Vivian Ghrestella Kusuma Ayu
"Di sini beneran nggak apa-apa Vi?"
Kali ini aku hanya memutar bola mata dan mengangguk pasalnya ini sudah kali ke empat Dito bertanya, dia merasa tidak enak karena aku harus menyusulnya ke masjid kampus, padahal aku sama sekali tidak keberatan.
"ya takutnya kamu nggak setuju. Sorry ya terpaksa nyuruh kesini soalnya mau ke perpus kok pegel banget." ujarnya yang diakhiri dengan senyuman lebar, senyuman yang mampu membuat aku sering susah tidur.
"Ya ampun Dit, aku nggak masalah. Lagian aku yang butuh bahas ini sama kamu! Dah ya, sekarang jelasin yang ini keburu sore!"
Dito tertawa, matanya menyipit dan tampak lekuk di bawah matanya dan semua itu semakin membuat wajah nya semakin menawan.
Sejak awal masuk fakultas ini, entah apa alasan pastinya perhatianku langsung terpusat pada Dito. Dan semakin kesini aku semakin tidak menyesal mengaguminya.
Dito sosok yang ramah dan suka membantu, sepertinya dalam kamus hidupnya tidak ada kata menolak jika ada yang butuh bantuannya. Karena hal itu juga makanya Dito selalu dipercaya sama teman-teman satu kelas untuk menjadi pemuka kelas.
"Ini kemarin materi yang sudah dibagi. Kemarin kamu kemana? Awas lho jatah bolos kamu udah habis di kelas Pak Andra, ya kecuali semester depan masih mau ikut kelasnya!"
"Ih janganlah! Makanya ini aku ngejar penjelasan sama kamu, Pak Andra ngasih tugas. Kemarin aku pulang, papiku sakit!"
"oh, terus gimana papinya? Udah sehat?"
"Udah Dit, biasa papi kalau ada yang dirasakan sedikit aja langsung telepon aku minta pulang."
"Maklum lah Vi, anak satu-satunya. Seneng kan kepulangannya masih diharapkan banget sama orang tua!"
Aku langsung tersenyum mendengar ucapannya, ada makna mendalam dalam kalimatnya. Satu hal lagi yang membuat aku kagum banget sama Dito, dia seorang yang bisa dibilang kurang beruntung. Sejak bayi dia sudah tidak punya orangtua, tapi Dito tidak pernah menunjukkan kesedihan sebaliknya dia malah terlihat semangat dan optimis bahkan lebih dari aku yang masih punya orangtua lengkap.
Dito mulai menjelaskan materi imunologi yang kemarin aku tinggalkan. Pria ini paket lengkap banget, ganteng, ramah, baik hati dan public speaking nya bagus banget. Oh iya Satu lagi, dia seseorang yang yang lumayan menjaga aturan agamanya.
Entah apa saja yang Dito jelaskan karena aku tidak bisa fokus 100%, mataku malah sering fokus ke wajah dan senyumannya membuat bibir ku otomatis ikut tersenyum.
Dari penjelasan Dito aku menangkap bahwa sistem imun yang sehat adalah sistem imun yang seimbang, yang bisa meningkat kemampuannya seiring dengan masuknya antigen penyakit.
Sistem imun sendiri bisa terjadi lewat dua jalan, alami dan buatan. Yang alami terjadi dengan sendirinya, ketika tubuh mendapat respon dari luar maka otomatis sistem imun tubuh akan bereaksi. Lalu imun yang buatan berarti tubuh memerlukan suatu bahan atau media dari luar yang bisa membantu meningkatkan imun, biasanya yang sering didengar masyarakat umum adalah vaksin.
Seperti halnya sistem imun, perjalanan sebuah hubungan pun sama dengan perjalanan imun tubuh...
Sebuah relationship yang sehat adalah yang rasa cintanya seimbang, cinta yang meningkat seiring dengan banyaknya cinta yang diberikan pasangan.
Dari sistem imun juga aku belajar bahwa sebuah perasaan cinta itu bisa tumbuh dari dua jalan. Cinta akan tumbuh secara alami, kita tidak bisa mengelak dan memilih ketika tiba-tiba merasakan cinta.. istilahnya cinta pada pandangan pertama..
Cinta juga bisa datang karena buatan, terkadang butuh media atau bahan yang bisa mereaksi timbulnya cinta, bisa bentuk perbuatan atau barang tergantung orangnya. Cinta datang karena terbiasa..
Terbiasa mendapat perhatian, terbiasa mendapat kebaikan, terbiasa tertawa dan menangis bersama, terbiasa menghabiskan waktu berdua akhirnya cinta itu muncul."Bisa dipahami nggak Vi penjelasanku? Sorry ya nggak segamblang Pak Andra!"
"Setidaknya jadi lebih paham Dit, daripada baca-baca sendiri! Terimakasih ya, sorry ganggu waktunya kamu ibadah!"
"Santai Vi aku udah selesai sholat kok!"
"Dito!"
Pria itu mengalihkan pandangannya. "Ada lagi yang perlu dibantu, Vi?"
Aku memilih tersenyum menahan segala rasa dihatiku. Dito lelaki yang sempurna banget dimataku, semua yang ada pada dirinya membuat aku kagum. Setidaknya aku aman dengan kata 'kagum' meskipun harus membohongi diri sendiri, terlalu sakit rasanya kalau harus mengatakan bahwa aku jatuh cinta padanya, ada hal besar yang membuat Dito terlalu jauh untuk aku gapai.
"Vi! Malah bengong?"
"Dit, apa mungkin kalau kita bisa dekat?"
"Bukannya kita udah dekat, Vi? Bahkan beberapa kali kita satu kelompok!"
Begitu ya? Aku tersenyum tipis, makna dekatku dan dekatnya Dito itu berbeda..
Dito ikut tersenyum, teduh sekali. Dari pancaran matanya seperti tersirat sebuah makna mendalam. Seakan dia tahu apa yang ada dihatiku, dan dia paham bagaimana kondisi kita.
"Nggak diangkat, Dit?" tanyaku saat Dito sengaja membiarkan panggilan masuk di ponselnya.
"Biarin aja, nanti kalau penting pasti telepon lagi!"
Baru sedetik Dito diam, ponselnya kembali menampilkan panggilan masuk. Aku sempat meliriknya dan seketika menimbulkan rasa nyeri dihatiku waktu membaca nama kontaknya.
Humairaku
Sesuatu yang diakhiri dengan - ku biasanya bermakna kepemilikan. Jadi Humaira ini miliknya Dito? Dengan kata lain Dito sudah punya seseorang yang dia akui sebagai hak milik?
Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum untuk menyembunyikan rasa perih dihati.
"Kenapa nggak diangkat lagi? Siapa tahu penting Dit!"
"Nggak apa-apa, nanti aja aku hubungi dia. Ini masih ada yang perlu dibahas lagi, Vi?"
"Cukup Dito, makasih banyak ya!"
"Halah iya Vi," jawabnya sambil tertawa. "Kamu juga sering bantuin aku, malah aku sering dapat makan enak juga!" lanjutnya dan ditutup dengan tawa juga.
Aku dan Dito tidak langsung pulang karena rencananya masih ada yang mau dibahas bareng teman-teman sekelompok praktikum.
Tapi sepertinya Dito tidak jadi ikut karena barusan mendapat telepon penting dari keluarga nya.
"Vivian, sorry nih kayaknya aku duluan. Titip pamit sama yang lain ya! Simbahku masuk rumah sakit!" tuturnya sambil sibuk memasukkan laptop dan buku-bukunya kedalam tas.
"Boleh aku ikut, Dit?"
"Ada pertemuan kan Vi sama anak-anak?"
"Nggak apa-apa Dit, cuma mau bahas teknis pelaksanaan praktikum minggu depan aja kan? Nanti pasti di share di grup. Aku temani kamu aja, siapa tahu ada yang bisa aku bantu!"
Setelah beberapa saat diam berpikir Dito akhirnya mengiyakan. Aku berniat bantuin Dito, sedikit banyak aku tahu cerita bagaimana kesulitannya membagi waktu antara kuliah dan simbahnya.