Terkadang Jaemin berpikir, dosa besar apa yang ia lakukan di kehidupan sebelumnya sampai harus mempunyai enam saudara tidak berakhlak dan beradab seperti ini.
"Kalo dijual tambah gratis ongkir, ada yang mau?"
𝐋𝐨𝐜𝐚𝐥!𝐀𝐮
𝐁𝐫𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫𝐬𝐡𝐢𝐩 �...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Baaaanggg sarapaaaaannn!"
"Bacot banget anak kuyang."
Mark menggaruk pelipisnya. Asli dia bingung banget mereka sarapan pakai apa karena tidak ada Jaemin yang memasak. Mau order makanan, kelamaan. Soalnya yang sekolah sudah pada siap berangkat, itupun nyaris terlambat karena kesiangan.
Masa beneran ngemis ke tetangga?
Lagipula Mark haram hukumnya masuk dapur. Kejadian dulu tak sengaja membakar dapur yang berakhir dirinya nyaris ikut dibakar Jaemin.
Haechan segera mendorong sang kakak keluar dapur dan mulai sibuk membuat sarapan ala kadarnya. Daripada ia dan dua adiknya kelaparan di sekolah, kan. Mana sudah jam tujuh kurang lima belas menit. Anak keempat Saga itu mulai mengocok telur, memanggang roti, dan menggoreng sosis. Terbiasa memperhatikan Jaemin memasak membuat Haechan sedikit banyak paham cara membuat sarapan sederhana.
"Baaanngg huhuhu bantuin Lele iket dasiii!" Si bungsu kedua mendekati Mark dengan dasi di tangan.
"Aduh, Abang lupa caranya." Mark memandang dasi Chenle dengan bingung.
"Sini sama Mas." Renjun turun dari tangga dengan wajah bantal sembari menggaruk perut. Tangannya menarik dasi dari genggaman Chenle dan mulai memasangkan dasi.
"A-aakhh Mas Juunn, kekencengaan!! Lele nanti matii!"
Renjun terlalu kuat mengikat simpul pertama dasi dan membuat adiknya tercekik. Dengan tidak berperikeChenlean, Renjun menarik dasi Chenle ke ruang tengah yang secara otomatis membuat Chenle ikut tertarik. Persis menarik anjing.
Jisung dengan tergesa-gesa turun tangga dengan tas di bahu kanan, penampilannya belum terlalu rapi dengan dasi dan ikat pinggang yang acak-acakan. Jeno yang sudah siap di meja makan menunggu sarapan (karena ia ada kelas pagi) segera memberi gestur agar si bungsu mendekat.
"Sini Mas benerin."
Jisung terlalu penurut untuk kakak biadab seperti Jeno. Bukannya merapikan seragam si adik, Jeno malah sengaja membuka dua kancing teratas Jisung dan mengeluarkan ujung seragam dari celana. Rambut yang sudah rapi, sengaja diacak-acak Jeno dan dasinya segera dilepas. "Nah, siap jadi badboy keren kayak Mas dulu."
"Iihhh Mas Jeeeennn!" Jisung mengerang. "Jadi kayak berandalan kan! Adek maunya rapi kaya biasa Kak Na bantuin Adek!"
"Ck, gua ajarin jadi badboy masa gamau. Biar cewek-cewek tuh klepek-klepek sama lo!"
Jisung menggeleng keras. "Kata Kak Na, haram hukumnya mendengar saran Mas Jen dan Mas Jun. Soalnya kalian anak paling sesat dari segala kesesatan."
Valid.
"Sekali kali sih Dek," Jeno masih berusaha membuat adiknya menjadi anak sekolahan keren versi dirinya. Soalnya diantara semua adiknya, hanya Jisung yang berpotensi menurunkan segala kegantengan dan vibes cool badboy ala Jeno.
Haechan dan Chenle terlalu berisik dan petakilan. Jaemin terlalu manis dan sifatnya mirip ibu-ibu. Hanya Jisung yang berpotensi menjadi Jeno 2.0.
"Gak! Gak! Adek pokoknya gamau! Cuma mau nurut sama Kak Na, bukan Mas!" Jisung menghentakan kakinya dan pergi meninggalkan Jeno untuk menghampiri Mark yang sudah naik kembali ke kamarnya. Setidaknya si abang tertua lebih waras sedikit.
Mark berusaha menelepon Jaemin berkali-kali, namun ponsel anak itu mati. Masalahnya Mark sudah mengacak-ngacak seluruh kamarnya dan tidak berhasil menemukan kaus kaki kesayangannya.
"Aish! Kemana sih kaos kakinya?" Mark mengacak buku, melempar selimut asal-asalan, bahkan membuka lemari dan mengeluarkan bajunya satu persatu. "Giliran Nana yang nyari, gaada dua menit langsung ketemu."
"Makanya kalo nyarituh pake mata, bukanmulut!" —Jaemin, kalau lagi ngomel.
"Mana sih kaos kakinyaaaa??!!!" Mark hampir mengeluarkan seisi laci khusus kaus kaki miliknya.
Padahal jelas-jelas kaus kaki polkadot yang dicarinya ada di depan mata. Tapi tidak terlihat oleh Mark.
Lain halnya dengan Haechan yang sudah menyiapkan sarapan di meja makan. Roti yang gosong di satu sisi, telur keasinan, sosis tak berbentuk. Bodo amat saudaranya nanti sakit perut, yang penting Haechan sudah berusaha.
"Lo mau kita mati apa gimana?" Renjun yang sudah selesai mengikat dasi Chenle, mengernyit melihat bentuk tak layak dari sarapan mereka.
"Banyak bacot lo. Yang penting ada sarapan."
Chenle mengikuti dari belakang dengan cemberut. Memang sih dasinya sudah terpasang benar, tapi cara Renjun melakukannya lebih mirip mengikat sapi kurban.
"Ih ini sarapan buat manusia atau demit?" Seru Chenle. "Mirip muka Mas Jun. Acak-acakan."
Tangan Renjun dengan cepat menjambak rambut Chenle. "Apa lo bilang, hah? Mampus gaada Nana, gaada yang belain lo!"
Jeno meraih garpu dan menyicipi sosis. "Kebanyakan minyak, gaada rasa, bagian dalam belum matang sempurna. Mas Anang sih no."
Renjun manggut-manggut. "Chef Tarno menangis melihat ini."
"Pak Tarno sejak kapan beralih profesi anjing?"
"Hah?" Jisung yang baru muncul, mengernyitkan dahi. "Pak Tarno jadi anjing?"
"Hah? Masa?"
"Lho kata Kak Echan?"
"Hah engga tuh!"
"Barusan Kak Echan bilang begitu ya!!"
"Nggak guna debat lo berdua." Jeno memijit hidung. Sebenarnya ia tidak mau memakan sarapan beracun itu, tapi demi menghargai Haechan yang mau susah-susah memasak, akhirnya tetap dimakan juga. Sementara Renjun memilih keluar untuk membeli bubur ayam depan komplek, masih dengan kaos tanpa lengan, celana boxer, dan rambut singa.
"Cepatan sarapan," Haechan mendelik pada dua adiknya. "Gua ga menerima keluhan kelaparan."
Jadi ya, mau tidak mau sarapan juga.
Sementara itu..
"Kaos kaki gua manaaaaa?!!!!"
•••••
Yeji mendengus, menatap tiga lelaki tidak berguna yang asyik bermain ponsel sementara ia harus menyetir mobil ke sekolah.
Tadi sebelum berangkat, mereka hompipah dulu dan yang kalah harus menyetir. Sialnya, satu-satunya perempuan disana kalah dan harus rela menjadi supir dadakan. Tidak ada kamus hak asasi wanita dalam pertemanan mereka, karena Yeji sendiri kelakuannya tidak mencerminkan seorang perempuan. Terlalu barbar.