Bismillah dulu.
Terima kasih dan selamat membaca 💕
•°•°•
"HUKUM semesta ... tidak ada Rembulan tanpa cahaya Bintang? Ya juga sih, anak Mas Bintang ini, nggak bakal ada kalau bukan karena bapaknya. Kok bisa pas? Pinter deh Mas Mana, kalo ngomong suka bener."
"Iyalah. Kamu suka nggak sama cowok pinter?"
"Biasa aja. Aku paling suka cowok supel kayak Mas Bintang. Buat apa pinter kalo sekaku kayu jati amplasan? Nggak enak banget ketemu sama orang begitu tiap hari. Tuh, Mas Hara tuh, contoh hidupnya."
•°•°•
Nilam terbangun karena muntah hebat dan semua yang ada di ruang pemulihan spontan berjengit. Dua wanita berseragam perawat segera menghampiri untuk mengatasi kekacauan. Sementara seorang dokter mengevaluasi cepat sang pasien lalu menginstruksikan perawat lain untuk injeksi morfin intravena.
Dingin.
Nilam sangat kedinginan. Dingin yang mengebaskan sekujur pori-porinya hingga mati rasa. Sedangkan di dalam, yang terjadi adalah sebaliknya. Seakan perut Nilam dikuliti selapis demi selapis dan seluruh isinya ditarik keluar. Otaknya memaksa harus berontak, namun seperti dibebat rantai besi, tubuhnya tidak bergeser sedikitpun.
Nilam tak mampu melepaskan diri dari sakit luar biasa yang menjeratnya. Bahkan saat dia membuka mata, cahaya intensitas tinggi menghunus korneanya, hingga justru membuatnya memejam makin keras. Semua yang dilihatnya hanya gelap, dan semua yang didengarnya hanya rintih dari bibirnya sendiri.
Sekian menit kemudian sakit itu tak lagi Nilam rasa. Seluruh sarafnya dimatikan oleh morfin yang kini menyatu dalam darah. Saat otot-ototnya melemas, Nilam membuka mata perlahan.
Jika masih ada yang bisa Nilam rasa, itu adalah air yang keluar dari sepasang sudut matanya, mengalir ke samping.
•°•°•
Usman tidak mempermasalahkan meski harus membayar lebih dari jatah asuransi untuk menaikkan kelas perawatan menantunya dari reguler ke VVIP, demi alasan kenyamanan. Nilam belum sempat berterima kasih sebab begitu dia dipindahkan ke ruang perawatan, Usman sudah pergi lagi mengurus sesuatu.
Nilam belum bisa menggerakkan tubuhnya, apalagi bangun. Perih kembali menggigiti jahitan perutnya, tetapi rasa syukur terhadap kehadiran Rini dan Intan di sini membuat senyum Nilam terulas samar. Dia berusaha menggamit jemari kedua wanita yang duduk di kanan-kiri dengan masing-masing tangan.
"Makasih ya, Bu, Bunda ...." katanya pelan, sebelum menangkap keanehan pada keduanya. "Sudah, dong, kenapa masih nangis? Nilam sudah bangun ini. Kata dokter Zesta harus kentut dulu baru boleh makan? Padahal lapar."
Nilam ingin tertawa untuk mencairkan suasana, tapi perutnya masih terlalu perih bahkan hanya untuk meringis.
Hanya saja, Rini semakin tak mampu mengendalikan tangisnya. Dahinya jatuh bertumpu pada genggaman jemarinya dengan Nilam. Bahu tua itu naik-turun berusaha menekan isakan. Nilam tahu, Rini selalu menyayanginya seperti putri sendiri. Apalagi sekarang ada anggota baru.
Nilam mengalihkan senyumnya pada Intan yang menyeka bawah mata dengan satu tangan.
"Bulan mana, Bun? Di inkubator?"
Intan terdiam sesaat. "Bulan, Nduk?"
Nilam berusaha mengangguk. "Bulan namanya. Rembulan. Nama lengkapnya belum. Nanti kalau manggil 'Mbul, Mbul' gitu. Kan lucu, Bun?"
Intan menelan ludahnya seakan menelan duri.
Sedangkan Rini menengadah, satu tangannya gemetar mengusap kepala Nilam. Bibirnya membuka, menutup, seakan kesusahan ingin mengucap sesuatu. Nilam tak bersuara, tetapi tatapannya sangat menunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Improvisasi Rasa
General FictionSahara Vrihaspati Iskandar mengira rumah tangga akan sempurna jika dikaruniai anak perempuan yang akan melengkapi putra pertamanya. Kecuali ketika istrinya tewas dalam kecelakaan maut bersama dengan janinnya. Arunilam Kencana mengira hidup akan semp...