20. Aşkim, Hayatim

32 7 0
                                    

İstanbul, awal musim semi 2020

Bodoh! Betapa bodohnya aku yang begitu mudah dicurangi. Sebegitu lemahkah diri ini hingga tak sadar selalu saja dimanfaatkan orang? Gila! Aneh memang. Akulah yang dulu bisanya mengerjai orang. Entah itu ditipu, dipecundangi, bahkan membuat orang menderita saja, aku pernah! Dulu, hati ini sekeras batu. Tanpa perasaan apalagi empati.

Kini semua berbalik padaku. Sekarang giliranku yang dipecundangi. Tak tanggung-tanggung, yang jadi korban adalah keluarga, masa depan perusahaan, juga sekeping hati.
Tak habis pikir, kenapa semua ini menimpaku secara bertubi-tubi? Apakah mungkin ini balasan dari sikapku yang sudah lalu? Apakah ini yang dinamakan karma?

Kini aku sudah tak merasa memiliki apa-apa, dan tak punya siapa-siapa kecuali ibu dan adikku. Aku seolah berada di titik terendah. Di titik nadir. Mungkin saja ini namanya putus asa. Mati enggan, hidup pun tak mau. Hidupku hanya tergantung dua orang. Annem dan Aisha.
Jika aku baru tersadar, berarti terlambat. Mataku baru terbuka ternyata selama ini aku hidup dikelilingi para pengkhianat.
Naz? Sama saja! Ia curangi aku dengan telak! Ternyata ia tak menginginkan aku. Gadis yang kukira berhati tulus itu lebih milih si pecundang itu dibanding aku.

Setelah menyelesaikan proses hukum Ferhat dan Zeyda, aku berencana menjual seluruh aset perusahaan. Kupikir tak ada harapan lagi untuk dipertahankan. Perusahaan sudah diambang bangkrut, sementara ini tak memiliki order sama sekali. Semua klien sudah pergi. Ditambah lagi situasi pandemi yang entah sampai kapan berakhir, sangat sulit untuk mendapatkan proyek. Aku tak punya semangat lagi untuk memperjuangkan. Semua akan sia-sia!

"Kita pulang ke Indonesia, Emir," ajak ibuku memberi solusi. "Kita sudah tak punya siapa-siapa lagi di sini."

"Kalau itu akan membuat Anne bahagia, aku turuti." Aku menyepakati niat Annem untuk pulang ke kampung halaman dan tanah airnya.

Sebetulnya aku sendiri tak yakin untuk menuruti kehendak Annem. Akan tetapi, andai aku membiarkan ia menghabiskan sisa umurnya di negara ini tanpa Baba, rasanya aku tega sekali. Annem akan kesepian. Hari-harinya pasti dipenuhi kerinduan akan keluarga asalnya. Bagaimana jika ia sakit atau .... Ah, aku tak mau sesuatu yang buruk menimpa dan akan menyisakan penyesalan nantinya. Ya, aku harus turuti kemauannya. Jangan egois!
Lalu bagaimana dengan nasibku dan Aisha? Aku masih berurusan dengan aset perusahaan dan beberapa rumah yang akan dilelang. Kalau kutinggalkan, sama saja dengan meninggalkan ikan di kandang kucing lapar. Begitu pun Aisha, ia masih harus menyelesaikan kuliahnya, sekitar dua tahun lagi.

"Antarkan Anne pergi duluan ke Jakarta. Anne pengen berkumpul bersama keluarga yang masih tersisa. Anne masih ada rumah peninggalan kakek-nenekmu yang sengaja menjadi bagianku. Keluarga Anne masih mengharapkan ibumu pulang, Nak!"

"Bagaimana aku dan Aisha, Anne?"

"Kamu bisa menyusul kalau urusanmu beres. Sedangkan Aisha, biarlah ia selesaikan dulu studinya. Setelah itu, kita kumpul di Jakarta."

Ya Tuhan, kalau ini adalah sebagian dari qadarullah, aku ikhlas. Mengimani segala ketetapan-Mu, aku yakin bahwa akan ada rencana indah lain yang Kau tuliskan. Akan kuturuti apa kata Annem. Karena tak ada lagi orang yang patut dibahagiakan di dunia ini kecuali dia dan adikku. Aku harus lebih memedulikan mereka berdua.

***

Hari ini adalah hari terakhir kantor agency. Meeting terakhir dengan seluruh pegawai mengenai nasib perusahaan yang tak bisa diselamatkan. Tak kuasa menatap binar mata yang redup dari para karyawan. Aku tak bisa membayangkan bagaimana nasib anak istri, atau keluarga yang menjadi tanggungan mereka. Hari ini tabunganku habis untuk menombok tunjangan yang harus mereka terima semestinya. Sebetulnya masih ada simpanan Baba di beberapa bank, namun sengaja tak kuganggu. Kupikir Annem dan Aisha akan membutuhkannya kelak. Hari ini aku harus menunaikan kewajibanku terhadap pegawai, tak ketinggalan santunan dari perusahaan sebagai bentuk empati kami terkait wabah Corona ini. Meskipun kudengar dari pemerintah dan dinas sosial sudah ada yang menyalurkan bantuannya kepada mereka yang terimbas masalah ekonomi. Ya, di saat inilah kepedulian kita harus ditunjukkan. Tak semua warga negeri ini makmur seperti yang tampak di drama-drama televisi.

Merhaba, Aşkim! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang