PROLOG

57 5 4
                                    


"Tumben, cepet banget." Dara mengernyitkan dahinya. "Biasanya seminggu baru dibalikin." Tangan kanannya menimang-nimang buku catatan yang baru saja berpindah dari tanganku.

"Tata! Kenapa sih setiap kali balikin buku jadi lecek begini?" Mulut Dara berdecak kesal, hanya kubalas dengan cengiran.

Mataku tertuju pada gitar yang tergeletak di atas lincak. Dengan cepat gitar berpindah ke dalam dekapanku yang duduk menggantikan posisi gitar. Jemari kiriku dengan cepat memasang kunci C di salah satu ujung gitar, sementara telunjuk kanan memetik di ujung lainnya.

"Eh, Mas Bimo di rumah ya?" Jariku terus memetik senar, coba memainkan intro. Kesempatan langka bisa bertemu Mas Bimo di rumah. Sudah tiga tahun terakhir Tata bolak balik rumah Dara hanya bisa dihitung dengan jari bisa bertemu Mas Bimo. Kegiatan kampus membuatnya jarang di rumah.

Dentingan senar membentuk irama. Tak sabar menunggu Dara yang hanya membolak balik buku catatannya dengan muka ditekuk, "Ra, kok nggak jawab. Mas Bimo mana?"

"Hish mbuh, sebel catetanku dadi kucel." Ujung bibir Dara mengerucut, gemas rasanya ingin mengikatnya pakai karet.

Tak ubahnya seperti Mas Bimo yang selalu terlihat rapi. Dara pun tidak bisa membiarkan barang-barangnya berantakan. Perbedaan Mas Bimo dengan cowok kebanyakan di kampung inilah yang membuatku ingin selalu bertemu dengannya.  Selain itu tentunya Mas Bimo punya sederet kelebihan lain sebagai cowok idola. Kabarnya meski tidak termasuk golongan siswa cerdas, Mas Bimo pernah membawa nama sekolah dalam festival Jambore Nasional dan mendapatkan juara.

Dua truk besar terparkir di sisi selatan rumah Dara, sementara di depan ada mobil sedan hijau tua yang berhenti tepat menghadap ke pintu garasi. Aku belum pernah melihat mobil ini sebelumnya, sepertinya bukan milik warga kampung ini. Ayah Dara memang sering mendapatkan tamu, apalagi saat musim panen. Berbagai jenis tanaman rempah yang ditanam hampir sepertiga bagian perkebunan di kampung ini, membuat orangtua Dara panen setiap bulan.

Kucondongkan kepala melewati sisi pintu. Tak ada siapa pun di sana, ruang tamu kosong tapi sisi selatan rumah terdengar orang sedang mengobrol. Toples berisi makanan kecil didampingi cangkir yang masih mengepulkan asap diatasnya berjejer rapi mengelilingi setiap sisi meja. Jemariku tak berniat lagi melanjutkan nada yang sudah dimulai.

"Ra!" Buku yang ada digenggaman tangan Dara berhamburan, tak siap mendengarkan suaraku yang terlalu keras karena jarak kami yang tidak lebih dari satu meter. Menyadari kesalahan yang sudah terjadi, aku hanya bisa nyengir memasang wajah memelas.

"Tata! Kenapa sih harus teriak? Aku nggak budek." Protes Dara membuatku semakin merasa bersalah.

"Ma...ma...maaf Ra," buru-buru kutangkupkan kedua telapak tangan di dada. Bukannya tak mau memberitahukan di mana Mas Bimo, Dara memang selalu kesal setiap kali bukunya tak sengaja terlipat. Sahabatku yang satu ini memang juara kalau soal kebersihan dan kerapian. Jarak yang tercipta diantara kami sudah seperti kutub utara dan kutub selatan.

"Lagian kenapa sih, gatel banget nyariin Mas Bimo terus?" Aku tahu sekesal apapun Dara padaku, tida tak akan pernah bisa benar-benar marah.

"Kamu kan tahu, aku penggemar berat Mas Bimo." Dara hanya mencebik saat mendengar ucapaku.
"Hish, nggak usah ngarep deh. Mas Bimo itu sudah punya cewek. Lagian mana mau Mas Bimo pacaran sama anak bau kencur kayak kamu." Ucapan Dara berhasil menusuk tepat di ulu hatiku.

Mungkin Dara ada benarnya, rentang usiaku lima tahun lebih muda dibanding Mas Bimo sudah menciptakan jarak yang cukup jauh diantara kami. Mewarisi wajah ganteng dari ayahnya tentu tidak sulit untuk mendapatkan cewek cantik di kampus. Dara memang selalu terang-terangan menolakku, meski dia tahu mana mungkin aku bisa berhenti menjauh dari Mas Bimo.

DISPATCHHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin