"Kalau gue sih, lebih baik terus terang aja."Bondan, yang kini berjalan bersisihan di sebelah Sabang sudah memberikan sarannya setelah kejadian yang menimpa Sabang kemarin, berhasil diceritakan.
Sebenarnya, Bondan tahu jika gerakan grasak-grusuk Sabang sewaktu pelajaran berlangsung sangat berbeda. Tidak seperti biasanya.
Walau ada banyak hal yang membebani pikiran Sabang, Bondan tidak pernah mendapati sahabatnya tengah bermain ponsel di jam-jam rawan. Seperti hal nya pada saat pelajaran baru saja dimulai.
"Aina pasti ngira kalau gue habis stalking dia, Bon," ucap Sabang setelah langkahnya sudah menapaki keramik ruang OSIS.
Keduanya duduk di kursi paling pojok, menyibak gorden dan juga membuka jendela agar angin dari luar bisa masuk.
"Bukannya lo emang stalking dia?"
"I-iya juga, sih," gumam Sabang sebelum menggaruk tengkuknya kebingungan.
Sabang memang baru pertama kali melihat profil Aina. Di hari sebelum keduanya kenal, dirinya tidak sempat melihat akun gadis itu lantaran Bondan sudah mengambil alih ponselnya, hingga Sabang kelagapan sendiri ketika menyadari gadis itu menyetujui ajakannya untuk bertemu di parkiran.
Kemarin, lantaran bosan dengan cuitan guru yang tengah menerangkan materi tambahan, Sabang dengan sesuka hatinya justru mengarahkan jemarinya pada layar ponsel.
Awalnya iseng untuk mengecek notif di akun sosial medianya, namun tidak berlangsung lama ia justru kepincut dengan nama Aina yang melintas begitu saja di pikirannya.
"Aina udah meresahkan pikiran gue, sialan." Sabang mengumpat dalam hati, berharap agar Bondan tidak mengerti tentang perubahan sikap serta kegelisahannya.
"Kalau ketemu dia, ngaku aja, Bang."
"Kalau nanti gue ngaku, kira-kira Aina bakal ngira gue naksir sama dia nggak, ya?"
"Lah, bukannya lo emang naksir sama Aina?"
Sabang sontak menatap tajam Bondan setelah cowok itu mengatakan hal yang tidak valid seperti tadi.
Ia tidak pernah sekalipun mengatakan suka atau mulai jatuh cinta dengan Aina. Tidak, Sabang tidak pernah mengatakan itu.
"Jaga tuh, mulut kalau nggak mau kena tampol."
Reflek, Bondan langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan sembari menggeleng pelan. Menandakan ia tidak mau terlibat dengan ancaman Sabang barusan.
"Lagian, lo kenapa tiba-tiba stalking akun dia di jam pelajaran? Udah rindu berat?"
"Iseng."
Bondan mencebikkan bibirnya, ia tahu bagaimana perasaan Sabang akhir-akhir ini. Ia sudah lama mengenal cowok itu, jadi ... ia tahu apa yang Sabang rasakan ketika pertama kali bertemu dengan Aina.
Pasti ada rasa kagum yang membuat Sabang merelakan lima menit berharganya untuk tidak menggubris penyampaian materi kemarin.
Padahal, di hari-hari sebelum cowok itu mengenal Aina, tidak pernah sekalipun tangan yang berada di atas meja berpindah tempat menjadi ke bawah laci mejanya sembari menundukkan kepalanya.
"Lo bela-belain stalking dia di saat jam pelajaran, menurut gue ... itu perjuangan, sih."
"Gue cuma bosan, Bon."
"Nggak biasanya lo bosan di kelas terus main hp, biasanya juga milih baca buku pelajaran."
"Cuma Aina yang muncul di otak gue." Sabang melihat sinis ke arah Bondan, ingin sekali mulutnya mengucapkan hal tersebut agar cowok di sebelahnya ini makin melebarkan matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sticky Note [TERBIT]✅
Teen Fiction[TELAH TERBIT] Gara-gara satu sticky note yang tertempel di motornya pada hari Senin, membuat Sabang beranggapan jika dirinya memiliki seorang pengagum rahasia. Bukannya ingin menyombongkan diri atau apalah itu ... tapi sudah sangat jelas jika di...