"Ayo, ayo, semuanya kumpul ke tengah," ketua panitia, yang namanya hingga sekarang masih gaib memberikan arahan melalui mikrofon. Disampingnya, ada Aca yang menemani. Tidak tau juga apa motivasi Aca berdiri disana.
Malam ini, sebelum malam api unggun dimulai, tiap kelompok mahasiswa akan menampilkan penampilan mereka pada acara pentas seni. Di ujung, kelompok 1 sudah siap sedia dengan kostum karnaval yang meriah, berbeda jauh dengan kelompok di sebelahnya, kelompok 2, yang memakai kemeja putih formal berdasi kupu - kupu dengan celana flanel kotak - kotak.
Kelompok 3, entah akan menampilkan apa, mereka kompak memakai pakaian bergaya vintage ala - ala jaman Belanda. Apa mereka mau menampilkan drama dokumenter penjajahan Belanda?
Di sebelahnya, ada kelompok 4, sepertinya mereka tidak mementingkan dresscode dalam kelompok. Jadi, mari kita skip. Kemudian dari kelompok 5 dan 6, masing - masing mereka terlihat seperti menggunakan baju tarian daerah ala - ala.
"Disini ada nomor urut dari 1 sampai 9, jadi, nanti perwakilan kelompok maju ke depan buat ngambil nomornya. Nanti dalam hitungan tiga, kita sama - sama buka kertasnya dan yang mendapat nomor urut 1 adalah yang pertama tampil," si ketua panitia melanjutkan. Dia memindai seluruh kelompok satu - persatu, kemudian tersenyum kecil melihat seluruh peserta kemah menyambut puncak acara dengan antusias.
"Gue yang ambil, gue yang ambil!" Rena bersorak, mengacungkan tangan tinggi - tinggi sambil melompat kecil.
"Elu bawa sial. Nggak usah," Dafa berkomentar.
"Diem atau gue sunat?" ancam Rena galak.
"Mulut lo nggak berkelas banget, sih, Ren. Percuma kita make dresscode chic begini," sahut Winda menjaga image menggunakan chic style.
"Gue mau jadi diri gue sendiri tanpa perlu mikirin baju yang gue pakai, Win." balas Rena. Winda hanya berdecih pelan menanggapinya.
Sementara Dafa menelan ludah, menyilangkan kedua tangan ke arah bawah sambil berjalan mundur.
"Gue aja deh. Gue jarang berperan di kelompok," Fandi tiba - tiba nyeletuk.
"Lo mau disunat?!" Talita histeris tak menyangka.
Fandi menghela napas. "Maksud gue, biar gue yang cabut nomor. Karena selama ini gue ngerasa kayak anak bawang,"
"Sadar diri lo?" Sheila nyeletuk.
"Selama ini lo kemana aja?" Winda menambahi sambil geleng - geleng kepala.
"Nggak! Ayo, suit." Rena mengambil ancang - ancang. Dirinya maju menantang Fandi penuh semangat. Tangannya yang terkatup mengudara, mengambil aba - aba, sebelum akhirnya membuka telapak tangannya bersamaan dengan jari telunjuk dan tengah Fandi yang terbuka.
Fandi yang merupakan jagoan suit di kampungnya tersenyum pongah melihat itu. Dia sudah menduga bahwa Rena akan mengeluarkan 'kertas'.
Tak lama setelah Fandi mendapatkan kertas undian, semua tatapan tertuju padanya. Fandi segera melarikan diri sebelum gendang telinganya pecah.
"Gara-gara elo kita tampil pertama ya Fan!"
o-o-o
Rama sudah siap dengan gitarnya, begitu pula dengan Rendi dan yang duduk anteng di atas kajoon. Dafa bersama dengan Alena melambaikan pom - pomnya di belakang, disusul dengan Sheila, Winda, dan Viko yang baru datang.
Di bagian depan pentas, ada Rena dan Juwita dengan stand mic masing - masing. Mereka berdua saling berpegangan tangan mengatasi rasa gugup yang melanda. Talita, yang tidak disangka - sangka memainkan keyboard piano di samping Rama.
Fitria dan Jeany seperti biasa menjadi juru kamera, ditemani dengan Anisa, Reynald, Arul, Ando, dan Fandi yang menjadi tim hore - hore. Mereka tidak ikut naik ke atas pentas.
Tak lama kemudian, lampu warna - warni yang menghiasi pentas dimatikan. Alunan melodi dari keyboard piano mulai terdengar, disusul dengan petikan gitar Rama dan tepukan kajoon Rendi yang menyatu dengan alunan melodi musik lainnya.
Rena menarik napasnya dalam - dalam, berusaha setenang mungkin. Kemudian, di waktu yang pas, dia mulai menyanyikan liriknya. Bersamaan dengan itu, lampu kembali menyala. Sorotan mata penonton terlihat kagum dan takjub.
"Ketika mimpimu yang begitu indah,
Tak pernah terwujud, ya sudahlah
Rena membayangkan masa - masa sulitnya semenjak menginjak bangku kuliah. Telat bangun, tugas tak kenal waktu, keinginannya tak tercapai, dan setiap apapun yang dilakukannya tak pernah berhasil. Tak bisa lagi ia berkeluh kesah dengan orang tuanya yang jauh di sana. Apa - apa serba mandiri. Rena begitu menyesal tak menghargai waktu saat bersama orang tuanya saat masih di bangku sekolah dulu.
Selanjutnya Juwita, dengan tangan kiri yang masih bergenggaman dengan tangan kanan Rena kini mulai menyanyikan bagiannya.
Saat kau berlari mengejar anganmu
Tapi tak pernah sampai, ya sudahlah, hmmm
Bagi Juwita, masuk ke jurusan Akuntansi yang bukanlah keinginannya adalah hal yang berat. Namun, mau bagaimana lagi. Juwita tak akan bisa menolak apa yang diinginkan oleh orang tuanya. Dengan berat hati dia membuang angannya jauh - jauh ke udara agar terhempas oleh angin dan tak lagi kembali menghantuinya.
Melihat respons penonton cukup baik, tentunya menambah rasa percaya diri Rena dan Juwita. Mereka melepas genggaman dan beralih pada stand mic. Bersama - sama menyanyikan lirik selanjutnya. Menghayati makna yang ada dari setiap lirik.
Apapun yang terjadi
Ku 'kan selalu ada untukmu
Janganlah kau bersedih
'Cause everything's gonna be okay
Dafa, Alena, Sheila, Winda, dan Viko yang masing - masing memegang pom - pom di kedua tangannya kompak mengayunkan pom - pom ke kanan dan ke kiri mengiringi lagu.
Rena yang melihat itu tersenyum kecil, kemudian dengan percaya diri, dia melepas mic dari tempatnya, kemudian membawa mic dengan santai menuju ke arah tim hore - hore. Rena mengeluarkan semua emosi yang terpendam di hatinya, membawakan rapp dari lagu dengan swaggy.
Yo, yo, satu dari sekian kemungkinan
Kau jatuh (jatuh) tanpa ada harapan
Saat raga kupersembahkan (yo)
Bersama jiwa, cita, cinta, dan harapan
Begitu pula dengan Juwita, yang berusaha agar dirinya akan selalu baik - baik saja dengan keputusan yang telah dibuatnya. Dia menghembuskan nafas kuat - kuat, membuang semua kegelisahan di hatinya sebelum menyanyikan bagiannya.
Kita sambung satu persatu sebab-akibat
Tapi tenanglah, mata hati kita 'kan lihat
Menuntuk ke arah mata angin bahagia (oh)
Kau dan aku tahu (yeah) jalan selalu ada
Rama yang tak mau kalah, dari belakang Rena dan Juwita yang sudah menyatu dengan tim hore - hore, mulai bersuara, menyanyikan rapp bagiannya dengan penuh penghayatan. Sorotan mata Rama yang berubah tajam saat di atas panggung, berhasil menghipnotis penonton.