17. Pecel Lele

615 127 24
                                    

Gama tidak punya ide mengenai makanan apa yang Tania suka sebab setiap kali memperhatikan perempuan itu di kantin, Tania hanya akan membeli sebungkus roti isi dan susu.

Karena semuanya sudah terjadi-- mengenai kegilaannya menanyakan hubungan Tania dengan Arkana, juga mengajaknya makan malam, kini Gama hanya berpikir untuk melewati malam ini tanpa memikirkan hal-hal yang membuatnya harus melupakan gadis itu.

Tangan kecil Tania masih menggenggam jaketnya dengan erat, padahal Gama tidak membawa motor selaju tadi. Meski begitu ia terus tersenyum, mencoba untuk mengingat momen ini lamat-lamat agar nanti ketika waktunya mereka tidak bisa bertemu lagi-- entah karena hubungan belajar atau yang lain, Gama hanya mau mengingat momen indah bersama Tania dengan jelas.

"GAMA!"

Karena jarak mulut Tania dengan telinganya lumayan dekat, ia sampai terlonjak kaget sewaktu cewek itu berteriak lagi. Gama mendengus geli, lalu menoleh sekilas ke belakang.

"Jangan teriak, nanti sakit tenggorokannya."

Tanpa sadar ia mengeluarkan kalimat perhatian lagi. Tania menelan ludah, lalu menggeleng pelan untuk mengusir pikiran-pikirannya mengenai Gama.

"Gam, jam sembilan pulangin gue ya."

".... Ini jam berapa?"

"Delapan. Cukup kan buat lo makan sama anter gue balik?"

Gama maunya menjawab kalau itu tidak akan cukup. Niatnya membuat kenangan baik bersama Tania tidak mungkin bisa ia selesaikan hanya dalam waktu satu jam-- sedangkan momen itu yang akan ia pakai saat nanti pergi dari Jakarta dan semua kehidupannya sekarang.

Mungkin Tania sadar kalau Gama keberatan, jadi ia bersuara lagi setelah Gama tidak ada tanda-tanda akan menjawab. "Gama."

"Ya?"

"Gue orangnya tau diri kok. Selama dua bulan ini lo bantu gue belajar, jadi gue juga bakal temanin lo makan kapan pun-- meski gue juga nggak ngerti kenapa lo butuh teman makan. Tapi buat malam ini gue nggak bisa lama."

"Kenapa?"

"Kan lo nyuruh ngerjain ulang soal yang tadi?"

Hanya jawaban sesederhana itu, namun Tania berhasil membuat kekecewaan Gama berubah menjadi tawa. Malam ini, entah perempuan itu sadar atau tidak, untuk ke sekian kalinya dia telah membuat Gama jatuh cinta lagi.

"Tania."

"Ha?"

"Lo lucu."

Tania mengeryit, lantas memajukan badannya lagi untuk mendengar ucapan Gama dengan lebih jelas karena laki-laki itu mengatakannya dengan pelan.

"Apaa? Gak dengerr!"

Gama tergelak, lalu menoleh, membuat Tania spontan mundur sedikit karena jarak antara wajah mereka terlalu dekat.

Tania mengenal laki-laki ini satu tahun, namun baru bisa berinteraksi selama dua minggu belakangan, dan baru malam ini Tania tahu kalau ketika Gama tersenyum matanya ikut melengkung seperti bulan sabit. Indah sekali.

Untuk sejenak Tania kembali terperangah. Apakah Gama memang semenyenangkan ini? Saat ia tertawa, tersenyum, banyak bertanya, atau bahkan hanya ketika bicara asal namun penuh perhatian?

Apakah Gama memang begini? Kenapa Tania baru menyadarinya setelah jarak besar di antara mereka terkikis karena insiden tancapan gas tadi? Kalau memang iya, Tania tidak akan bingung lagi kenapa banyak perempuan bersedia dipermainkan olehnya.

"TANIA!"

Perempuan itu terlonjak kaget, lalu menatap Gama dengan bingung. Tadi laki-laki itu bilang jangan teriak, namun sekarang ia malah melakukannya. Dari kaca spion mereka saling tatap, namun bukan jenis tatapan dingin seperti biasanya.

GAMANIA | Jeno ☑️Where stories live. Discover now