Bab 1

14 3 4
                                    

"Lo harus aborsi!"

Jauh di dalam hati, aku sudah tahu, itulah jawaban yang akan kudengar. Namun, tetap saja aku tersentak saat mendengarnya langsung. "Lagi?" tanyaku lirih. Aku menelan ludah dan memejamkan mata, mengingat betapa sakit saat aku melakukannya satu tahun yang lalu. Seketika bulu kudukku meremang.

Aku membuka mata dan menengadah, menatap sosok yang sedari tadi mondar-mandir di kamarku yang sempit. "Aku ... nggak bisa," kataku dengan perasaan berdebar. "Aku nggak bisa, Rik."

Erik menghentikan langkah dan berbalik, menatapku dengan tajam. "Terus, lo mau apa? Mau bayi itu lahir? Siapa yang mau ngerawat dia?"

Aku menelan ludah yang kini terasa pahit. Tenggorokanku kering dan sedikit perih, dan kuingat aku belum memasukkan apa pun sejak bangun pagi ini. Aku terlanjur panik saat melihat dua garis merah pada alat tes kehamilan yang kupakai. "Kamu bilang ... kamu mau tanggung jawab," kataku.

Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Erik menghela napas. "Tapi nggak sekarang, Nin. Lo tahu, kerjaan gue banyak dan gue lagi persiapan S2. Gue belum punya waktu buat nikah, apalagi jadi bapak."

"Jadi ... aku harus ngapain?" tanyaku. Itu pertanyaan bodoh, yang aku sudah tahu akan jawabannya. Tapi, aku tetap menanyakannya, lagi dan lagi, seakan-akan dengan banyaknya pertanyaan yang sama akan membuat Erik mengubah jawabannya.

"Ya, elo sudah tahu kan, jawabannya?" Erik maju selangkah mendekatiku, lalu kedua tangannya terulur menyentuh pipiku dan mengelusnya lembut.

Aku menepis kedua tangan lelaki itu. Selama beberapa detik selanjutnya, aku mengumpulkan keberanian untuk menanyakan hal yang berbeda. "Kalau aku nggak mau aborsi, gimana?" tanyaku.

Erik tertegun. Kulihat rahangnya mengeras saat dia mundur sampai tubuhnya menyentuh meja belajar. Dia melipat kedua tangannya di depan dada sementara matanya tak lepas menatapku. Dia mengangkat bahu saat mengatakan, "Terserah. Tapi gue nggak mau tanggung jawab. Gue nggak mau jadi bapak anak lo!"

Gelombang perasaan sakit itu kembali bergulung-gulung memenuhi benakku. Aku menarik napas panjang, berusaha untuk tidak menangis, tapi aku gagal. Saat sebutir air meluncur dari sudut mata, aku buru-buru menghapusnya dengan punggung tangan.

Dadaku terasa sesak sekali. "Tapi ... kamu sudah janji, Rik. Kamu janji mau tanggung jawab. Kamu janji kita pasti nikah ...." Aku kembali memejamkan mata. Aku kehilangan kata-kata. Semua kalimat-kalimat manis yang diucapkan Erik tumpang tindih di kepala sampai aku tak tahu lagi mana yang harus kukatakan sebagai pengingat untuk lelaki itu.

Tiba-tiba pintu diketuk. "Nin? Nina?" Itu suara Rini, teman kosku. "Kamu mau berangkat bareng, nggak?"

Aku segera berdiri dari tempat tidur, mengambil tisu dari meja dan menyeka pipi yang basah. Kuambil bedak dari laci dan memakainya, sementara Erik membuka pintu kamar.

"Oh ... Hai, Rik!" Rini menyapa Erik. "Rajin banget, pagi-pagi sudah apel."

Dari bayangan di cermin aku melihat Erik menggaruk kepalanya yang kuyakin tidak gatal. Rini melongok dari balik tubuhnya yang tegap itu.

"Nin? Mau berangkat bareng, nggak?" tanya gadis berambut keriting itu.

Aku membalikkan tubuh dan mengangguk. "Sebentar. Aku beresin tas dulu."

"Aku juga mau ke kantor," kata Erik. Dia berbalik sesaat untuk menyentuh lenganku sekilas. "Aku pergi dulu, ya. Bye ...."

Aku hanya mengangguk sementara Rini membalas ucapan perpisahan itu. Saat memasukkan buku ke dalam tas, samar-samar kudengar suara Erik berbicara dengan seseorang yang berpapasan dengannya. Aku mengambil buku agenda, membalik beberapa halaman dan pura-pura membacanya. Aku sengaja melakukannya untuk memperlambat waktu, agar aku tidak perlu berpapasan dengan lelaki itu saat aku turun dan keluar rumah.

SOMETHING WRONG ABOUT LOVEWhere stories live. Discover now