🦋Epilog

499 22 4
                                    

🦋

Tak terasa waktu berjalan cepat. Kini Dea sudah naik ke kelas XII. Ada perasaan senang tapi ada juga perasaan tak senang. Seperti ada sesuatu hal yang terasa mengganjal di hatinya.

"Dea! Kok kita gak sekelas, sih," rengek Indah setelah mengecek daftar kelas di mading.

Dea tersenyum. "Yah mau gimana lagi."

"Ih kok gitu!"

Dea hanya menggeleng pelan. Lalu melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Em, gue balik duluan, yah," pamit Dea.

"Heh! Lo gak mau main ke rumah gue dulu?!" teriak Indah, namun Dea seolah tak mendengar.

Dea terkekeh sebentar karena tahu Indah pasti merajuk. Kakinya melangkah menyusuri koridor yang sudah mulai sepi dikarenakan sudah banyak anak-anak yang pulang. Sebab hari ini hanya mengecek kelasnya di mana. Tidak ada pembelajaran sama sekali. Pembelajaran baru akan di mulai besok.

Dea mematung selama beberapa saat, ketika netranya menangkap seorang laki-laki yang sedang mengobrol dengan Devi.

"Apa itu Dean?" tanyanya pada diri sendiri sembari mengeratkan pegangannya pada gantungan tas berbentuk lumba-lumba.

Entah kenapa dadanya terasa sesak melihat interaksi Dean dan Devi. Apakah keduanya punya hubungan khusus? Ah, Dea tak tahu. Bibirnya perlahan tersenyum getir. Jadi, inilah perasaan yang menggangunya beberapa minggu belakangan ini.

Ternyata semua ucapannya agar tak mengambil hati semua itu dusta?

Dea menghela napas pelan berusaha mengendalikan sesak di dada yang perlahan menyiksanya.

Dea berbalik begitu Dean melihat ke arahnya. Ia buru-buru pergi dari tempatnya. Hanya satu tujuan Dea. Ya, taman belakang sekolah. Saksi dimana Dea dan Dean berpisah.

"Menyebalkan!" desis Dea.

"Gue benci lo!" geram Dea berlari di sepanjang koridor sembari berusaha melupakan kejadian yang dilihatnya tadi.

Dadanya semakin sesak. "Kenapa lo harus muncul lagi sih?!" dumel Dea pelan.

Kakinya berhenti mendadak saat ada seseorang yang menarik tangannya. "Lo kenapa?" tanya Azis.

Dea menghela napas panjang. "Lepasin tangan lo!" sentak Dea.

Dea kembali melangkah tanpa mempedulikan Azis yang terdiam di tepi koridor dengan ekspresi khawatir.

"Dea!"

Dea tersentak kaget mendengar panggilan itu, kemudian ia menengok ke belakang. "Lo bisa cerita," tutur Azis lembut.

"Gue gak butuh tempat cerita!" pekik Dea kesal, marah dan sakit bercampur jadi satu.

Setelah itu Dea melangkah pergi. Tak bisakah ia menangis sendirian memendam semua sakit yang ia rasakan saat ini tanpa ada orang lain yang tahu. Agar Dea tak lagi mempunyai beban. Tapi, semua itu sirna saat Azis datang. Kenapa harus Azis? Kenapa tidak Dean?

Ah, bodoh sekali. Seharusnya Dea tidak usah mengharapkan kedatangan Dean. Toh, dia sudah bahagia dengan orang lain.

Dea benci perasaan cintanya ini yang tanpa sadar tumbuh berkembang semenjak Dean seolah melindunginya saat ia terpuruk. Dan memberikan Dea motivasi kala ia penat.

DEANITA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang