Sudah dua hari Aqila dirawat. Pagi hari, Aqila masih merasa pusing dan muntah-muntah. Dokter menjadwalkan esoknya untuk scan dan periksa darah. Arvan kembali merasa cemas dan khawatir. Entah sakit apa yang diderita oleh anaknya itu.
Rayyan terpaksa ikut tidur di rumah sakit, karena ia tidak mau berpisah dengan Aqila. Pagi-pagi, Rayyan dijemput Bude Ratih untuk pergi sekolah. Pukul 10.00, Bude Ratih datang lagi menggantikan Arvan menjaga Aqila. Lalu Arvan bergegas ke kantor. Sebelum waktu ashar, Arvan telah kembali berada di rumah sakit, karena Bude Ratih harus menjemput Rayyan.
Hari ini, Renata datang membezuk Aqila. Perempuan cantik itu membawa banyak hadiah untuk gadis kecil itu. Ada boneka, buah, kue, dan es krim. Arvan bisa melihat jika Renata telah susah payah mengambil hati Aqila. Namun, anaknya itu menanggapi dengan dingin. Setelah Renata pulang, teman-teman sekolah Aqila yang datang membezuk. Mereka didampingi oleh Bunda Afifah. Mata Aqila langsung berkaca-kaca karena tidak ada Bunda Hafsha di antara teman-temannya. Bunda Afifah memberikan alasan jika Bunda Hafsha sedang mendapat jadwal piket, sehingga tidak bisa ikut ke rumah sakit.
Begitu teman-temannya pulang, Aqila menangis terisak.
"Bunda Hafsha sudah tidak sayang lagi sama Aqila, ya, Pa?" Aqila menatap Arvan dengan mata basah. Arvan tertegun. Beberapa detik kemudian laki-laki itu tersenyum dan mengusap rambut Aqila dengan lembut.
"Sayang, 'kan kata Bunda Afifah, Bunda Hafsha lagi piket, makanya nggak bisa ikut datang."
"Kalau begitu, besok Bunda Hafsha bisa datang, Pa?" Aqila menatap Arvan dengan penuh harap. Arvan meneguk ludahnya dengan sudah payah.
"Iya, Nak. InsyaAllah, besok Bunda Hafsha datang, ya. Aqila jangan sedih lagi. Kan ada Papa, Rayyan dan Bude Ratih."
"Tetapi, Aqila juga mau Bunda Hafsha, Pa." Aqila kembali terisak.
"Eh, jangan nangis lagi. Besok Papa janji akan bawa Bunda Hafsha ke sini, ya."
"Papa janji?" Aqila menghentikan tangisnya.
"Iya, Papa janji." Arvan mengangguk meski hatinya merasa ragu apakah ia akan bisa menepati janjinya.
"Makasih, ya, Pa. Aqila sayang Papa." Aqila memeluk erat tangan Arvan. Arvan balas memeluk tubuh Aqila yang terasa makin kurus. Hati laki-laki itu meleleh melihat binar kebahagian di mata basah anaknya.
***
Pulang dari kantor, Arvan langsung ke sekolah untuk menjemput Rayyan, sekaligus untuk menemui Hafsha. Arvan telah menghubungi Bude Ratih agar menunggui Aqila di rumah sakit.
Sesampainya di sekolah, Arvan melangkah dengan kaki yang terasa berat. Jujur, ia tidak sanggup jika harus bertemu dengan Hafsha dan meminta perempuan itu untuk datang ke rumah sakit. Sungguh, ia merasa tidak punya muka setelah apa yang dilakukannya dua hari lalu. Namun, mengingat wajah penuh harap Aqila, Arvan juga tidak sanggup membuat anaknya itu kecewa untuk kesekian kalinya.
Akhirnya setelah bertemu dengan Rayyan, Arvan menanyakan Hafsha pada guru piket. Guru yang sedang bertugas itu menghubungi Hafsha. Ternyata Hafsha masih berada di kelas. Setelah mengucapkan terima kasih, Arvan segera menuju kelas yang ada di lantai dua. Dengan menggandeng tangan Rayyan, laki-laki itu sampai di depan kelas. Dada Arvan bergemuruh, ia mengucapkan salam dan mendorong pintu yang tertutup.
Hafsha yang telah bersiap untuk pulang mengangkat wajahnya, ia kaget. Perempuan muda itu membeku melihat siapa yang kini berdiri di pintu kelas. Arvan melangkah masuk setelah mengucapkan salam. Rayyan mengikuti langkah papanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DITALAK TANPA ALASAN (JUDUL DI NOVEL UNTAIAN DOA HAFSHA)
General FictionTiba-tiba Hafsha diantar ke kampung halamannya dan dipulangkan kepada sang ayah. Adam, laki-laki yang telah menikahinya dua tahun lalu, menalaknya tanpa alasan. Sebenarnya apa yang terjadi pada Adam? Lalu bagaimana kisah Hafsha selanjutnya?