1.

2.2K 99 0
                                    

🔉🔉kata lebah kecil, kakak-kakak yang baca jangan lupa klik bintang di pojok kiri ya,komen juga biar teteh semangat nulisnya hihi😋😋

Happy reading all,hope you enjoy 😘😘

🐝🐝🐝

"Sekian rapat kali ini, saya harap kedepannya tidak akan ada lagi kesalahan ataupun gangguan. Terimakasih, selamat kembali bekerja," tutur seorang lelaki yang memakai kemeja maroon dan celana bahan di depan ruangan, membuat seisi ruangan mengemas barangnya tanpa perlu di komando lagi.

Rapat yang diadakan selama hampir 1 jam itu akhirnya berakhir juga, membuat para guru melangkah kembali ke kelas yang akan mereka ajar.

Begitupun dengan Fabia, gadis bermata sipit itu kini bangkit, sedikit merapikan baju dan juga rambutnya sebelum beranjak dari ruangan yang digunakan untuk rapat tadi.

Baru saja beberapa langkah ia keluar, sebuah tepukan di bahu sudah di rasakannya, membuat Fabia mau tak mau berhenti dan berbalik dengan muka sedikit masam.

Ayolah dirinya ingin cepat ke kelasnya lalu mengejar pembahasan yang tertinggal karena rapat tadi, kasihan kan jika anak didiknya harus mengejar pembahasan itu sendirian.

"Apa?" Fabia mengerutkan kening, saat melihat sebuah kresek sedang disodorkan padanya.

"Buat Bu Bia," ujar seseorang yang ada di depannya. "Jadi nanti istirahat ga harus ke kantin."

Diraihnya tangan kecil Fabia untuk mengambil kresek tersebut karena gadis itu tak kunjung menerimanya. "Tapi Do-"

"Jangan nolak rejeki, dah sana balik ke kelas, have a nice day," tuturnya lalu berbalik dan melangkah menjauh.

Sedangkan Fabia hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan, agak tak paham kenapa Eldo, temannya yang satu itu sangat gigih mendekatinya padahal sudah ia tolak berkali-kali.

Eldo itu anak yang baik, dia ceria, lelaki itu selalu ada saat Bia butuh, selalu melindunginya dan menyayangi Bia dengan tulus. Jangan lupakan bahwa Eldo itu tampan dan sudah bisa dikatakan mapan. Namun tetap saja semua itu tak mampu membuatnya berada di hati Bia. Paling mentok pun Bia hanya menganggap Eldo sebagai sahabat, tidak lebih, sungguh.

Kadang Bia merasa bersalah,tapi jika ia menerima bukankah itu lebih salah? Bia pikir itu akan menyakiti Eldo berkali-kali dari pada saat ia menolaknya secara halus.

Tak ingin larut dalam lamunannya, Fabia kini melanjutkan kembali langkahnya yang tadi sempat terhenti untuk menuju kelas.

"Assalamualaikum, good morning everyone," sapa Bia begitu dia mendudukan bokongnya di kursi guru.

"Wa'alaikumsalam, Miss." Tutur anak didiknya serempak.

Fabia bukan guru bahasa Inggris, namun hampir seluruh murid sekolah memanggilnya dengan sebutan 'Miss'. Itu memang permintaan pribadi Bia, katanya dia belum terlalu tua untuk di panggil ibu, jadi panggilan ibu guru digantinya dengan sebutan 'Miss'.

"Hari ini, sesuai yang saya janjikan di pertemuan terakhir, kita bakal ngadain kuis berkelompok," tutur Bia membuat kelas seketika bising karena kompak mengeluh.

"Kelompok dibuat sama siapa, Miss?" Tanya Ari, siswa yang duduk di meja paling depan dekat dengan posisi meja Bia.

"Kelompoknya,,," Bia menyeringai kecil, dalam hati terkikik geli karena hampir setengah dari kelas ini sekarang bermuka masam.

"Kita acak, pake metode berhitung sampai 5," lanjutnya membuat muridnya lagi-lagi mengeluh, takut mendapat teman kelompok yang zonk.

Bia terkekeh kecil."Oke, berhitungnya dari sebelah kanan saya ya, berhitung..,mulai."

~~~


Pintu operasi itu akhirnya terbuka setelah beberapa jam tertutup rapat, seorang lelaki yang melangkah keluar dari sana refleks membuka masker pun dengan sarung tangan dan jubah operasi yang langsung ia buang. Kepalanya tertoleh saat timnya bersuara dari arah belakang.

"Dokter, kami duluan," Pamit seorang dokter junior diikuti anggukan sopan dari beberapa orang di sebelahnya.

Lelaki itu, Galung Anggara, tersenyum lalu mengangguk kecil pada mereka. Lalu setelah punggung rekannya menjauh, ia berbalik, menuju arah yang berlawanan dengan mereka. Perutnya kini sudah demo minta segera diisi, karena memang sejak semalam dirinya belum memakan apapun. Alasannya sangat simpel, lelaki itu sudah tidak kuat menahan kantuknya semalam, hingga memilih tidur daripada mengisi perutnya yang kosong.

"Bu, Galung pengen mie ayam 1, kopinya kaya biasa aja," ucap Galung begitu sampai di kantin rumah sakit.

"Pengen pengen, beli lah." Refleks Galung membalikan badannya, mencari dari mana asal suara tersebut.

Saat sudah melihat siapa orangnya, Galung refleks melengos malas, itu Dibarsya Ashunie dan Hagian Adhyaksa Putra. Dua orang yang selalu bersama, mirip seperti amplop dan perangko yang tak terpisahkan.

Katanya sih mereka teman sejak orok, hingga tak bisa dijauhkan dan sungguh, Galung bersumpah saat mereka berdua disatukan maka sifat jahilnya perlahan akan muncul ke permukaan. Sangat kompak untuk menjadi partner kejahatan.

"Berisik, Yas," ucapnya membalas ucapan Dibarsya atau yang lebih akrab dipanggil Dias tadi.

Tanpa disuruh lagi, mereka berdua mendudukan bokongnya di kursi sebelah Galung.

"Mana yang lain?" Tanya Galung heran, biasanya ada segerombol lagi yang mengganggu dirinya, tidak hanya dua biji seperti sekarang ini.

"Defrik lagi ada jadwal sama pasiennya, Runa lagi di luar kota kalo lo lupa, terus Shila, dia libur," jelas Dias.

"Harusnya gue juga libur tau, cuma tadi di telpon ada cito, sialan emang ih, gemes," lanjutnya lagi dengan muka yang terlihat lesu.

"Heh, ga boleh ngeluh, sekarang juga jadwal libur gue tapi gue ke sini."

"Gue juga ada cito soalnya," lanjut Galung membuat Dias maupun Gian terbahak.

"Sadboy and sadgurl hahahaha," tutur Gian yang sedari tadi hanya menyimak.

"Belom ae belom Gi, nanti lo rasain deh keselnya di telpon gegara cito," omel Dias menggebu-gebu. "Untungnya ya anjir, tadi gue sempet mandi dulu, sempet makan dulu."

"Dias goblok, diantara kita, rajanya cito itu orang yang duduk sebelah lo by the way."

Dias diam, lalu beberapa detik kemudian cengiran bodohnya muncul. "He he."

Takk

"Aw anjir sakit jayen!" Ringis Dias.

"Hehe hehe, geleng-geleng gue liat lo bisa nanganin cito dengan otak yang udah ga tau letaknya dimana," tutur Gian membuat Dias melotot.

"He anjir, gue kan cuma lupa," bela Dias.

"Ya ya ya, lupa iya."

Melihat itu semua, Galung hanya terkekeh sembari ikut mengompori,karena memang beginilah kesehariannya setiap hari. Diisi oleh kekonyolan yang tak terduga.

After Letting You GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang