BAB 2 | Harus Lupa Mantan

71 6 0
                                    

Satu minggu lalu, Bunda penuh semangat bercerita padaku. "Bunda share tentang rumah panti ini ke grup-grup Bunda, salah satunya grup alumni waktu SMA di Surabaya. Nggak lama, ada teman Bunda yang chat, katanya anaknya yang kerja di Jakarta mau bantu rumah ini. Dia mau bantu bangunkan perpustakaan dan isinya."

Sejak itu, Bunda mengatur pertemuan kami dengan anak temannya itu. Aku sama sekali tidak tahu siapa orangnya. Bunda hanya memintaku untuk membantunya, sebatas itu.

"Lia, ini Nak Fandi, anak teman Bunda yang katanya mau bantu menghidupkan perpustakaan di rumah ini," ucap Bunda memperkenalkan Fandi padaku. Bunda terlihat begitu bahagia, senyumannya tak lepas dari tadi.

Sepertinya perlu kuberitahu, wanita yang usianya sudah melebihi setengah abad ini bukan 'Bunda' yang berarti ibuku. Kami hanya akrab sejak sekitar dua tahun lalu ketika bibiku meninggal. Permainan takdir yang membuatku bisa betemu dengan Bunda. Mungkin karena kesamaan nasib yang hidup sendirian, kami dengan mudahnya akrab dan saling menguatkan. Meski begitu, aku sudah menganggap Bunda sebagai sosok ibuku sendiri.

Yang perlu kupikirkan sekarang bukanlah mengenai kehidupanku, melainkan bagaimana bersikap di depan pria yang sejak tadi begitu tenang duduk di hadapanku. Bahkan, dia tak ragu untuk menatapku yang berupaya menghindari kontak mata dengannya. Tidak ada ekspresi keterkejutan yang bisa kulihat darinya. Bukan apa-apa, aku hanya merasa kurang nyaman saja dipertemukan dengan situasi ini.

"Nak Fandi, ini Lia, anak Bunda yang bakal mengurusi perpustakaan di rumah ini." Sekarang giliran Bunda yang mengenalkanku pada Fandi.

Perlahan aku memberanikan diri untuk menatap mata Fandi. Meski tidak begitu kentara, tetapi aku bisa melihat salah satu ujung bibirnya tersungging. Kemudian, dia menghadap ke kiri, seolah sedang mengejekku.

Waktu sudah berputar dan banyak yang sudah berubah. Dalam hitungan menit saja banyak mata uang yang nilai tukarnya berubah, apalagi dengan sifat manusia yang tidak ada patokan pastinya. Aku dan Fandi sudah masa lalu. Kami sudah sama-sama dewasa untuk bisa memaafkan dan saling menerima. Akan sangat kekanakan kalau aku masih menghubungkan kejadian kurang baik di masa lalu dengan yang terjadi sekarang. Saat ini, aku hanya perlu bersikap selayaknya seorang tuan rumah yang berterimakasih kepada tamu yang bersedia membantu keberlangsungan anak-anak di rumah ini.

Aku perlu menanamkan bahwa Fandi yang ada di hadapanku sekarang hanya seorang donatur, tidak lebih. Meski secara fisik, dia tidak berubah, hanya kumis dan brewok yang dibiarkan tidak tercukur bersih dan kulit yang lebih gelap dari sebelumnya, Fandi sudah berbeda. Begitu juga denganku, aku sudah menjadi Lia yang baru, Lia yang tumbuh kuat dari setiap masalah yang kuhadapi.

"Saya Lia," ucapku penuh percaya diri sambil mengulurkan tangan.

Kembali pria yang pernah menjadi bagian dari hidupku selama lima tahun lamanya itu menatap mataku. Cukup lama dia memperhatikanku sampai perlahan tangannya juga terulur. Namun, sebelum benar-benar tangan kami bersalaman sebagai tanda memulai hubhunga baru, deringan ponselnya memecah keheningan. Refleks dia langsung mengambil ponselnya dari saku celana. Dengan cukup tahu diri, aku menurunkan tanganku lagi.

Fandi sempat menoleh ke Bunda sebagai bentuk izin untuk mengangkat panggilan dari seseorang yang sepertinya sangat penting. Wajahnya yang sedari tadi tidak tersenyum, perlahan menyunggingkan kedua sudut bibirnya saat berucap, "Sebentar lagi kujemput. Iya. Hati-hati."

Aku memang pura-pura mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk mengalihkan pandangan dari Fandi, tetapi telingaku masih jelas mendengar kalimatnya itu.

"Pacar Nak Fandi, ya? Kok keliatan bahagia banget begitu," tanya Bunda ketika Fandi sudah selesai dengan panggilannya.

Pria itu tidak menjawab pertanyaan Bunda. Dia hanya memberikan senyuman singkat yang membuatku bisa menyimpulkan bahwa itu adalah tanda mengiakan. Aku bisa berkata begitu karena tidak ada penolakan dari Fandi atas penyataan Bunda.

Sekarang Fandi sudah punya pacar, pasti hidupnya sudah bahagia. Terserah saja. Toh, aku juga baik-baik saja. Mau dia punya pacar, istri, anak, atau selingkuhan pun juga bukan urusanku. Kehidupanku dan Fandi sudah tidak saling terhubung. Sekali lagi perlu kutekankan, kami hanya masa lalu. Ya, hanya masa lalu. Aku tidak punya andil apa pun untuk hidupnya, begitu pula sebaliknya. Memang sudah sepatutnya kalau mantan itu dilupakan, kan?

MEMORI MANTAN (Segera Terbit) #IWZPAMER2023Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang