11. Zul si netizen

8K 2K 328
                                    

"Hiiihh, kalau bener begitu, saya bakal jadi netizen yang selalu nyinyirin kamu."

Quotes dari
-Zul si Netizen yang budiman."

😎

Siapapun di ruangan tersebut tak pernah melihat atasannya tertawa sebahagia itu. Bahkan, setelah dia menutup telfonnya, pria bernetra hijau itu masih saja menyunggingkan senyuman. Sebagai orang-orang yang sudah bersamanya bertahun-tahun, mereka turut senang melihatnya. Rasanya, Immanuel tidak begitu menyeramkan lagi seperti dulu.

"Anda bersenang-senang, Tuan?"

Immanuel terkekeh kembali ketika mendengar pertanyaan dari orang terpercayanya. Sosok yang sudah belasan tahun menjadi tangan kanannya.

"Ya, Hans. Rasanya seperti anak-anak yang memiliki mainan baru," ujarnya, tangannya terulur mengambil daging di dalam ember yang Hans pegang, lalu melempar daging itu ke arah kandang berisi dua harimau besar peliharaannya.

"Aku kira putriku menikahi pria brengsek bermulut besar."

Hans mengangkat kedua alisnya. "Tapi ternyata?" tanyanya, ingin tahu sudut pandang Immanuel kepada menantunya yang diselidiki oleh Immanuel sendiri. Ya, Immanuel bahkan tidak meminta bawahannya untuk mencari tahu asal-usul menantunya itu, malah dirinya sendiri yang turun tangan langsung.

"Ternyata dia hanya buku klasik dengan cover yang memiliki gambaran berbahaya."

Hans tersenyum kecil. Inti dari yang Immanuel ucapkan adalah, ternyata menantunya tak seburuk perkiraannya.

"Aku mengakui keberanian dan kesetiaannya. Dia pantas dipuji, tapi setiap kita bertemu yang aku lakukan hanyalah menghujatnya."

"Kenapa begitu?"

"Sesekali kau harus mengobrol dengannya, dia sangat menyebalkan. Jadi aku tidak bisa menahan diri."

Hans tersenyum kembali.

Bertepatan dengan selesainya obrolan itu, daging yang ada di dalam ember habis. Immanuel menatap sepasang harimaunya sebelum berbalik dan memerintahkan para bahawannya untuk merawat peliharaannya itu dengan baik yang dijawab dengan patuh oleh mereka. Selanjutnya ia beranjak pergi diikuti oleh Hans di belakangnya setelah ia menyerahkan tempat bekas makanan harimau tadi pada salah satu pegawai.

Immanuel hendak mencuci tangannya, namun belum sempat ia membuka keran air, ponsel dalam saku jasnya berdering. Senyuman miringnya nampak setelah melihat nama di layar itu.

"Ada apa?" tanyanya pada sang penelfon, tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Kamu tau saya orang sibuk. Kamu harus buat janji dulu sebelum bisa menghabiskan waktu dengan saya."

"Saya meminta sebagai menantu Anda, Tuan Immanuel Yang Terhomat."

Immanuel menahan kekehannya mendengar nada penuh kekesalan dari menantunya yang memang sudah pasti merasa kesal. Entah apa yang ingin dia bicarakan besok sampai-sampai ingin bertemu secara langsung.

"Oke, besok, jam sembilan."

Selanjutnya bocah itu langsung mengucap salam dan menutup telfon saat keinginannya dituruti. Huh, dasar si Zulfan.

"Atur kembali jadwalku besok, Hans. Menantuku merengek minta bertemu."

"Baik, Tuan."

***

Setelah memutus sambungan telfon dari mertuanya, Zul melihat pantulan dirinya di depan dinding lift itu. Orang sibuk katanya? Ya, SIBUK ngerjain menantunya.

          

"Hhaaahh..."

Entah untuk keberapa kalinya Zul menghela napas panjang siang ini. Katakanlah kalau hari ini sangat penuh dengan kejutan. Rasanya seperti kena prank. Lagipula, kenapa sih Immanuel sangat kekanakan? Bagaimana kalau iman Zul goyah dan dia terpancing dengan godaan wanita itu? Bisa tamat rumah tangganya yang masih seumur jagung. Bahkan mungkin dirinya juga tamat di tangan Immanuel. Paling parah jadi makanan singanya itu, kalau tidak salah namanya Sierra.

Ting

Ketika lift terbuka, Zul melihat wanita yang menjadi salah satu aktris dalam kehidupannya keluar dari ruangan Hafizh. Zul melangkah keluar dari lift sambil menajamkan penglihatan. Dan sepertinya benar, wanita itu... Habis menangis. Ada apa? Apa Hafizh memarahinya? Tapi tidak mungkin.

Tatap mereka akhirnya bertemu. Dan saat itu juga Angel tersenyum seakan air matanya hanyalah air mata palsu.

"Bapak keren," kata wanita itu saat mereka berhadapan.

Zul langsung berkacak pinggang dan pasang wajah garang.

"Kamu ngapain pura-pura nangis?"

Bukannya mendapat jawaban, Zul hanya mendapat cengiran disusul dengan pujian.

"Saya salut loh sama kesetiaan bapak."

Kali ini Zul pasang tampang songong andalannya.

"Kamu dibayar berapa sama si Immanuel?"

"Hmmm, ada deh."

"Tcih, mending kamu jadi artis aja daripada kerja di perusahaan. Gak cocok."

"Betul. Bapak nanti bisa lihat saya di tv."

"Ha? Kamu beneran mau jadi artis?"

Wanita itu mengangguk. "Akting saya keren, kan?"

"Jelek. Buktinya gak mempan ke saya."

Kali ini bibirnya mengerucut, agak kesal lama-lama ngobrol sama Zul. Tapi tetap saja tidak membuat rasa kagumnya kepada Zul hilang.

"Coba aja kalau mertua Bapak bukan Tuan Immanuel, saya pasti bakal beneran berusaha nikung Mbak Zulfa."

"Gak usah mimpi ya kamu."

"Aaaaa saya iri sama Mbak Zulfa. Dia dapet yang kaya Pak Zulfan gini dimana?"

"Di jalanan."

"Ha?"

"Ngapain sih kamu di sini? Udah sana pergi. Kesel saya liat muka kamu."

"Gak papa, saya suka loh liat muka bapak."

Zul bergidig ketika wanita itu mengerlingkan mata genit padanya.

"Kamu kalo jadi artis pasti cocok dapet peran pelakor!" tukasnya, jujur dari lubuk hati yang paling dalam.

"Enak aja. Saya mau jadi pemeran utama yang tersakiti tapi dapet akhir bahagia."

"Hiiihh, kalau bener begitu, saya bakal jadi netizen yang selalu nyinyirin kamu. Jadi haters yang paling setia."

"Ih, si Bapak."

Apa jadinya kalau Zul jadi netizen yang budiman. Pasti dia jadi raja nyinyir. Dan punya persatuan netizen nyinyir se-Indonesia. Wah.

"Zul."

Panggilan Hafizh membuat Zul beralih fokus ke arah atasannya yang membuka pintu ruangannya itu. Belum sempat menjawab Hafizh, Zul mendengar wanita di depannya ini berbisik.

"Bapak gak percaya. Saya bisa loh akting jadi pemeran utama yang tersakit."

Alis Zul terangkat sebelah. Sementara itu Angel yang mendengar suara langkah kaki mendekat langsung memulai aksinya.

Zul [SEGERA TERBIT]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt