Terimakasih untuk 65 vote dan 20 komen di bab sebelumnya! Aku enggak nyangka cepet banget, dan maaf telat update😭 kemarin ada pekerjaan mendadak.
🙏🤧😁 I'm really happy for that❤️😍
So, happy reading guys! ❤️
🌼🌼🌼
Syafakallah
Doa tidak mampu memperbaiki hati yang hancur, tetapi doa mampu mengobatinya menjadi sumber kekuatan dan penenang hati.
(Syarifah Lily Alaydrus)
***
Mahdia terdiam melihat bangunan rumah sakit di hadapannya. Hatinya menjadi ragu bagaimana reaksi keluarga Hadid jika dia ke sana.
“Zaveera, nanti Khalisya gimana? Kan anak di bawah lima tahun enggak boleh masuk.” Mahdia mulai beralasan sembari mengelus kepala putrinya yang masih tertidur.
“Aku di sini aja, Mbak, nemenin Khalisya. Kasian kalau ditinggal,” ucap Zaveera lalu kembali berjalan menuju jok kemudi.
“Beneran, nih?” tanya Mahdia basa-basi. Sebenarnya dia memang tak ingin Zaveera ikut ke dalam. Takut ada kejadian yang kurang mengenakkan harus dilihat Zaveera.
“Iya, Mbak. Udah sana, Mbak masuk aja.”
“Ya udah, Mbak masuk dulu, ya. Titip Khalisya.” Perlahan Mahdia membuka sabuk pengaman dan berjalan menuju lobi rumah sakit.
***
Meidina menatap Hadid yang masih terbaring lemah, apalagi saat dia ditelepon Syifa tadi, kondisi Hadid kembali memburuk. Namun, Meidina keluar kamar Hadid setelah mendengar keributan. Ternyata Nadia sedang berbicara dengan Mahdia dengan suara keras.
“Mbak Nad?” panggil Meidina mengalihkan perhatian Nadia.
“Aku yang meminta dia kemari,” kata Meidina, membuat semua keluarga Hadid yang berada di sana terkejut.
“Apa katamu? Kamu yang memberi tahu dia dan mengajak dia ke sini?” Nadia tak percaya atas apa yang sudah dilakukan adik iparnya.
“Iya, Mbak,” jawab Meidina berjalan ke tengah-tengah antara Nadia dan Mahdia.
“Masuklah ke sana, Mahdia,” lanjutnya, terdengar memerintah.
Mahdia berjalan menuju kamar Hadid dengan tertunduk. Dia tahu benar keluarga Hadid tidak menyukainya. Terutama kakaknya Hadid, Nadia.Firasat Mahdia memang benar-benar terjadi. Untung saja dia meminta Zaveera untuk tetap berada di mobil. Kalau tidak, gadis itu pasti akan mendengar caci maki dari Nadia.
***
Mahdia menatap pintu kamar Hadid, entah kenapa dia merasa aneh sendiri.
“Bismillāhir-rahmānir-rahim, as-salāmu‘alaikum.” Dengan sedikit gemetar, Mahdia membuka pintu. Setelah melihat keadaan Hadid, entah kenapa matanya berkaca-kaca.
“Ya Allah,” kata Mahdia memegang ranjang Hadid dan berjalan pelan. Dia merasa seperti kehilangan tenaganya.
“Mas Hadid.” Tangis Mahdia pun pecah tanpa bisa dibendung lagi.
“Maafin aku, Mas.” Suaranya terdengar tercekat. “Mas, ini aku Mahdia. Bangunlah, aku mohon. Aku janji enggak pergi dari kamu asalkan kamu bangun.” Mahdia menggenggam tangan Hadid penuh penyesalan.
***
Di luar ruangan, Meidina beserta keluarga Hadid yang lainnya sedang berbicara serius setelah tahu Meidina yang membawa Mahdia kemari.
“Kamu sehat, bawa dia ke sini?” tanya Nadia pedas.
“Alhamdulillah, sehat. Aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan.” Meidina menjawab begitu tenang.
“Apa maksud kamu?” Nadia kembali bertanya dengan raut wajah tak mengerti.
“Mbak Nad, aku melakukan itu ada alasannya.”
“Apa alasannya, Kak?” tanya Syifa penasaran.
“Mas Hadid sering menyebut nama dia dan anaknya,” ucap Meidina getir. Saat tahu Hadid menyebut nama Khalisya dan Mahdia, hatinya terasa sangat sakit menyesakkan.
“Sabar, Nduk,” kata Khadijah memeluk menantunya.
Namun, Meidina menatap Mahdia yang tiba-tiba keluar dengan begitu panik. Apa yang terjadi?
“Kenapa, Mbak?” tanya Syifa melihat Meidina tiba-tiba berdiri.
“Dek, Mas Hadid.” Meidina beranjak menuju ruangan suaminya saat melihat beberapa perawat dan dokter berlari panik.
Syifa, Nadia, dan Khadijah ikut berlari mengejar Meidina. Sayangnya mereka semua tidak diperbolehkan masuk oleh perawat lainnya, walau Meidina sudah menangis histeris.
“Apa yang terjadi pada Mas Hadid?” tanya Meidina saat Mahdia datang bersama dokter lainnya.
“Aku juga enggak tahu kenapa, Mbak. Jadi aku refleks manggil dokter sama perawat.” Raut wajah Mahdia dipenuhi kekhawatiran, sedangkan Meidina hanya menanggapi dengan dengkusan.
Semua menunggu di luar ruangan sambil berharap-harap emas. Mahdia memilih duduk sedikit menjauh dari mereka dan merasa kakinya sudah lelah karena terlalu lama berdiri. Dia pun memutuskan ke toilet terlebih dahulu untuk sekadar mencuci muka.
Orang-orang di sana melihat seorang perawat keluar dari ruangan Hadid dengan berlari dan disusul perawat lainnya, tetapi dihentikan oleh Meidina.
“Apa yang terjadi pada suamiku?” Meidina menatap kedua suster tersebut penuh tanya.
“Tekanan darah suami Ibu menurun drastis. Jahitan pascaoperasi kembali terbuka dan mengeluarkan banyak darah. Jadi, kita harus membawa Pak Hadid ke ruang operasi untuk dijahit kembali. Tapi, melihat tekanan darah menurun drastis kita butuh tiga kantung darah, Bu. Permisi, Bu.”
Suster tersebut segera berlari tanpa menunggu jawaban Meidina.“Ya Allah, astagfirullah,” kata Meidina berusaha menguatkan dirinya di depan sang mertua. Dia tahu, mama mertuanya juga tidak kuat seperti dirinya.
“Yang harus kita lakukan sekarang adalah terus berdoa. Nadia, kamu hubungi Baba dan suami kamu agar kemari,” titah Khadijah.
Syifa mengangguk. “Iya, Mama bener, Mbak. Satu-satunya cara yang bisa kita lakukan adalah berdoa agar Kak Hadid cepat pulih seperti sediakala,” katanya, terdengar bijak.
“Aku akan memberi tahu Mbak Mahdia,” lanjut Syifa, lalu berlari menuju Mahdia dan menyampaikan semua yang suster katakan.
Tak lama kemudian, brankar Hadid didorong menuju ruang operasi didampingi beberapa dokter dan suster. Mahdia, Meidina, Syifa, Nadia, dan Khadijah pun mengikuti sambil terus berdoa.
“Maaf, Bu, apakah ada yang memiliki golongan darah B? Soalnya kurang satu kantong lagi, Bu,” jelas Suster pada mereka.
“Golongan darah saya A,” ucap Meidina lemah, karena tidak bisa membantu Hadid.
“Golongan darah saya B, Suster!” seru Khadijah.
“Enggak bisa, Bu, umur Ibu sudah enam puluh tahun ke atas, bukan? Terlalu berbahaya.” Suster itu menunjukkan rasa tak enak karena menolak pengajuan dari Khadijah.
“Golongan darahku O, sama kayak Baba dan Mbak Nadia.” Kini giliran Syifa yang kecewa.
Mereka semua terdiam, sedangkan suster tadi segera meninggalkan keluarga Hadid. Mahdia yang baru saja dari toilet dan sempat mendengarkan obrolan mereka pun berkata, “Sus, golongan darah saya B. Saya mau donorin darah saya untuk pasien atas nama Mohammed Hadid. Tolong jangan beri tahu siapa pun kalau saya yang mendonorkan,” ucap Mahdia to the point.
Holla comeback!
Terimakasih banyak untuk yang vote dan komen di bab sebelumnya, terus dukung aku ya! Biar Cepet update.
.
.
.
FYI, kalau ada Quotes diatas terus ada tulisan misalkan kayak diatas tadi tulisannya Syarifah Lily Alaydrus berarti itu orang yang buat Quotesnya ya. Ada orangnya kok.
.
.
Jadi kalian pilih tim mana nih?
Hadid - Meidina
Atau
Hadid - Mahdia
.
.Jangan lupa untuk tekan tombol pojok kiri bawah ⭐ dan komen Yap! Biar Cepet update:)
.
.
80 VOTES + 30 KOMEN UPDATE LAGI❤️😋
.
.Salam Sayang
Pelita Manda❤️