Ketika kami tiba di kantor, anak-anak juga baru saja selesai makan di kantin. Kami bertemu di depan lift. Hilda dan Rani menyapaku dengan sangat heboh, yang aku curiga ada niat lain di belakangnya. Ada juga Restu, Prio, Tanti, Ale, dan Mas Hans di sana.
Hilda dan Rani pun berbasa-basi bertanya aku tadi makan di mana. Lalu aku bilang bahwa sahabatku-yang sedang berdiri di sebelahku sambil main HP-mengajakku makan siang di kafe dengan gaya 60's vibes yang ada di dekat sini. Seperti biasa, Jagad hanya tersenyum tipis dan mengangguk saat aku memperkenalkannya pada Hilda dan Rani yang terlihat sangat excited.
Tak ada pembicaraan yang berarti saat kami sudah di dalam lift. Namun, jantungku mencelus tak karu-karuan saat aku berdiri tepat di sebelah Restu. Lengan kami bahkan saling bersentuhan karena lift cukup penuh. Lagi-lagi aroma parfum yang khas dan maskulin itu menyambangi hidungku. Demi Tuhan, kenapa aku berdebar-debar begini sih?
"Bye, Gad. Thanks, ya," pamitku ketika lift tiba di lantai 9. Jagad hanya melambai sambil tersenyum.
Aku melangkah terburu-buru, karena aku tidak sanggup kontak fisik lebih lama lagi dengan Restu.
"Uwuuuu ... Jadi, temen lo si koko-koko kwetiaw itu, Na?" tanya Ale begitu pintu lift tertutup. "Tahu gitu gue ikutan makan!"
Aku tergelak. "Emang kenapa sih, Le?"
"Itu idol-nya Rani tuh, Na," celetuk Hilda sambil terkekeh. "Jagad Pangestu, alias Koko Samasta."
"Kok gue doang? Lo juga ngeces tiap lihat Koko Samasta di lobi!" balas Rani cepat.
Aku tertawa-tawa. "Koko Samasta?"
Wah, tidak kusangka pesona Jagad sampai di kantor juga. Aku sudah terbiasa dengan pesona itu saat kami kuliah. Banyak sekali yang menitipkam salam, cokelat, sampai buku puisi untuk Jagad kepada kami berlima. Ternyata hal itu tidak berubah sampai sekarang.
"Teman apa teman, tuh, Na?" tanya Rani heboh, sambil menyenggol-nyenggol pundakku. "Ganteng banget sih dia tuh! Kan gue jadi deg-degan!"
Aku tertawa lebar. "Temen beneran, Ran. Teman kuliah."
"Oh, kalian sekampus??"
Aku mengangguk. "Sejurusan. Seangkatan. Satu dosen pembimbing pula."
"Anjiirr ... Apa rasanya temenan dekat sama Koko Samasta, Na?"
Apa rasanya jadi teman Jagad Pangestu? Bila ditanya beberapa bulan yang lalu, aku akan menjawab "B aja". Malahan terkadang sikap agresif cewek-cewek yang rajin menjilat kami untuk mendapatkan perhatian Jagad itu juga menjengkelkan. Tapi kalau sekarang, apa rasanya jadi teman Jagad? Kurasa itu adalah anugerah terbaik yang kuterima. Tanpa dia, aku tidak akan bisa sampai di tahap ini bukan?
"Yaa ... Gitulah. Sama aja kayak temenan sama lo, Ran," jawabku berdusta.
"Mana mungkin?! Tapi kok tumben dia lewat situ?" tanya Rani heran, saat kami sudah di kubikel masing-masing.
Kebetulan kubikelku memang berdekatan dengan kubikel Rani dan Hilda. Karenanya, aku sering terjebak dalam obrolan karena dua orang itu senang sekali membahas banyak hal. Mulai dari acara American Next Top Model sampai mas-mas ganteng di Circle-K.
"Lewat situ?" Aku balas bertanya, sembari meraih air mineral di meja.
"Lift umum. Kok dia lewat situ? Bukannya lewat lift CEO?"
Sambil menegak air dari botol, aku menyipitkan mata.
"Ada gitu lift CEO?" tanyaku bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIHAPUS - Tentang Kita yang Tak Mengerti Makna Sia-Sia
RomancePART 21 - EPILOG SUDAH DIHAPUS - TERSEDIA VERSI CETAK DAN DIGITAL DI GOOGLE PLAYBOOKS. Di usia 28 tahun, Nana kehilangan pekerjaan. Kantor tempatnya bekerja selama lima tahun terus menerus merugi dan akhirnya gulung tikar. Kabar buruknya, kantor bah...