Senyuman itu cuma untuk menutupi luka.
○●○
Beberapa saat sebelumnya...
Johnny menyetir mobil dengan fokus. Ada Jaehyun duduk di kursi sampingnya. Sementara bagian belakang terdapat Lisa yang menatap keluar jendela, menikmati pemandangan Seoul kala malam.
"Aku masih tidak percaya kau seorang Watanabe." Ucap Johnny menyuarakan pikirannya.
"Kupikir dengan nama besar itu kau akan memilih bohong."
Lisa tertawa pelan. Tebakan Johnny memang benar. Ia merasa Johnny adalah sosok yang peka mengenai perasaan orang lain.
"Awalnya begitu, tapi kurasa berbohong pada orang yang sudah menolongku terasa sangat salah."
"Jika itu bukan kami kau bisa diculik dan disandera, Lisa-ssi." Sahut Jaehyun yang mulai khawatir dengan kepolosan Lisa.
Kata Johnny tadi, Watanabe adalah nama keluarga bangsawan di Jepang. Jaehyun merasa tidak pernah mendengarnya, tetapi bagi Johnny yang sibuk bergelut di dunia bisnis pasti sangat akrab dengan marga Watanabe.
Semua hal yang dikatakan Johnny terdengar nyata, ditambah ucapan Lisa bahwa keluarganya memiliki perusahaan turun-temurun.
"Aku bisa membela diri, kok."
"Oh, ya?" Johnny tertarik, melirik sebentar lewat kaca.
"Aku sudah memegang sabuk hitam di bela diri karate, Johnny-san. Mendiang ayahku memiliki pelatihan karate sendiri sebagai hobi."
Mungkin Jaehyun harus menjaga ucapannya lain kali. Ia kini justru terlihat linglung karena bakat Lisa yang melebihi ekspetasi.
"Nah, sudah sampai. Keluarlah, Lisa-ssi. Akan aku bawakan kopermu."
Lisa menundukkan kepala sebentar sambil bergumam terima kasih dalam bahasa jepang. Wajar karena ia seorang keturunan Jepang dengan darah bangsawan yang kental.
Begitu keluar mobil, Lisa mendapati rumah tingkat tiga, atau lebih cocok disebut mansion. Lisa menduga jumlah orang hidup di dalam bangunan tersebut.
Oh, biaya sewa!
Lisa rasa harus segera memikirkan perihal pekerjaan. Ia tidak bisa santai di saat orang lain sibuk membantunya.
"Hyung, apa kita tidak melaporkannya ke polisi? Dia Watanabe, pasti polisi bersedia memulangkan ke Jepang."
Ucapan Jaehyun terdengar benar. Namun Johnny menggeleng tegas.
"Paman dan bibinya sendiri membuangnya. Kau yakin itu yang terbaik untuk Lisa?"
"Lalu urusan perusahaan itu-"
Johnny menghela napas. "Itu urusan dia, Jaehyun-ah. Biarkan dia disini sampai tahu kemauannya sendiri."
Pemuda yang lebih muda mengangguk paham. Mungkin inilah yang membuatnya segan dengan Johnny.
Johnny seorang pemuda yang sudah dewasa. Paham mengenai jalannya kehidupan dan berbagai masalah. Ia lebih mampu berpikir logis dibanding teman-teman Jaehyun yang lain.
"Ayo," ajak Jaehyun dengan lembut. Ia seperti itu karena sedikit merasa bersalah dengan Lisa.
Lisa tersenyum lebar. Senyum yang tetap ada di wajahnya walau sudah melewati hari yang melelahkan.
"HYUNG!"
"Ah, JOHNNY HYUNG! Haechan terus mengangguku sejak sore!"
Begitu membuka pintu, senyum Lisa pudar. Bagaimana tidak? Isi asrama itu ternyata hanya laki-laki dan mereka berceloteh seperti tak ada waktu berbicara lagi.
"Mark, jangan sering berteriak. Haechan-ah, jangan ganggu hyung-mu." Tegur Johnny.
Seisi ruangan perlahan diam ketika melihat Lisa. Apalagi sebuah koper merah besar yang dibawa Johnny.
"Wah, kau punya istri, hyung?" tanya Jaemin.
Karena suara Jaemin yang terlampau keras, seluruh pemuda yang tadinya sibuk sendiri mulai fokus pada satu hal.
"Hah?! Tiba-tiba?!"
"Siapa dia?"
"Kekasihmu, John?"
"Ey, kekasih Jaehyun hyung pasti."
Tiba-tiba Lisa merasa gugup ditatap banyak pemuda sekaligus. Ia sontak membungkukkan badan.
"A-Anyeonghaseyo, watashi wa Lalisa desu!"
Seruan Lisa membuat semua orang melongo. Bahasa koreanya cukup lancar, cuma tertukar dengan bahasa jepang. Terdengar aneh bagi sebagian orang tetapi wajah Lisa sangat lucu.
"Ah, maksudku, Lalisa imnida!" Lisa kembali membungkuk.
Ada suara cekikikan geli dari beberapa orang.
Jaehyun bersuara dan membuat perhatian semua orang teralihkan.
"Nah, kenapa kita tidak duduk sebentar dan mendengar penjelasanku dengan Johnny hyung?"
Butuh waktu setengah jam menata semua pemuda di dalam agar duduk tenang. Itu pun karena Johnny lelah dan ingin istirahat. Banyak orang takut pada Johnny ketika ia marah.
"Aku bisa menceritakan semuanya kan, Lisa-ssi?"
Raut enggan terlihat jelas di wajah Lisa. "Tolong sebutuhnya saja, Johnny-san."
"Baiklah," putus Johnny.
Lisa mengangguk lega. Semua mata yang mengarah pada Lisa bagai laser, seolah akan membuka paksa rahasia terdalam miliknya.
Tiba-tiba Lisa merasa sangat gugup.
Sebenarnya ia sudah terbiasa ditatap banyak orang. Kedudukannya sebagai penerus perusahaan milik Watanabe tentu mendorong Lisa agar serba bisa, termasuk dalam hal berbicara dan berpidato.
Namun hal ini lain lagi. Johnny dan Jaehyun sama sekali tidak bilang bahwa asrama yang dimaksud adalah asrama laki-laki.
Wahai nasib, kasihanilah Lisa!
"Kenapa, hyung?"
Suara-suara lain bersahutan, menyuarakan pertanyaan serupa.
"Apa hyung menghamili noona ini?"
"Haechan-ah, sekali lagi bicara omong kosong, tidur di luar."
Haechan tersenyum lebar dan tertawa. Ia memang terlihat tidak takut pada ancaman Johnny tetapi matanya jelas menunjukkan keengganan.
Ketika cerita mengenai Lisa mengalir, si tokoh utama mengambil napas dalam beberapa kali. Lisa mencoba berpikir hal menyenangkan agar tidak kelepasan panik.
Beruntung Johnny paham perkataannya tadi, jadi ia dapat menyembunyikan marga Watanabe dari banyak orang.
"Oh, begitu rupanya." Taeyong mengangguk paham.
Sebagai penghubung antara penghuni dengan pemilik asrama tiga lantai, pendapat Taeyong tentu dihitung besar.
Karena itu pula, Taeyong dapat dikatakan sebagai orang yang bertanggung jawab atas ulah kedua puluh pemuda lain.
"Namamu siapa? Tahun kelahiran?"
Lisa menunjuk dirinya sendiri. "Aku?"
Taeyong mengangguk.