Lost

2 0 0
                                    

Tubuhku masih tergolek lemah di sofa saat jempol kanan menekan tombol merah remot tv. Berita pagi sudah jadi teman sarapan semenjak isolasi mandiri di rumah. Kepindahan Aksa di kampung membuat hariku terasa kosong. Hanya siaran televisi yang menandakan bahwa masih ada kehidupan di rumah.

Agni Paramita, news anchor* favoritku sedang membacakan berita aktivitas para artis di rumah selama pandemi. Cara bicaranya yang lugas selalu membuatku sulit mengalihkan perhatian. Rambut pendek dan mata hitam bulat membuatnya tampak cerdas. Berita tentang tanaman janda bolong yang harganya meroket sejak pandemi menghiasi layar kaca menggantikan wajah Nadine Candrawinata.

Sesuatu yang kontras memang sering terjadi dalam kehidupan. Seseorang rela menukar harta yang paling berharga sekalipun dengan benda yang disukai hanya dengan satu alasan hobi. Sementara di sisi lain ada orang yang harus bersusah payah hanya untuk memperjuangkan sesuap nasi.

Kalau saja manusia bisa tetap hidup setelah di buka batok kepalanya, orang dengan tipe seperti ini yang pertama kali ingin sekali kulihat isi kepalanya. Ah, janda bolong mengingatkanku pasa sesuatu. Kutegakkan badan saat melihat sebuah aplikasi di layar ponsel. Denyut hebat menyerang kepala bagian belakang. Aku harus segera mengambil keputusan sebelum terlambat.

Jarum menunjuk angka tujuh saat perutku terasa melilit. Badan yang masih lemah membuatku malas untuk beranjak mencari makanan. Roti trampul yang masih setengah sisa semalam tergeletak di meja depan sofa. Cukup untuk mengganjal perut sampai aku bisa berdiri mencari sesuatu yang lebih mengenyangkan di dapur.

Baru dua gigitan, perutku sudah terasa mual. Biasanya Lingga yang selalu menyiapkan jahe hangat setiap kali badanku kurang sehat. Sejak Lingga tidak ada, sudah tidak ada pula rempah hangat ini di dapur. Suamiku yang lebih percaya rempah-rempah daripada obat dokter akhirnya menyerah setelah tiga hari menjalani masa kritis.

Rasanya masih seperti mimpi, setiap sisi rumah selalu mengingatkanku pada Lingga. Aku pikir hidupku akan berakhir pula saat menyadari Lingga tak akan pernah pulang lagi ke rumah. Masih sangat jelas, Lingga yang penuh semangat setiap kali membicarakan masa depan Aksa. Namun tanggungjawab yang harus kuambil alih rasanya sangat berat, sulit untuk membuatku tetap berdiri tegak. Bunyi bel rumah membuatku terkejut, memudarkankan senyum Lingga yang tergambar jelas dalam benak.

Denting ketiga, aku masih malas beranjak. Sinar matahari yang menerobos melalui ventilasi mulai merayuku untuk menampakkan diri pada dunia. Tapi menikmati sakit di atas sofa terasa lebih menarik. Hampir satu bulan sudah aku dinyatakan negatif Covid-19, selama itu pula aku hanya berdiam diri sambil menunggu pergantian waktu yang sangat membosankan.

Kuletakkan kepala pada sandaran sofa, tak cukup tenaga untuk membuat badan tetap tegak. Kuluruskan kaki berharap betisku terasa lebih baik setelah berada di atas bantalan sofa. Ingin sekali bisa terlelap lagi untuk melupakan rasa sakit, tapi mataku berkhianat saat menemukan foto pernikahan yang menempel di dinding.

Senyum Lingga yang tak pernah bisa kulupakan. Hangatnya pelukan yang selalu bisa menampung air mata setiap kali masalah datang. Bahkan bau tubuhnya masih lekat di penciumanku. Buliran hangat kembali mebasahi pipi saat mataku terpejam.

Ada nama Aby saat layar ponsel berkedip. Wajah Aksa muncul setelah jemariku menyentuh fitur warna hijau. Pipinya tampak lebih tirus, meski bibirnya tersenyum tapi sorot matanya tak bisa berbohong.

"Ma, Mama apa kabar?" Aby yang duduk di samping Aksa, ikut tersenyum saat wajahnya muncul di layar.

Seperti kena setrum, suara sengau Aksa mampu membuatku duduk tegak. Hati menolak jika Aksa melihatku lemah. Seperti ayahnya, Aksa selalu memastikan bahwa aku selalu dalam keadaan baik-baik saja. Sesuatu menghantam dadaku hingga terasa ngilu, melihat anak sekecil Aksa sudah harus kehilangan ayahnya.

DISPATCHWhere stories live. Discover now