BAB 3 | Pertanyaan Mantan

64 6 0
                                    

Pertemuan kemarin sangat singkat karena Fandi terburu harus menjemput pacarnya. Aku jadi penasaran, seperti apa wanita yang berhasil menakhlukkan hatinya. Mengingat usianya yang sudah matang, yaitu tiga puluh tahun, aku rasa pacarnya kali ini juga merupakan calon istrinya. Dia tidak pernah main-main dalam menjalin hubungan.

Kutampar pelan pipi kanan dan kiriku ketika tersadar dengan pikiranku barusan. Kenapa juga aku masih memikirkan hidupnya? Konyol sekali.

Segera aku membereskan barang-barangku di meja karena hendak pulang.

"Win, aku duluan, ya," pamitku kepada Windy, rekan kerjaku yang sekarang lembur bertugas menjaga perpustakaan karena ada siswa SMP yang masih belajar untuk persiapan OSN.

Yayasan Bhakti Bangsa ini memang memiliki bangunan yang satu kompleks antara sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas. Salah satu bangunan yang dipakai untuk semua jenjang pendidikan tersebut adalah perpustakaan dua lantai ini.

"Iya. Hati-hati, Sist."

"Siap!"

Jam di tanganku menunjukkan pukul 04.59 WIB saat motorku terparkir di halaman panti yang bernama Rumah Kasih Bunda ini. Sudah ada mobil sedan berwarna hitam milik Fandi yang terparkir. Dari sini pula aku melihat dia yang sedang berbincang dengan Bunda dan beberapa anak yang sedang berpamitan berangkat ke musala yang berlokasi tepat di samping rumah. Asal tahu saja, musala itu juga didirikan oleh Bunda. Pemasukan Bunda sebagai pemilik toko kain di seberang jalan memang tidak perlu diragukan lagi. Dia sudah memiliki tiga cabang dan sekitar dua puluh karyawan.

Nah, ini dia salah satu karyawan Bunda yang juga membantu Bunda mengurus panti.

"Teh Lia udah ditungguin Bunda," ucap Wati.

"Iya," kataku.

Langsung aku melepas helm dan berjalan menghampiri Bunda dan Fandi. Sejujurnya, aku masih belum terbiasa bertemu dengan Fandi. Dulu, saat bertemu aku bisa langsung memeluk atau menggandeng tangannya. Namun, dengan hubungan yang sudah berbeda dan interaksi seperti ini, rasanya masih canggung. Aku hanya belum terbiasa.

"Lia ini suka banget sama perpustakaan makanya betah sama kerjaannya, yang banyak dibilang orang membosankan. Dari dulu dia juga pengen ada ruangan khusus anak-anak yang berisi banyak buku," ucap Bunda.

"Iya. Saya tahu."

Eh, gimana? Aku tidak salah dengar, kan? Kenapa Fandi berkata seperti itu di depan Bunda? Lihat, Bunda sampai mengerutkan keningnya yang memang sudah berkerut saat melihatku.

"Ya, sudah. Kalau begitu, kalian ngobrol berdua aja. Bunda mau ke dapur dulu."

Aku berdeham sejenak saat Bunda sudah berlalu, meninggalkanku berdua dengan Fandi di teras. Suasana sore yang mulai teduh perlahan menemani kami.

"Baru pulang?" tanyanya.

"Iya."

"Masih kerja di perpus Bhakti Bangsa?"

"Iya."

Kenapa malah aku seperti diinterogasi begini? Pertemuan ini bukan untuk mengetahui kehidupan satu sama lain. Kami hanya perlu menyelesaikan urusan, lalu kembali ke kehidupan masing-masing. Iya. Harus begitu.

"Tanah kosong di sana." Aku menunjuk bagian yang berada tepat di hadapan kami. "Bisa dipakai kalau mau bangun bangunan baru. Tapi, kalau bangun bangunan baru, jadinya lama dan perlu banyak biaya. Lebih gampangnya pakai ruangan kosong yang lumayan luas di samping ruang tamu. Itu bisa direnovasi sedikit. Lagian, anak-anak di rumah ini juga nggak terlalu banyak, cuma sebelas aja, Menurutku, ruangan segitu cukup untuk koleksi buku-buku sekaligus ruang belajar. Gimana?" Aku menoleh ke samping meminta pendapat Fandi dari apa yang kujelaskan. Ternyata pria yang tatapannya selalu menenangkan ini sedang memperhatikanku.

"Apa kabar?" tanya Fandi tiba-tiba. "Dari kemarin itu yang mau kutanyakan." Matanya menatapku dengan sangat dalam.

Seketika aku terdiam begitu saja. Aku tidak menduga kalau Fandi masih ingin mengetahui kabarku. Apakah ini pertanyaan yang sungguh ingin dia tanyakan atau hanya sekadar basa-basi?

Belum sempat aku menjawab pertanyaannya barusan, Fandi kembali berucap, "Kamu nggak sedang pura-pura lupa tentang kita, kan?"

Pertanyaan yang begitu tepat diutarakan untukku. Sebenarnya itu pertanyaan sederhana. Aku tinggal menjawab kalau aku baik-baik saja dan tidak lupa kalau kami pernah menjalin hubungan asmara. Namun, entah kenapa lidahku terasa begitu kelu. Ada sesuatu yang selama ini kuupayakan sembunyi sedang berusaha untuk keluar, yaitu sebuah kenangan yang sudah kusimpan di arsip memori, tetapi perlahan mencari cara untuk kuingat kembali.

Tentang kita katanya, tentang aku dan dia. Tentang kami yang memilih berpisah karena berbagai keadaan yang tak mampu kujelaskan. Lebih tepatnya, tentang aku yang memilih untuk mengakhiri hubungan dengannya.

"Hidupmu baik-baik aja?"

Ah ... Fandi! Kenapa dia terus memberikanku pertanyaan beruntun? Tidak bisakah menungguku menguasai diri dulu, lalu menjawab pertanyaannya satu per satu?

Karena tidak mau menuruti suasana yang mendukung untuk bernostalgia ini, aku langsung berdiri.

"Aku baik-baik saja, seperti yang kamu lihat sekarang. Terima kasih sudah menanyakan kabarku," kataku berusaha ceria. Senyuman terbaik juga tak lupa kusunggingkan.

Aku langsung berjalan masuk ke rumah untuk menghindarnya. Entah kenapa tiba-tiba jantungku berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Berbagai peetanyaan Fandi itu seperti menyentil sisi sensitifku. Aku sudah berusaha untuk bersikap biasa di hadapannya. Namun, kenapa dia malah mengorek masa lalu kami? Akan lebih baik kalau aku dan dia benar-benar membuka lembaran baru.

Aku menarik napas dalam-dalam sembari berbicara dengan diri sendiri. 'Aku baik-baik saja, sangat baik-baik saja'.

MEMORI MANTAN (Segera Terbit) #IWZPAMER2023Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang