BAB 1 | Putar Balik Mantan

139 8 3
                                    

"Selain agama, perbedaan status sosial juga menjadi penghalang hubungan yang sulit ditentang," ucapku lirih saat membaca sebuah kutipan di media sosial.

Aku membenarkan kalimat tersebut. Masalah status sosial dan perbedaan ekonomi memang masih menjadi momok bagi sebagian pasangan di luar sana. Bisa dikatakan, akulah salah satu korban dari momok itu.

Yah ... memang beginilah hidup. Sebagai seorang pustakawan yang hanya mengandalkan gaji bulanan, aku hanya mampu bersabar dan mengelus dada saat berhadapan dengan permasalahan tersebut.

Terlepas dari masalah status sosial itu, sejak tadi siang aku juga dibuat mengeluh karena ulah seniorku yang lagi-lagi memanfaatkan kuasanya seenaknya. Dia bukan kepala perpustakaan, tetapi tingkahnya seolah paling menguasai wilayah ini. Dia berani bersikap begitu karena orang tuanya menjabat sebagai direksi di Yayasan Bhakti Bangsa.

"Setelah selesai katalogisasi, semua buku di meja sirkulasi langsung di shelving!" perintah seniorku yang bernama Mbak Tari itu dengan wajah ketusnya.

Kalau aku yang mengerjakan itu semua, terus dia ngapain?

"Gimana kalau kita bagi tugas aja. Mbak selesaikan katalogisasi buku baru, aku yang shelving semua buku dari meja sirkulasi, supaya lebih cepat selesainya. Ini sudah sore."

"Aku diajak makan malam sama papaku. Dia sudah nunggu di parkiran. Baru kerja gitu aja udah ngeluh. Dulu aku lebih banyak kerjaannya, tapi nggak pernah ngeluh ke atasan. Manja banget!" Dengan tanpa berdosa atau pun kasihan padaku, Mbak Tari langsung pergi begitu saja.

Sering aku menolak berbagai tindak kesewenang-wenangan Mbak Tari, tetapi tidak juga mendapat hasil yang kumau. Dia tetap berlaku seperti itu. Kepala perpustakaan pun seolah membiarkan gelagatnya yang sok menjadi penguasa.

Sejenak aku menarik napas panjang dan memegangi kepalaku yang berdenyut. Ini hari kedua periode menstruasi yang membuat fisikku lebih mudah lelah dari hari biasa. Selain itu, emosiku juga sedang tidak stabil, terlebih dengan perlakukan Mbak Tari barusan. Berkali-kali aku berusaha menyabarkan diri.

Dengan ditemani lantuan lagu yang kuputar nyaring di komputer, aku mengerjakan satu per satu pekerjaanku. Proses katalogisasi manual ini memang perlu kesabaran dan juga ketelitian. Semua informasi yang tertempel di bagian samping buku akan menjadi kunci untuk pengecekan. Untuk katalogisasi menggunakan software biar dikerjakan Eko sepulangnya dari pelatihan. Hari ini aku memang kurang beruntung, tiga rekanku yang lain tidak masuk, satu sakit dan dua pelatihan di luar kota. Jadilah sekarang aku sendiri di sini.

Tanpa terasa, jam sudah menunjukkan pukul lima sore ketika aku menata buku dari meja sirkulasi peminjaman dan pengembalian buku ke rak yang sesuai satu per satu. Sama dengan katalogisasi, proses shelving ini juga perlu ketekunan. Menjadi pustakawan memang dituntut untuk bisa teliti di berbagai bagian yang dikerjakan. Aku menyukainya. Aku suka segala hal tentang pekerjaanku, kecuali seniorku yang menyebalkan itu.

Suasana perpustakaan yang sunyi dipadukan dengan setiap sudut yang dipenuhi sekat buku membuatku tanpa sadar bersenandung mengikuti putaran lagu. Speaker komputer itu mendengarkan suara Camila Cabello. Sahutan dari Bazzi yang berulang kali menyebutkan kata 'Beautiful' berhasil membantuku memperbaiki suasana hati. Aku merasa kata itu ditujukan untukku.

Koridor sudah sepi ketika baru saja aku keluar dari perpustakaan. Hanya ada tim basket SMA Bhakti Bangsa yang sedang berlatih dan petugas kebersihan yang sedang sibuk mengangkut sampah dari setiap sudut gedung.

Saat baru saja kunyalakan mesin motor, panggilan dari nomor yang tertera nama 'Bunda' membuatku sejenak mematikan mesin.

"Lia, hari ini nggak lupa mampir ke rumah, kan?"

Astaga!

Aku menepuk keningku karena lupa dengan janji kepada Bunda. Kemarin lusa aku sudah mengiakan datang ke panti sepulang kerja untuk membantu donatur yang hendak menyumbang buku ke perpustakaan di sana.

"Iya, Bun. Aku baru selesai kerja. Ini sudah mau pulang," kataku.

Tanpa basa-basi lagi, aku langsung mengendarai motor dan menyusuri jalanan Jakarta yang langitnya mulai menggelap. Setiap kendaraan juga berebut untuk saling mendahului. Orang-orang berlomba untuk segera sampai ke tujuan masing-masing. Begitu pula denganku, aku ingin segera sampai di panti.

Sesampainya di panti, buru-buru aku langsung mendatangi ruangan Bunda. Aku sudah sangat terlambat dari waktu yang dijanjikan. Harusnya kami bertemu pukul lima sore, tetapi ini sudah pukul delapan.

"Bunda, maaf tadi lagi ba ... nyak kerjaan," ucapanku sempat terjeda begitu saja ketika kulihat Bunda tak sendiri di ruangannya. Ada seorang pria yang duduk dengan tenang dan tersenyum kepada Bunda. Sekarang, mereka berdua langsung melihat ke arahku.

"Nggak papa, Li. Ini Nak Fandi juga baru datang. Dia juga telat."

Bunda, bisa tolong ulangi nama orang ini? Siapa tadi namanya? Fandi? Nama itu tidak asing, bahkan pernah sangat kukenal. Setiap sudut wajahnya juga masih terukir jelas di ingatanku, padahal sudah dua tahun lamanya aku berusaha menghapus jejaknya. Namun, kenapa semudah ini aku mengingatnya kembali? Rifandi Mahendra. Itu nama lengkapnya.

Sekarang kutanya, apa yang akan kalian lakukan andai bertemu dengan mantan, putar balik menghindar atau berlaku seolah tidak pernah terjadi apa-apa?

MEMORI MANTAN (Segera Terbit) #IWZPAMER2023Where stories live. Discover now