Bab 2

3 2 0
                                    

Setahun yang lalu, aku pernah menanyakannya pada Erik—kapan aku bisa bertemu orang tuanya. Dia hanya menjawab, "Tunggu sampai Papi nggak sibuk, ya?" Dua atau tiga kali aku bertanya, dan aku mendapat jawaban yang sama. Begitu juga saat aku minta berkenalan dengan ibunya, atau dua kakak perempuannya lebih dulu—jika ayahnya terlalu sibuk untuk ditemui. Tidak ada jawaban selain aku harus menunggu sampai mereka semua tidak sibuk, dan entah kapan hal itu akan terjadi.

"Belum pernah," kataku—menjawab pertanyaan Rini, lalu memasukkan buku catatan dan pulpen ke dalam tas. Aku bangkit dari tempat duduk, mengembalikan buku gadis itu dan mengajaknya keluar. Hanya tinggal aku dan Rini yang tersisa di ruang kelas dengan jendela-jendela kaca berderet di sepanjang dinding itu.

"Kamu ada kelas lagi?" tanyaku saat menunggu lift.

"Nggak. Makan, yuk."

Seketika aku ingat belum memakan apa pun sejak pagi. Perasaan yang menekan batin ini membuatku lupa akan rasa lapar. Kulihat jam di pergelangan tangan kiri. Hampir tengah hari.

"Tapi aku mau ke ruang senat dulu. Mau ambil contoh proposal," ucap Rini saat masuk ke lift.

Aku mengikuti gadis berkulit kuning langsat itu turun ke lantai dasar, melewati koridor gedung ekonomi dan gedung pelayanan mahasiswa, menyusuri koridor gedung teknik arsitektur yang ramai dengan mahasiswa yang sedang menunggu jam-jam kuliah berikutnya, dan melewati taman kecil.

Sepanjang perjalanan itu, beberapa kali Rini berhenti untuk bicara dengan teman-temannya—sebagian di antaranya kukenal sebagai mahasiswa yang aktif di kegiatan-kegiatan kampus seperti Rini.

"Sebentar versimu tuh, minimal lima belas menit," kataku saat Rini mengakhiri percakapannya yang kesekian.

Rini tersenyum. "Maaf, ya. Bulan depan banyak kegiatan yang harus kuurus."

Aku mengedikkan bahu. "Ya, nggak masalah. Cuma, menunggu itu bikin aku kelaparan. Aku belum sarapan."

"Waduh, sori." Rini menoleh, menatapku cemas. "Kamu mau ke kantin dulu? Nggak apa-apa, nanti aku nyusul."

Aku menggeleng. "Bukan salahmu, kok." Aku menepuk pelan bahu Rini.

"Tunggu aku di sini," katanya, lalu melesat cepat mendahuluiku.

Aku tetap berjalan mengikuti gadis itu. Di ujung taman, terdapat gedung satu lantai yang dibagi menjadi beberapa ruangan kecil sebagai sekretariat beberapa lembaga mahasiswa. Keseluruhan dindingnya dicat putih dengan deretan jendela kaca dan pintu-pintu kayu yang semuanya terlihat sama. Ada tanda pengenal yang menempel di depan setiap pintu.

Rini masuk ke ruang senat mahasiswa fakultas ekonomi. Dari jendela kaca, aku melihat beberapa orang duduk mengelilingi satu-satunya meja yang ada di ruangan itu. Salah satu dari mereka menoleh ke arahku dan melambaikan tangan, menyuruhku masuk, tapi aku menggeleng dan duduk di bangku besi yang ada di depan sekretariat.

Aku menyandarkan kepala ke dinding, memandang kosong pada rerumputan yang menghampar di taman, dan teringat saat pertama kali aku mengenal Erik.

Saat itu, kira-kira waktunya sama dengan hari ini, dan aku sedang menunggu Rini mendaftar kuliah umum. Aku malas berdesak-desakan di ruangan sempit itu, jadi kutitipkan kartu mahasiswa dan uang pendaftaran padanya.

"Sudah daftar?" tanya seseorang.

Aku menoleh, mendapati seraut wajah yang kukenal, tapi dia tidak akan mengenalku sebelum aku menyebut nama, jurusan, dan angkatan tahun berapa. "Titip teman," jawabku.

Lelaki itu—yang kutahu bernama Erik—mengambil tempat duduk di sebelahku. Aku pernah melihatnya beberapa kali saat masa orientasi mahasiswa baru, dan aku tahu bagaimana teman-temanku perempuan berbisik-bisik saat dia naik ke podium dan mulai bicara. Sebagian dari mereka jelas memujanya, atau menyebutnya mirip si A atau si B aktor drama Korea—yang aku tidak hapal namanya.

"Erik." Dia mengulurkan tangan.

Aku menegakkan punggung dan membalas uluran tangannya. "Nina."

Saat itu, aku menganggap Erik sangat manis karena dia menyapaku lebih dulu. Dia mantan aktivis lembaga mahasiswa dengan indeks prestasi tak pernah kurang dari 3.5. Dia juga tampan, dan kukira cukup populer bila sesekali mendengar gadis-gadis bergosip tentangnya. Sementara aku hanya mahasiswa baru yang tidak dikenal.

"Hai, Nin." Seseorang menyapa, menarikku dari masa silam.

Aku memalingkan kepala dan melihat wajah Alva. Aku tersenyum. "Hai."

"Kamu kok ... pucat?" tanya Alva sembari duduk di sebelahku. "Sakit?"

Aku menempelkan kedua telapak tangan ke pipi. "Masa, sih?" ucapku setelah merasakan suhu badanku tetap normal.

Alva mengangguk. "Beneran nggak sakit?" Dia mengulurkan tangan kiri untuk menyentuh dahiku, tapi aku buru-buru menepisnya.

"Beneran." Saat itu terdengar bunyi-bunyian dari perutku. Pelan, tapi cukup membuatku dan Alva tertawa. "Aku belum makan," kataku.

"Makan siang?"

"Dari pagi."

"Hah? Gila, lo!" Kalau kaget, Alva suka keceplosan menggunakan lo-gue. "Ayo, gue temenin lo makan."

"Aku lagi nungguin Rini." Aku menoleh ke belakang sesaat, melihat Rini sedang mengambil berkas-berkas dari lemari arsip.

"Nggak usah ditunggu. Ntar dia bisa nyusul kita ke kantin." Alva berdiri, lalu menarik tangan kananku untuk mengikutinya. Dia melongok ke dalam ruangan sesaat sebelum menyeretku pergi. "Rin, aku sama Nina ke kantin Gedung C."

***

Kata orang, perempuan yang sedang hamil harus tetap makan, bagaimana pun keadaannya. Dia harus ingat bahwa dia makan bukan untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk bayi yang ada dalam perutnya.

Tapi, jika perempuan itu tahu si bayi dalam rahimnya tidak akan pernah bertahan selama sembilan bulan sepuluh hari untuk dilahirkan, untuk apa dia tetap makan? Semuanya terasa sia-sia, bukan?

Aku menatap kosong pada sepiring nasi kuning yang terhidang di hadapanku. Mengingat Erik yang memintaku membuang bayi dalam perutku ini membuat rasa laparku menghilang lagi.

"Kenapa, Nin? Bosan? Mau ganti makanan lain?" tanya Alva setelah melihatku hanya termenung di depan makanan favoritku.

Aku menggeleng, meraih sendok dan garpu lalu mulai menyuapkan makanan ke dalam mulut. Piringku sudah separuh kosong saat ponsel yang kusimpan di saku celana bergetar. Aku mengambilnya, dan membaca nama Erik di layar.

"Hai, Sayang." Suara Erik terdengar lembut. "Sudah makan?"

"Lagi makan," jawabku seraya meletakkan sendok di piring. Aku melirik Alva yang sedang menatapku, sebelum dia memalingkan wajah ke arah lain.

"Hmm ... kamu sudah mutusin mau apa?" tanya Erik.

Sebetulnya aku mengerti apa maksud pertanyaannya. Tapi, aku memilih untuk pura-pura tidak tahu. "Maksudmu apa?"

"Yang tadi pagi kita bicara," kata Erik, kali ini dengan nada suara lebih tegas. "Aku bisa cari obat buat kamu."

Aku menghela napas. Belum satu hari berlalu sejak aku memberitahu lelaki itu tentang kehidupan baru yang bertumbuh dalam rahimku. "Aku butuh waktu buat mikir."

Jeda beberapa detik. "Oke. Kalau itu maumu. Tapi, jangan lama-lama, ya ...."

Aku menutup telepon dan meletakkannya di meja, mengambil sendok lalu mulai menyuap dalam porsi besar-besar dan mengunyah cepat-cepat.

Aku makan untuk mengusir perasaan pedih yang menyelimuti hatiku.

***

SOMETHING WRONG ABOUT LOVEDonde viven las historias. Descúbrelo ahora