Happy weekend, guys.....
Sumpah, ya. Aku senang banget baca komentar-komentar berbobot sebelumnya. Sampe tembus ratusan pula. Ya, ampun. Bagi karya aku yang tak seberapa mah dapet segitu udah seneng banget. Apalagi kalo udah ribuan...halu....
Tapi terimakasih yang sudah meluangkan waktu dan memberikan dukungan. Aku juga gak balas satu-satu.
Bagi yang penasaran ini setting kerajaan mana? Aku membayangkan kerajaan Eropa, tapi tidak ada yang benar-benar dibeberkan. Lama soalnya hehe...
Selalu sehat dan jaga kesehatan ya....
Minta tolong doain juga, hajat aku cepet selesai, biar bisa tenang nulisnya....
Warning : Typo, gaje, rancu
HAPPY READING
Setelah memastikan Hinata beristirahat, Sasuke langsung berlari ke arah Istana Blossom. Sudah sangat sepi. Namun, Tsunade, Shizune dan beberapa pelayan masih disana.
Katanya, Sakura baru saja tertidur setelah tadi sempat sadar. Itu yang membuat mereka masih berada disana. Kemudian mereka pamit keluar untuk memberinya waktu.
Sasuke mendekati Sakura yang masih terbaring. Menaikan selimut untuk menutupi istrinya sebatas dada. Kemudian mengecup kening lebar yang terasa panas. Pipi tembemnya pucat. Lingkaran matanya menggelap. Dia tidak meragukan seberapa keras perjuangan Sakura hari ini. Dan ia menyesal tidak bisa membagi waktu untuk berada disampingnya. "Terimakasih, Istriku!"
Sasuke merapihkan anak rambut merah muda agar tidak mengganggu. "Terimakasih sudah bertahan dan mempertahankannya."
"Aku tidak bohong telah menyayangimu, lebih dari apapun. Tolong, sambut putra mahkota kita ketika kau bangun! Dia akan sangat membutuhkanmu." Sasuke mengecup kening istrinya sekali lagi.
Kemudian tatapannya beralih pada kotak bayi yang diberi penghangat khusus. Sasuke menghampirinya, duduk dikursi yang disediakan pelayan ketika melayani majikan kecilnya.
Bayi merah yang terlahir prematur. Ini pertama bagi Sasuke, tapi ia tidak pernah berhenti berucap syukur ketika akhirnya putra pertamanya juga membaik. Meskipun masih harus mendapat perhatian khusus.
"Kau memang Putra Mahkotaku. Kau kuat dan tahan banting sejak dalam kandungan. Selamat datang di dunia, Putra Ayah!" Sasuke tersenyum lembut. Setetes airmata berhasil ia sapu.
Tangannya terulur untuk mengusap lembut rambut hitam berpadu merah muda putranya. Wajahnya yang hampir 100% menyerupainya, seolah menantang langit jika dia pewaris sesungguhnya. Ah, bagian Sakura hanya pada corak rambutnya. Ah, tidak. Satu lagi yang belum dia pastikan, matanya. Putranya masih tertidur, jadi ia belum tahu.
"Kau juga harus menjadi pria kuat dan tangguh. Berhati tegas dan bijaksana seperti ibumu. Kau akan bangga dan terpesona padanya. Aku menjamin." Karena dia pun begitu. Dan waktu semakin ingin mengikatnya.
.
.
.
.
.
Sasuke tidak ingat kapan ia tertidur, tapi dirinya terbangun karena suara tangisan bayi didepannya. Sasuke tersenyum kecil kala ternyata dia ketiduran dikursi.Dia tidak perlu menoleh saat suara pintu terbuka, karena detik berikutnya suara perawat dan Temari menyapanya. Mereka datang karena mendengar putranya yang terbangun. Padahal hari masih gelap. Ah, bayi memang selalu begitu.
"Saya akan mengganti popok pangeran kecil, Baginda." Temari menyapa Sasuke pelan. Ia ingat masih ada Sakura yang sedang tertidur diranjang.
Sasuke mengangguk, kemudian berlalu ke kamar mandi.
Tak perlu lama, Sasuke keluar dalam keadaan segar. Dia bisa melihat bayinya yang tidak tidur lagi dan sedang dalam gendongan perawat. Sepertinya, sudah dibersihkan juga karena tercium bedak bayi baru.
"Baginda, Anda ingin menggendongnya?" Tawar Temari.
"Berikan padaku!"
Sasuke tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya ketika ia melihat mata onyx mungil yang entah memandangi apa.
Dia mengusir keduanya, tapi sebelumnya perawat menasihatinya agar bayinya tidak berlama-lama diluar kotak bayi. Dan ia menyanggupi itu meskipun tidak puas.
"Selamat pagi, Jagoan Ayah! Semangat sekali sudah bangun pagi-pagi." Sasuke menghujani sang bayi dengan ciuman hingga membuatnya gelisah dan merengek pelan.
Saat tak sengaja mendongak, ekspresinya luntur melihat Sakura yang terduduk. Tidak menyadari istrinya yang terbangun, dan hanya berdiam diri. Langkahnya menghampiri dan duduk disisi ranjang.
Netra keduanya bertemu dalam diam. Sasuke mencondongkan tubuhnya sehingga membuat Sakura menutup mata. Mengecup dalam kening istrinya. Saat jarak menjadi sekat pemisah, Sasuke mengusap pipi pucatnya.
"Kau tahu betapa takutnya aku saat kau terbaring lemah dan mereka mengatakan hal buruk tentang kondisimu."
Sakura hanya diam tak menanggapi. Dunianya sedang jungkir balik saat ini. Dalam sehari ia menjadi seorang ibu dari anak yang tidak diinginkan. Juga pikiran-pikiran lain, yang mengarah pada posisi politik.
"Aku berterima kasih padamu. Dan, maaf!" Sasuke menunduk, memandang pada putranya yang bergerak gelisah. "Aku telah berbuat tidak adil."
Padahal, semalam dia mengaku menyayangi Sakura melebihi apapun. Tapi, dengan perang dinginnya selama ini dan hari kemarin, ia tidak mendahulukan Sakura. Bahkan hanya sebatas berganti dokter. Demi apapun, hanya bertukar dokter.
Hinata mengalami persalinan yang lama dan kondisinya lemah. Tapi, siapa yang mengira justru Sakura dan bayinya yang hampir kehilangan nyawa. Bahkan Hinata dan putra bungsunya sangat sehat setelah beristirahat.
"Lihatlah, bukankah putra kita sangat lucu." Tak ditanggapi, Sasuke mengalihkan.
"Kau ingin menggendongnya? Sebentar saja, dia sudah lama diluar jadi harus kembali ke kotak tidurnya." Sasuke akan menyerahkan pada pangkuan Sakura, tapi ditepis kasar.
Sasuke mendongak nanar. Sesungguhnya sedikit tidak percaya meskipun Sakura sudah memperingatinya atas jenis kelamin.
"Ya, lain kali saja." Saat ini, dia hanya mengangguk sekali. Memindahkan bayinya kembali pada tempat tidurnya.
"Aku bersyukur kau tidak rewel. Maafkan Ayah karena belum bisa mengajak bermain diluar lebih lama." Setelah mengecup kening putranya sekali lagi, Sasuke kembali lagi pada Sakura.
"Aku tahu kau kesal. Tapi bisakah ditunda dulu, aku akan memanggil dokter untuk memeriksa kondisimu."
"Tidak perlu."
"Apapun." Jawab Sasuke sekenanya. Dia kemudian memanggil perawat yang berjaga diluar.
Mereka hanya memberikan obat yang diresepkan dokter, sekaligus membersihkan tubuh Sakura dan mengganti pembalutnya. Untuk beberapa saat darahnya kembali mengalir deras, namun beruntung tidak terlalu serius. Dokter akan datang saat kunjungan siang.
Atas saran perawat juga Sakura kembali berbaring. Dia juga menolak menyusui bayinya. Berakhir, susu pertama putranya hanya dari susu luar.
Sasuke menggenggam lengan Sakura yang masih lemas. Mengecupnya, dan meletakkan pada pipi kirinya. Tangan kanannya terulur untuk mengusap rambut merah muda istrinya.