Kabut Berarak #15

12.7K 909 30
                                    

Yayyy... sudah weekend lagi.

Seperti janji saya, part inilah kejutannya. Ada siapa?

Yuk langsung baca saja.

Anggap ini dessert setelah makan siang.

Tara mematut dirinya di kaca. Pakaian dan sepatu pemberian Ibu Natasukumah sangat pas di badan dan kakinya. Floral dress berwarna dominan hitam dengan sedikit aksen warna biru tanpa lengan dan belt tipis di pinggang, serta sepatu berwarna hitam dengan heels tiga sentimeter nampak sangat bagus di tubuhnya. Dengan heels yang tidak tinggi, tubuh Tara jadi tidak terlihat menjulang tetapi proporsional. Tara sampai bertanya dalam hati, bagaimana mungkin Beliau sampai tahu ukurannya? Atau Aria yang memberitahu? Tetapi mana mungkin bosnya itu mengurusi hal remeh seperti ini. Karena pameran ini, Tara belum sempat memberitahu Aria mengenai pilihan tempat kuliahnya. Sepertinya mood bosnya memang tidak sedang dalam keadaan baik. Beberapa kali Tara melihat wajah Aria tegang atau mendengar Aria berbicara dengan suara keras di ponsel. Tara sampai ketar-ketir. Tidak biasanya bosnya itu bersikap seperti ini jika berada di apartment. Sebentar, Tara ingat, mendekati hari pameran yang akan mereka datangi, sikap Aria agak berbeda. Karena melihat sikap Aria begitu, Tara tidak berani menyampaikan Universitas pilihannya.

Setelah pakaian dan sepatu yang ia kenakan sudah oke, Tara tinggal menata rambutnya. Ia hanya menjepit rambutnya ke belakang dan membiarkan bagian depan agak menutupi bagian pelipisnya. Selanjutnya ia memoleskan sedikit saja lipstick dengan warna yang tidak mencolok. Setelah memastikan semuanya sudah baik, Tara ke luar kamar. Aria masih berada di kamarnya. Sepertinya yang lebih lama berdandan malah Aria. Buktinya, setelah Tara duduk selama sepuluh menit di sofa barulah Aria keluar dari kamarnya.

"Sudah siap?" tanya Aria. Tara yang masih asik membaca di ponselnya langsung mengalihkan pandangan ke Aria. Tara terkesima melihat penampilan Aria kali ini. Walaupun pakaiannya sedikit kasual, kaos turtleneck hitam dengan outer berwarna beige lalu bawahan jeans hitam, namun ia terlihat sangat keren. Bosnya memang selalu terlihat menawan.

"Dari tadi lagi Pak."

"Wait..." Aria memperhatikan Tara dari atas ke bawah dan sebaliknya. Tara sangat cantik dengan dressnya tetapi mengapa tanpa lengan? Aduh, mamanya ini bagaimana ya? Tadinya Aria sudah terpesona, tetapi melihat lengan Tara yang terbuka, kerutan di keningnya seketika terbit. Yang benar saja. Pasti akan jadi sasaran empuk mata yang melihatnya. Tak terkecuali sosok yang nanti akan ditemuinya di pameran. Mata pelukis itu sangat liar. Kalau kaki Tara yang jenjang itu terekspos masih bisa ia maklumi, tetapi bagian atas, big no!

"Ambil syal," perintah Aria.

"Untuk apa ya Pak?" Jelas saja Tara bingung.

"Tutup lengan kamu itu."

"Ehhh...?"

"Cepat Tara, ntar kita telat lho."

Tara bergegas ke kamar. Mengapa selalu saja ada perdebatan sih? Tara menyambar syal yang ada di bagian atas rak baju, lalu cepat keluar dari kamar. Tetapi Tara tidak langsung menutup legannya yang terbuka dengan syal, melainkan memberikannya pada Aria.

"Ini Pak."

Aria juga tidak protes tetapi mengambil syal yang diberikan Tara. Pada bingung ya sepertinya. Lalu Aria tersadar jika seharusnya syal tersebut untuk menutup lengan Tara yang terbuka.

"Malah diberikan ke saya. Ya sudah sini," ujarnya meminta Tara mendekat. Aria lalu menutup lengan Tara yang terbuka dengan syal yang diberikan Tara tadi. Setelah itu Aria kembali memperhatikan Tara. Senyumnya mengembang, puas melihat hasilnya.

          

"Done. Yuk."

Sebenarnya, jika mau jujur, Tara suka dengan lengan yang terbuka karena lebih bebas alias tidak ribet dan panas. Juga gaun itu memang bagusnya tanpa lengan. Lagian tidak memperlihatkan bagian yang sensitif kan, jadi seharusnya tidak masalah. Tetapi melihat Aria yang tidak akan beranjak jika lengannya belum tertutup, Tara tidak berani protes. Susah memang jika bersama orang tua, khawatir masuk angin kalau lihat yang terbuka.

Mereka tiba di galeri milik Ibu Natakusumah tepat jam tujuh. Acara akan dimulai tiga puluh menit lagi. Di area depan galeri, beberapa mobil tamu yang diundang sudah parkir. Tara melihat sekilas. Dari mobil yang parkir, semuanya mobil mewah. Tara mengkeret. Setelah Aria memarkir mobilnya, Tara masih tetap di tempatnya dan ragu untuk turun. Tubuhnya ia rapatkan ke pintu. Jelas saja Aria yang melihat tingkah Tara jadi heran.

"Ayo turun Tara. Ngapain jadi merapat ke pintu begitu sih?" tanyanya. Tara hanya menarik napas. Kok ya jadi takut masuk ke dalam ya?

"Pak, bisa nggak Tara ke tempat lain aja?" tawar Tara ke Aria. Jika saja boleh, akan sangat menyenangkan tentu saja. Tara terbebas dari orang-orang yang sangat sulit dijangkaunya.

"Ada apa lagi sih? Mana bisa begitu Tara, ntar dicariin Mama lho kamu." Aneh saja, tadi waktu berangkat dari apartment semuanya terlihat baik, kok sekarang Tara mau ke tempat lain? Ada-ada saja.

"Pak, sepertinya semua yang diundang Ibu, istimewa ya?" Tara tidak berani melihat ke Aria.

"Karena kamu juga diundang Mama ke sini, kamu istimewa juga dong. Jangan mulai lagi rasa insecurenya ya. Hilangin itu Tara!" Tegas Aria lalu membuka pintu dan turun. Ia menunggu Tara juga turun dan berdua masuk ke dalam galeri. Ia menggenggam tangga Tara berjalan ke area meja Resepsionis. Namun belum tiba di tujuan, Ibu Natakusumah sudah heboh menyambut mereka.

"Aduh, cantik sekali Tara," ujarnya lalu memeluk Tara.

"Terima kasih buat gaun dan sepatunya ya Bu."

"Sama-sama Tara. Ternyata sangat pas ya di badan kamu. Ukuran dari Aria tepat banget deh." Tara mengangguk lalu melirik Aria. Oh, jadi ukuran untuk dress dan sepatunya ini didapat Ibu Natakusumah dari Aria. Yang dilirik hanya menarik sudut bibirnya.

"Syal ini untuk apa?" tanya Ibu Natakusumah. Tangannya akan membuka syal yang menutup lengan Tara tapi Aria menahan tangan ibunya.

"Ma, kok gaun ini tanpa lengan sih?"

"Lha, memang modelnya begitu. Lagian ini tuh cocok buat Tara lho." Aneh saja, gaun sebagus itu tapi tertutup bagian atasnya.

"Tapi lengan Tara jadi kelihatan dong Ma." Aria masih bertahan dengan argumennya.

"Oh, jadi maksud kamu lengan Tara nggak boleh terekpos gitu ya?" Aria mengangguk. Tara hanya diam menyaksikan adu argumen antara ibu dan anak. Ternyata anaknya tidak ingin orang lain melihat lengan Tara yang terbuka. Vero maklum sekarang.

Mereka masuk ke area lebih dalam. Jika dari luar gedung ini tidak terlihat besar, namun ruangan di dalamnya sangat luas. Bagian tengahnya seperti aula dan sudah ada kursi yang diberi kain penutup dengan hiasannya yang telah disusun dengan rapi. Beberapa tamu undangan sudah nampak duduk sesuai nama yang tertera pada sandaran kursi. Yang punya acara beserta keuarganya, tidak duduk di deretan tersebut tetapi di bagian samping. Tara termasuk di dalamnya. Ia yang tadinya sudah berjalan menuju kursi di bagian belakang, langsung saja ditarik Aria untuk duduk di sampingnya.

"Duduk di samping saya dong Tara." Tara nurut. Tapi ia sangat canggung dengan suasananya. Belum lagi para tamu yang sudah hadir, sangat jelas kelas sosial mereka. Perutnya jadi melilit.

"Pak, saya boleh keluar sebentar nggak?" tanya Tara dengan nada takut ke Aria. Sungguh, acara ini sangat tidak tepat buatnya. Ia butuh rokok untuk menenangkan pikirannya.

"Mau ke mana? Ini sebentar lagi mau mulai lho. Duduk, nggak usah aneh-aneh kamu." Aduh, kenapa lagi dia. Dari tadi bawaan Tara aneh. Tara tidak berani lagi mengajukan permintaan. Wajah Aria mulai menyeramkan.

Semakin banyak tamu yang berdatangan dan hampir memenuhi tempat duduk yang tersedia. Dari tadi sebenarnya Tara ingin melihat lukisan yang dipajang, tetapi melihat tamu yang datang langsung masuk dan duduk, niatnya ia urungkan. Akan menjadi aneh jika ia berkeliling melihat lukisan itu sementara tamunya belum ada yang melihat. Siapalah dirinya ini, batin Tara. Juga ia ingin tahu nama pelukisnya, setidaknya ia bisa baca pada lukisan yang dipajang. Karena sejak tahu akan ke pameran ini, Tara tidak pernah bertanya dan juga Aria tidak memberitahu lukisan siapa yang akan dipamerkan di galeri ibunya. Tetapi yang Tara tahu, jika galeri Ibu Natakusumah bukan galeri biasa, tetapi galeri yang selalu memamerkan hasil lukisan yang banyak diburu oleh kurator seni. Jadi jelas, pelukis dari pameran kali ini pastilah sangat terkenal.

Tepat jam 19.30 wib, pameran lukisan bertajuk Kabut Berarak itu pun resmi dibuka oleh Ibu Natakusumah. Setelah memberikan sambutan, Ibu Natakusumah mempersilakan sang pelukis ke depan dan bercerita mengenai tema lukisannya kali ini. Sebelum sang pelukis terlihat, lampu di bagian tempat duduk tamu diredupkan dan hanya bagian depan saja yang tetap terang. Kemudian dari arah belakang berjalan seorang pria dengan bawahan jeans biru pudar dengan atasan kemeja yang lengannya sedikit dilipat sehingga memperlihatkan lengannya yang putih plus rambut yang tersamarkan dengan syal yang melilit di area bahunya. Tara tidak terlalu memperhatikan awalnya, tetapi saat pelukis itu menghadap ke area tamu, Tara membekap bibirnya yang tanpa sadar membuka saking terkejutnya. Setelah melihat pria itu, mata Tara beralih ke Aria yang duduk di sampingnya, memperhatikannya dengan jelas. Kemudian Tara kembali melihat ke pelukis yang saat ini sudah mulai berbicara. Mereka terlihat persis sama. Hanya saja si pelukis itu punya tindik di telinga sebelah kiri dan rambutnya sedikit lebih panjang dari Aria dan agak berantakan namun tidak mengurangi pesonanya. Keduanya sama, membiarkan rambut halus tumbuh di sekitar pipi, dagu dan di atas bibir. Jika saja Tara bertemu mereka secara terpisah, akan sangat sulit membedakan keduanya. Suara mereka pun nyaris sama. Jadi bosnya kembar? Lalu mengapa selama ini Tara tidak pernah melihatnya? Ia tinggal di mana dan mengapa tidak pernah berjumpa dengan Aria? Setahu Tara, saudara kembar biasanya punya ikatan tak kasat mata. Saat sang pelukis berbicara, Aria malah sibuk dengan ponselnya. Tara ingin bertanya, tetapi takut mengganggu aktivitas Aria. Sementara dari depan sana, si pelukis selalu melihat ke arah mereka.

"Pak, yang di depan itu siapa? Kok mirip banget dengan Bapak ya?" Daripada penasaran, mending ia bertanya. Terserah deh jika si Bos marah.

"Iya." Jawab Aria singkat tanpa menoleh dari layar ponselnya.

"Ehhh....? Jadi bapak punya kembaran?" tanya Tara kembali untuk lebih memastikan apa yang didengarnya tidak salah.

"Hmmm..." gumam Aria sebagai jawaban atas pertanyaan Taria.

"Nanti kamu jangan jauh-jauh dari saya. Nggak usah deketin Ario, selalu di samping saya ya Tara." Lanjut Aria.

"Ario, siapa ya Pak?" tanya Tara bingung.

"Pria yang sedang berbicara di depan itu."

Oke, jadi kembaran Aria namanya Ario. Tara paham. Tetapi mengapa ia tidak boleh mendekat? Ada apa ini? Ada saingan nih Tara, si Bos jadi galau.

🕊️🕊️🕊️

Nah, gimana? 

Sudah terbayang kan keseruan kisah mereka ke depannya.

Ayo, mau team yang mana?

Aku tunggu jawabannya di vote dan komennya ya.

Enjoy the weekend.

Kabut Berarak (complete)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant