Bos : 7

5.7K 570 7
                                    

Sebelumnya aku makasih banget sama kalian yang udah mau vote dan juga coment di cerita abal-abal aku ini.

Thank you 🙏🙏🙏

Happy Reading!

****

Aku meregangkan tubuhku yang terasa pegal. Jam sudah menunjukkan pukul 08.00 WIB. Aku meminum kopi yang sempat ku buat tadi sampai habis. Terlalu asik mengejar bonus membuatku lupa dengan waktu.

Aku membereskan meja kerjaku, lalu pergi ke Pantry untuk menaruh gelas bekas kopi. Pantry sudah gelap, hanya cahaya remang-remang dari luar yang meneranginya. Dengan cepat aku mencuci gelas itu dan menaruhnya di tempat biasa. Aku tidak penakut, tapi itu jika dalam keadaan terang. Cahaya remang-remang seperti ini malah mengingatkan ku dengan film horor yang selalu memiliki suasana remang-remang.

Huuuus

Aku terperanjat, mengusap leherku dengan pelan. Aku menoleh kekiri dan kekanan, seperti ada yang menghembuskan nafasnya ke leherku tadi. Dengan gerakan cepat, aku memutar badanku setelah menutup lemari tempat gelas.

"AAAAARGH!"

Aku memegang dadaku yang terasa berdetak sangat kencang. Di depan sana, Arash, dengan tanpa rasa bersalah, tertawa sambil menunjukku.

"Bapak ngapain, sih?"

Arash menghentikan tawanya, "Loh, kok Bapak sih Ras?"

"Please deh, Pak. Ini tuh masih di wilayah kantor." aku memutar bola mataku kesal.

"Iya deh, terserah kamu."

Aku mendengus, mengibaskan rambutku yang tergerai dengan sombong. "Jadi, maksud Bapak ngagetin saya tadi apa? Ha?"

Arash menggaruk kepalanya yang ku yakin tidak gatal.

"Hehehe sorry, sayangku."

"Sorry? Enak aja bilang sorry!"

"Iya, soalnya muka ketakutan kamu gemesin banget. Aku kan jadi nggak tahan buat nggak ganggu kamu."

"Apa?"

Dengan perasaan kesal yang sudah mencapai ubun-ubun, aku menghampirinya dan langsung mendaratkan satu tinjuku ke pipinya.

BUGH

"Aw!"

Nggak kuat sih, tapi cukup lah bikin pipinya memerah. Sekali lagi, dengan gaya sombong andalanku, aku mengibasakan rambutku.

"Rasain."

Tanpa memperdulikannya yang masih kesakitan, aku melangkah keluar pantry menuju meja kerjaku. Itu akibatnya kalau berani macam-macam denganku.

Aku menyampirkan tas, dan langsung berjalan menuju lift. Hari sudah malam dan aku ingin cepat-cepat pergi dari gedung ini. Baru saja lift akan tertutup, dengan sigap Arash langsung menahannya dengan tangan kanan dan tangan kirinya yang masih memegang pipi bekas ciuman dari tanganku tadi. Aku menatapnya dengan datar, ketika ia masuk kedalam lift dengan wajah yang masih meringis sakit.

Ia memencet tombol besemen, lalu berdiri di sampingku. Aku melotot memandangi pantulannya di lift. Arash, tanpa berkata apa-apa langsung melingkarkan kedua tangannya di bahu dan pinggangku, menumpukan semua berat badannya. Saat aku ingin protes, Arash langsung meringis sambil menempel kan pipinya kepuncak kepalaku.

"Diam, sayang! Pipi aku sakit gara-gara kamu, tau."

"ya, bodo amat. Siapa suruh nakutin orang kayak gitu?"

Aku melepaskan tangan Arash dari tubuhku. Tapi, dengan kurang ajarnya Arash malah kembali menempelkan tangannya ke-tubuhku. Tapi bukan itu yang membuat ku mengatakan nya kurang ajar, karena bukannya melingkarkan kedua tangannya ketubuhku seperti tadi, Arash malah menempelkan tangannya yang kurang ajar itu ke pantatku dan meremasnya sedikit.

The Boos Or Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang