6 | ngiler

39.5K 4.4K 140
                                    




6 | perihal iler



IIS mengerjapkan mata, baru menyadari bahwa dirinya telah tertidur di mobil Gusti. Dan sekarang kendaraan itu sudah berhenti di reserved parking apartemennya.

"Kok nggak bilang udah nyampe?" tanyanya ke pria yang kini tengah memperhatikannya dari jok pengemudi.

Gusti mesem dan kemudian mengalihkan pandangan kembali ke depan. "Baru mau bilang, elonya udah bangun duluan."

Iis mengerjapkan mata beberapa kali, menghela napas panjang-panjang untuk mengumpulkan nyawa.

Capek.

Tadi, selain ke butik, mereka pergi mengambil pesanan kain dan nyicil beli-beli seserahan.

Sebenarnya Iis sudah akan membeli paket seserahan yang sama persis dengan yang dipesan salah satu klien Relevent, biar sekalian repotnya, tapi rencananya gagal total gara-gara Mama dan tantenya rewel. Kata mereka, 'Masa seserahan nggak customized gitu. Nggak berasa spesial dong?'

Akhirnya, dia dan Gusti hanya bisa mengiyakan, dan dalam hati langsung bertekad, sisa barang yang nggak bisa terbeli hari ini akan langsung dia order besok, bareng order untuk kliennya yang lain, biar kalau besok-besok ditanya lagi, dia bisa bilang kalau semuanya sudah beres.

Wanita itu kemudian menoleh ke jok belakang. Ke tumpukan kardus berisi paket-paket kain untuk keluarga Gusti yang mau dikirim ke Magelang, sementara jatah untuk keluarganya sudah dibawa pulang pakai mobil Mamanya.

Iis menghela napas panjang lagi.

Tadi Gusti bilang, dia sendiri saja yang pergi membawa paket-paket itu ke ekspedisi, karena Iis pasti sudah nggak tahan pengen cepet-cepet mandi setelah seharian berada di luar.

"Thanks for today, Gus." Wanita itu berujar sambil merapikan anak rambut yang terasa keluar semua dari jilbab. "Mama kayaknya udah makin-makin aja sayangnya sama lo."

Gusti tertawa suram. "Until she recognized me in our graduation photos. Betapa dekil calon mantunya dulu."

"Hahaha. Puberty itu namanya, Gus." Iis berusaha menghibur. "Artis-artis yang sekarang cakep-cakep juga dulu pas belum bisa nyari duit sendiri pasti pada dekil-dekil juga."

Tadi Mamanya memang rada nggak sopan sih, saat nggak sengaja menemukan foto lama Gusti di salah satu tagged foto Iis di Instagram. Mama yang tadinya ketawa-ketawa di tengah obrolan makan siang mereka itu mendadak pasang muka shock—sebelum mohon maaf dan akhirnya ketawa lagi.

Gusti memang sedekil itu pas kuliah, bahkan di foto wisuda. Jadi sebenarnya Mama Iis nggak lebay-lebay amat.

"Lo nggak ikut naik?" Wanita itu lalu bertanya.

Well, pertanyaan itu refleks saja keluar dari mulutnya karena sudah biasa. Bukan sengaja basa-basi, juga bukan sedang berharap Gusti akan ikut naik bersamanya. Sejujurnya, di antara kedua pilihan itu, tidak ada yang jadi masalah untuk Iis.

Terlepas dari sudah cinta atau belum, dia menerima dengan setulus hati fakta bahwa pria di sebelahnya ini adalah tunangannya, dan bulan depan mereka akan resmi menyandang titel suami istri. Jadi menurutnya, nggak masalah juga biarpun tiap hari Gusti menyatroni tempat tinggalnya. Malah lebih cepat terbiasa dengan keberadaannya, lebih bagus. Toh mereka berdua juga bukan bocah kasmaran yang kalau berduaan di tempat tertutup dikhawatirkan akan berbuat maksiat.

"Besok kan udah hari Senin, Sayangku. Berhubung ini masih posisi baru, gue masih sering nervous kalau sebelum berangkat nggak prepare apa-apa. You know, kacung kampret thingy. Napas kencengan dikit aja salah." Gusti meringis malu. "Kalau pakai nginep di tempat lo segala, bisa runyam. Besok pagi nggak fokus kerja, karena masih kebawa mood pacaran."

Iis memutar bola mata, merasa jawaban Gusti tersebut mengandung gombalan garing. "Mampir makan doang juga enggak?"

"Hmm. Skip, deh. Tadi siang udah kebanyakan makannya. Gede banget porsi Bunga Rampai, jadi belum laper lagi sampe sekarang."

Iis melepas seatbelt dan mengecek tasnya, memastikan tidak ada barang yang tertinggal di mobil Gusti. "Kabarin kalau udah nyampe nanti, ya."

"Iya. Duh seneng deh, mulai diperhatiin sama calon istriku."

Iis terdiam sejenak. Lalu menoleh, menimbang-nimbang.

Tapi akhirnya daripada langsung turun, dia pilih mengulurkan kedua tangan untuk memeluk pria di sebelahnya lebih dulu, sadar butuh effort lebih untuk mulai menciptakan ikatan batin di antara mereka berdua. Dan jelas nggak fair kalau dia cuek-cuek saja, membiarkan Gusti seorang yang berusaha.

"Welcome to the family, Gus," ucapnya tulus. "Thank God, it is you—dan gue nggak bisa bayangin kalau harus sama orang lain. Karena kita udah kenal lama banget, jadi nggak perlu banyak adaptasi dan ngorek-ngorek kepribadian satu sama lain. You make this process easier for me."

Gusti mengelus belakang kepala sang wanita dengan sayang. Yeah, sayang! Dia emang udah sayang Iis sebagai teman dari dulu. Jadi menambah sedikit kadar sayangnya biar lebih dari sekadar teman bukanlah hal yang sulit, apalagi kalau ceweknya itu macem si Iis yang emang lovable banget—terkhusus ke yang sudah kenal minimal lima tahun.

"Sama-sama, Is. Gue juga nggak bisa bayangin, kalau bukan elo. Kalau baru mau nyari cewek sekarang, mungkin gue baru mantep ngajak nikahnya sepuluh tahun lagi, kali."

Iis tertawa pelan sambil melepaskan diri. "Jadi kita ketemu lagi besok, after office hours?"

Gusti mengangguk.

"Kabar-kabar aja. Kali gue bisa jemput."

"Impossible sih, elo pulang lebih sore dari gue."

"Ya, siapa tau."

Iis tidak menyahut lagi. Segera membuka pintu di sebelahnya.

"Wait!" Gusti menghentikan tepat sebelum Iis melangkah turun.

"Apa?"

Pria itu lalu meraih kotak tissue basah di dashboard dan mengambil selembar, lalu mengusapkannya ke ujung bibir sang calon istri.

"Apaan sih, Gus?" Iis langsung panik.

"Elo ngiler tadi pas ketiduran." Gusti menjawab, agak merasa tidak enak hati. "Kalau gue doang yang ngelihat sih selow. Tapi pasti nanti lo malu kalau papasan sama orang lain di lift."

Kontan Iis melotot. "Ngada-ada. Masa iya gue sempet ngiler, cuma merem bentar doang ini."

Gusti menyerahkan bekas tissue basah di tangannya. "Lihat aja pakai microscope."

Cepat-cepat Iis turun sambil menahan malu. "Ya udah. Bye."



... to be continued

WEDDING BRUNCH [COMPLETED]Where stories live. Discover now