Bulu matanya bergetar, seluruh tubuh terasa letih, seolah berlari puluhan kilo meter. Perlahan ia membuka mata, dengan pandangan sayu menatap sekeliling.
Cat putih kusam, pintu hitam yg setengah terbuka. Dan cahaya kuning lembut terpantul dari bingkai jendela.
Kepalanya masih terasa pening, perlahan ia bergeser. Namun sesuatu terasa aneh mengganjal di bawah perutnya.
Tangannya bergetar meraba perut bawahnya yg setengah menonjol terisi.
'Ini apa ?'
"Mmm"
Tangan pucat melingkari perut si gadis, memeluk erat dengan kecupan ringan di tengkuk.
Membuat si gadis tersadar sepenuhnya. Jantungnya bertalu- talu, bulu kuduknya semakin meremang, namun seluruh tubuhnya terasa lemas, seolah setengah jiwanya masih tertinggal di alam mimpi.
'Kenapa bukan mimpi !!' Pikirnya.
Air mata kembali berderai, seiring kecupan yg semakin menjalar di sepanjang punggung, tangan pucat semakin meraba keatas meraih payudara kecil yg belum ranum.
Sesuatu yg mengganjal makin lama terasa bengkak, ingatan yg semalam ia ingin kubur dalam- dalam kini terulang kembali.
Dengan pandangan kosong ia menatap nanar pada dinding yg kusam, bibir pucatnya bergetar, hanya air mata yg menjadi saksi kebisuan.
Tangannya tekulai lemas, tak ada lagi suara, bahkan ia tak lagi berharap pada belas kasihan.
Hanya suara nafas yg samar, dan gumaman seorang pria diatasnya.
Waktu seakan berjalan lambat..
...
Lain waktu ia membuka mata, ia terbangun dengan linglung, menatap sekeliling dengan bingung.
Bergerak perlahan. Mengangkat tangannya yg lemas, meringis sakit saat kedua kakinya digerakan untuk menutup. Akhirnya dengan enggan ia renggangkan.
Saat menuruni ranjang, kedua kakinya goyah tak kuat menahan beban, hingga tersungkur diatas lantai yg dingin. Menatap nanar pada baju yg berserakan, dan hp nya yg teronggok di bawah meja kecil.
Dengan nafas yg tertahan ia menahan nyeri yg menjalar, melangkah sempoyongan menopang berat tubuh pada panggar pembatas.
Sepanjang jalan ia menunduk malu, takut dilihat orang lewat.
Di ujung pembatas jalan, Rumah kecil bercat hijau lumut, tampak jelas. Dengan kekuatan terakhir ia jatuh lemas di atas lumpur bekas hujan semalam.
Menyeret kakinya yg lemas, merangkak perlahan menuju pintu coklat yg masih tertutup.
Rok birunya berlumpur, seragam putihnya yg bercat tak lagi memiliki kancing lengkap, dengan lemah ia mengetuk pelan, berharap sang kaka ada di rumah.
'Tok.. tok.. tok'
"Kak.. buka pintunya ?"
Tangannya sudah lemas, jemarinya kotor tertutup lumpur saat ia merangkak, duduk bersimpuh di depan pintu.
...
Dengan rambut setengah basah, ia kembali ke kamar. Senyumnya membeku saat ia sadar, si gadis tak lagi di atas ranjang.
Menatap kosong pada dinding yg pucat, seolah semuanya terasa mimpi, jika ia tak melihat bercak darah di atas ranjang dan seonggok celana dalam merah muda yg tertinggal di bawah ranjang.
Menutup wajahnya dengan kedua tangan, kembali mengingat kejadian semalam yg terasa samar, dan beberapa saat lalu yg masih membekas, dengan senyum konyol ia tertawa.
"Milikku!!"
...
'Ah!!'
Ia terbangun saat mendenger suara gerungan motor yg lewat, menatap sekeliling dengan ketakutan.
Menggendor pintu yg tak kunjung terbuka.
Perlahan ia meraba di bawah karpet, mengambil kunci dengan tergesa- gesa. Air matanya hampir tumpah saat ia dengan kesal merutuki lubang kunci bodoh yg tak mau bekerja sama.
'Bam'
Pintu berdebam tertutup, di balik tirai ia menatap was- was keluar. Kemudian berlari ke arah kamar mandi sambil menangisi nasibnya.
Dibawah guyuran air kran, ia menggosok sekuat tenaga berharap menghilangkan jejak- jejak najis yg masih tertinggal di tubuhnya.
"Ah.. ahhhhh, kenapa jadi begini!!"
Dengan mata sembab dan suara yg tersendat- sendat ia merutuki akan tuhan dan kesialannya.
...
"De.. kamu lagi ngapain ?"
Dengan kaget ia berjingkat menjatuhkan pisau yg hampir ia iriskan pada lengannya.
"K.. ka, kapan pulang ?"
"Ah, barusan"
Dengan perlahan ia memungut pisau, menaruh kembali diatas rak, "De, lain kali harus hati- hati, nanti kena kakimu gimana ? Jangan bikin kaka jantungan"
"Ah, maaf gak sengaja. He he.."
"Kaka bawa makan siang, hari ini gak usah masak"
"De.."
"Kak.."
"Ah ada apa ?"
Dengan gelengan pelan ia menatap sang kaka, "Mm, kaka duluan bicara ?"
"Minggu depan kita pindah ke kota, pendidikan disana lebih baik, meski kaka gak bisa sekolahin kamu ke sekolah yg elit, tapi kaka janji bakal sekolahin kamu ke sekolah yg terbaik"
"Tapi biaya disana terlalau mahal kak ?"
"Kaka akan menikah dengan kak dev, dia orang berada, hidup kita akan lebih terjamin kedepannya"
"Kak, aku gak mau jadi beban kebahagiaan kaka, asal bisa lanjut sekolah, bagi aku udah cukup"
"De, dengerin kaka, kamu bukan beban, dan kaka menikah atas dasar saling suka, gak ada yg dipetaruhkan"
"Kak.."
"Mm, tadi kamu mau bilang apa ?"
"Nggak ada, aku pengen di peluk kaka lebih lama aja"
Tangannya terkepal erat, memeluk sang kaka, ia tak mau lagi bersuara, takut tentang apa yg akan yerjadi kedepannya, saat ia teringat tentangganya yg dulu, yg pernah mengalami pelecehan, selain keluarganya berantakan, bahkan kaka sulungnya tak jadi menikah.
Sedangkan mereka hanya hidup berdua, dan orang kota lebih memandang reputasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Uncertain Future
RomanceKakinya bergetar, bulu kuduknya meremang. Dengan tubuh hampir goyah, Memandang ke depan pada pemuda yg pernah menjadi mimpi buruknya dimasa lalu. "Dea, lama tak bertemu ?" Dengan senyum lembut ia menatap sang gadis yg telah lama ia rindukan. Den...