mia datang.

"Keluarga lo udah tau lo di sini?" Mia duduk di tepi ranjang.

Clara mengangguk singkat, "Besok mereka datang buat jemput aku."

Mia dapat melihat perban yang mengintip di leher Clara. Pasti itu bekas luka bakar. "Badan lo parah?"

Clara hanya tersenyum kecil. Ia duduk di sebelah Mia agar bisa menunjukkan perban yang membalut tubuhnya. "Kena langit-langit yang jatuh. Bakal ninggalin luka ntar."

Mia manggut-manggut, "Gue kok nggak luka sama sekali, ya?" Ia merasa heran dengan keajaiban ini.

"Malaikat capek bikin kamu sial mulu." Sahut Clara ngasal. Ia mendesah lelah. "Maafin aku, ya?"

Mia hanya meliriknya sekilas, "Terakhir kali lo minta maaf, kita hampir jadi daging panggang. Gue merinding tiap denger kata 'maaf' keluar dari mulut lo."

Clara terkekeh, "Kali ini enggak. Aku berhutang nyawa sama kamu."

Mia mendongakkan kepala dengan gaya dramatis. Kemarin Putri Claire yang berhutang nyawa padanya, sekarang Clara. Nama mereka-pun hampir-hampir mirip.

"Supaya hutang nyawa lo lunas, lo harus hidup lebih baik mulai sekarang."

Clara memutar bola mata, "Memangnya selama ini aku penjahat?"

"Lo emang penjahat di hidup gue. Bikin rusuh mulu bisanya."

"Kamu juga sering bikin rusuh di hidup aku. Aku pertama kali ngerasain masuk kantor polisi gara-gara kamu, ya."

trouble [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang