Segalanya bisa hilang dan pergi, namun tidak dengan kenangan dan memori. Bahkan terkadang sesuatu yang berharga akan terasa berkali lipat lebih berharga saat mengenangnya kembali.
☆☆☆
Seperti hari libur biasanya, Renia terbangun di pagi hari. Ia membuka pintu balkon. Udara pagi yang menyenangkan ditambah suara cicit burung dari rumah tetangga terasa begitu menenangkan.
Begitu menuruni anak tangga suara musik dangdut samar terdengar, lalu kian jelas saat tiba di bagian samping rumah. Mak Narsih dengan gamis kebesaran kebanggaannya tengah asyik berjoget sambil bernyanyi dengan menggunakan gagang pel lantai sebagai micnya.
Pernah sekali aku pergi
Dari jakarta ke surabaya
Untuk menengok nenek di sana
Mengendarai kereta malam
Jugijag gijug gijag gijug
Kereta berangkatIde jail melintas dipikiran Renia. Ia mencari radio yang diputar Mak Narsih dan menekan tombol off. Otomatis alunan musik yang terhenti membuat Mak Narsih kebingungan. Wanita paruh baya itu berbalik dan menemukan Renia sedang menutup mulutnya dengan tangan karena menahan tawa.
"Ish neng Reren mah, ganggu Mak aja," decak mak Narsih.
Tawa Renia meledak melihat wajah kesal Mak Narsih. "Lagian emak, berisik tahu. Diomelin tetangga baru tahu rasa lho."
"Halah biarin aja, biar mak tampol kalo berani protes." Nada bicara Mak Narsih persis seperti ibu-ibu yang lagi nyinyir. Dengan pel lantai yang tidak lepas dari tangannya, ia kembali menekan tombol on dan kembali bersenandung layaknya ratu dangdut sedang manggung.
Jugijag gijug gijag gijug
Hatiku gembiraRenia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia memasang earphone, lagu melukis senja milik Budi Doremi mengalun merdu ditelinganya. Renia menyalakan keran, airnya mengalir melalui selang. Bunga-bunga mulai disiraminya. Kaktus-kaktus hijau miliknya yang berdebu kini sudah tumbuh membesar. Juga berbagai bunga lain yang mengingatkannya pada sesosok yang ia rindukan kepulangannya. Ini yang tidak Renia sukai jika pergi ke taman, tumbuhan hidup ini mengingatkan ia pada mama. Ah mama, Renia sungguh rindu.
Air matanya tak terasa jatuh, namun ada telapak tangan yang mengadah hingga membuat air matanya mendarat tepat disana. Dengan lembut Bara mengusap pipi Renia, membersihkan jejak air mata. Renia membuka earphone yang terpasang di telinganya.
"Ini masih pagi, kasian matahari jadi gak cerah nantinya kalau liat kamu sedih."
"Apaan sih." Renia mengerucutkan bibirnya. Sedangkan Bara hanya menyunggingkan senyum tipis.
"Ikut aku yuk!"
"Kemana?"
"Ke tempat yang pasti bikin kamu seneng lagi."
Tak memberi Renia kesempatan untuk menolak, Bara menarik tangan Renia hingga sampai di taman bermain komplek rumah mereka. Meski melewati tempat ini setiap hari, Renia sudah jarang sekali menghabiskan waktu barang sebentar di tempat ini. Ayunan, perosotan, dan beberapa lainnya sudah diganti dengan yang baru berkualitas lebih bagus.
"Katanya mau ngajak aku ke tempat yang pasti bikin aku seneng lagi. Lah ini kok ngajak kesini? Kamu pikir aku anak kecil." Renia melipat tangannya di dada.
"Pengennya sih kecil terus, biar kita bisa barengan terus." Padahal Bara mengucapkannya dengan tenang, namun ada rasa pedih yang menyusup dalam hati Renia. Benar, saat kecil mereka selalu bersama. Lalu setelah dewasa terasa seperti dipisahkan. Ah rasa-rasanya tidak adil jika kebersamaan pun harus berakhir seiring dengan kedewasaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika
Teen FictionKaktus itu aku. Berdiri sendiri, mandiri, juga penuh duri. -Renia Magika Agista Hadirku rupanya bukan untuk bersamamu. Mungkin semesta mempertemukan kita hanya untuk sama-sama menjalani hidup. Bukan untuk menjalani hidup bersama-sama. Kukira hadirku...