2. Semburat Kekecewaan

35 11 8
                                    

Terus saja aku mengayunkan tangan dan kaki secara bersamaan. Tinggal sekitar lima meter lagi untuk sampai ke ujung kolam. Usai lulus tes renang ini, gelar polwan tentu akan kuraih. Tidak sabar rasanya mendengar orang-orang memanggilku Briptu Miftah.

Tinggal tiga meter lagi. Semakin cepat kuayunkan kaki. Tubuh meliuk melesat cepat berada di urutan paling depan. Semangat meningkat, juga lelah kontan terhempas melihat ujung kolam yang semakin dekat.

Terus menerus .... Semakin dekat.

Sial! Kedua kakiku keram. Perlahan tapi pasti, tubuh tenggelam ditelan air. Gegas mengatupkan kedua bibir rapat-rapat. Pun, menahan napas guna tidak ada air memasuki hidung yang akan berimbas besar pada paru-paru.

Aku berusaha menggerutu kesal. Menjerit sebisanya. Waktu melaju dan pertolongan tidak kunjung datang. Tersiksa sekali rasanya menahan napas begitu lama. Apakah yang menyaksikan tes renang ini buta atau memang tidak punya belas kasih?

Tanpa kuasa menahan lagi, pertahananku akhirnya roboh juga. Mulut terbuka berusaha meraup udara yang tentu tidak tersedia di dalam air.

Heh. Harusnya tidak butuh waktu lama untuk air memenuhi paru-paru. Membuat tersiksa hingga ajal menjemput. Namun, yang kudapati justru udara yang melegakan tubuh. Atau ... apa aku sudah berada di surga hingga tidak merasakan sakit?

"Ibu!" Aku memekik saat membuka mata.

Ibu tertawa puas. Ia menarik tangannya menjauh dariku. Rupanya tes renang tadi hanya mimpi. Namun, aksi ibu menutup hidungku membuat penyiksaan yang benar-benar nyata.

"Tau rasa kau, Miftah. Dari tadi dipanggil tidak bangun-bangun!" pekiknya tanpa rasa bersalah.

"Ibu apa-apaan? Mifta hampir mati ngga bisa napas."

"Yang penting belum, kan? Cepat sana ambil wudu. Ayah dari tadi udah nunggu untuk solat magrib."

Ucapan ibu membuatku berdecak. Bisa-bisanya ia berkata seperti itu. Jika benar mati, bagaimana? Tuhan tidak pernah memberi garansi kehidupan.

"Cepatlah, Miftah!"

Dengan cepat aku berlari menuju kamar mandi. Sebelum amarah ibu kia menjadi dan berujung membandingkan dengan anak tetangga.

*

"Assalamu'alaikum warahmatullah ...."

Setelah salam, aku mengikuti gerakan tangan ayah yang menengadah ke atas. Suaranya terdengar bergetar ketika mengucap setiap kalimat. Do'anya kuaamiinkan bersama ibu.

Ayah berbalik, mengulurkan tangannya padaku dan ibu secara bergantian. Aku menyalami tangannya dengan penuh suka cita. Biar nakal-nakal begini, aku tetap menyayanginya. Dialah pahlawan tanpa tanda jasa. Memeras keringat setiap hari demi kecukupan kebutuhan keluarganya.

"Miftah, kata orang-orang, kamu ngga pernah pergi mengaji lagi, ya?" tanya ayah padaku.

Aku mengangkat bahu, mengerucutkan bibir. Menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Mengedarkan pandangan ke sisi kiri, berharap ada pintu ajaib Doraemon di sana. Ingin gegas menghilang menuju kamar. Pertanyaan ayah tentu akan mengundang amarah ibu. Malas rasanya aku!

"Aku malas mengaji di sana. Ustaznya galak. Salah dikit, langsung dipukul pakai kertas," aduku, dengan mimik wajah penuh kesedihan.

"Dipukul pakai kertas tak sakit, lah!" tandas Ibu.

"Memang. Tapi hatiku yang sakit, Bu," ujarku setengah berbisik.

Ibu geleng-geleng kepala. Lalu, beranjak dari duduknya menuju mesin jahit. Ia berkutat menjahit merampungkan baju tetangga. Tumben sekali, tidak ada semburat kemarahan di wajahnya untukku.

Sekilas, kulirik ayah yang terus menatap ke arahku. Mimik wajahnya benar-benar tidak bisa kuartikan.

"Sini, biar Ayah yang ajarin."

Aku mendongak, menatap manik hitam legam milik ayah. Tidak ada penolakan dariku. Aku menurut. Berbeda jika ibu yang menyuruh, mungkin aku akan mencari seribu alasan terlebih dahulu.

"Hukum nun sukun atau tanwin ada berapa banyak macam?" tanya Ayah seketika. Aku terdiam seraya mengetuk-ngetuk kepala dengan jari telunjuk.

"Nah, kau memang pantas masuk pesantren. Tentang itu pun, tak tahu," ujar ibu seraya terus berkutat dengan pekerjaannya.

Aku mendengus kesal. Ibu mulai mengungkit masalah Pesantren. Pasti dia sengaja.

"Antara dua, tiga, empat, dan lima. Oke ... aku rasa begitu," jawabku asal.

Ayah menggelengkan kepala pelan. Mimik wajahnya menampakkan semburat kekecewaan.

"Ada empat macam; idzhar, idgham, iqlab, dan ikhfa'. Nah, kalau idgham terbagi menjadi berapa bagian?"

Ish. Kenapa Ayah terus bertanya? Ia seakan menjelma wartawan. Aku tidak tahu apa-apa, ibu pasti akan menyudutkanku kembali.

"Nah, pasti kau tak tahu lagi!" celetuk Ibu. Nah, kan!

Aku berdecak kesal. Sementara Ayah menghela napas pelan. Ia menggeser duduknya, mendekat ke arahku. Aku terdiam, memperhatikan setiap gerakannya.

"Ayah dan Ibu sudah merencanakan ini. Kamu akan kami masukan pesantren."

Duaaarrrrr!

Hatiku bagai tersambar petir. Bagai tersayat ribuan sembilu. Aku kira ayah tidak akan terkecoh dengan usul ibu tentang pesantren dan cukup menasehati. Ah, benar-benar malas rasanya aku.

"Tapi Ayah ..., aku punya cita-cita dan bukan pesantren tujuannya." Aku setengah merengek.

Ibu yang turut mendengar ucapanku kontan menghentikan aktifitas menjahitnya, ia mendekat pada kami. Duduk bersila di sisi ayah. Menatap lekat wajahku seakan mengintimidasi.

"Apa cita-citamu?" tanya Ibu. Tatapannya padaku sangat menyebalkan.

"Jadi polwan, Bu," jawabku malu-malu seraya tertunduk.

"Hah?"

Aku mendongak, menatap mulut ibu yang membulat sempurna. Kemudian beralih pada ayah yang malah bengong di sana.

"Apa jadinya, seorang pencuri bercita-cita sebagai polwan? Yang ada kau bukan mengamankan dunia, malah menghancurkannya!"

Deg. Baru kali ini ucapan ibu sungguh menancap di hati. Ucapannya yang selalu kuanggap angin lalu—masuk kuping kanan, keluar kuping kiri—kini teramat mencelos hati. Mencipta retak sana-sini bak pigura. Aku terdiam ambigu. Melirik ke arah ayah yang diam membisu.

"Tapi aku mencuri demi kebaikan, Bu." Aku mencoba mempertahankan pendirian.b

"Hei Miftah! mencuri ya tetap mencuri. Dosa kau, tau! Masih mending tidak dilaporkan pada Polisi," sambung Ibu kembali.

Aku kembali menunduk. Manik mata sudah mengembun, bulir bening perlahan meluncur. Lebih deras dibanding gerimis di luar sana. Perkataan Ibu begitu perih. Tak kuasa lagi berkata-kata untuk menentang.

"Miftah. Benar apa kata Ibumu. Kamu ini anak kami satu-satunya. Kami selalu menginginkan yang terbaik untukmu, Nak. Berubahlah."

Kembali aku mendongak. Suara ayah yang lembut dan bijak sangat menyentuh hati. Berbeda dengan ibu apabila menasehati selalu dengan nada tinggi dan mengungkit kejadian meski telah bertahun-tahun. Ah, selalu saja aku membedakan keduanya.

"Jadilah Miftahul Jannah, jadilah kunci surga yang pastinya akan membukakan pintu surga untuk Ayah dan Ibu."

Manik mataku semakin cepat mencipta sungai, membuat bulir bening seakan berlomba menuju garis finis. Aku berhambur memeluk ayah, menangis tersedu di sana.

"Ehh ... sudah-sudah! jangan banyak drama. Miftah, besok kau akan berangkat."

Dengan cepat aku melepas pelukan Ayah. Ibu itu, selalu saja ia mengacaukan suasana.

Eh, tunggu!

Besok?

Kita Dan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang