Part 2. Crazy Idea

5 3 1
                                    

"Mama nggak mau tahu pokoknya kamu harus datang bawa pasangan di acara kawinan Bono. Mama udah capek mengelak dari pertanyaan famili dan teman dekat, kapan giliran Mama mantu. Sementara kamunya cuek, malah menikmati kerja berbulan-bulan di tengah lautan!"

Suara mama terdengar kesal di telingaku. Sudah dua kali wanita tersayang itu menelepon minggu ini, mengingatkan kalau resepsi pernikahan Bono, sepupuku, akan digelar di akhir pekan. Untung saja acara itu bertepatan dengan jadwal liburku setelah 3 bulan lebih bekerja di atas anjungan pengeboran minyak lepas pantai.

"Nggak perlu ditanggapi, Ma. Menikah itu urusan pribadi. Aku belum juga 30, perkawinan belum jadi prioritas ku. Lagian, aku masih ingin jalan-jalan mengeksplorasi kekayaan bawah laut. Siapa tahu ketemu putri duyung," cetus ku setengah bergurau.

"Jangan ngomong sembarangan, Wid! Cobalah untuk serius! Mama Papa makin tua. Cuma kamu satu-satunya penerus kami. Mama ngerti kamu sulit melupakan Maya. Tapi dia kan sudah lama pergi, cobalah untuk membuka hati lagi. Mama yakin dia tidak ingin kamu terus-terusan mengenangnya."

Mama mulai melancarkan serangannya dengan menyebut nama Maya. Semua yang diucapkan wanita bijak itu memang benar, dan mengingatkan kembali akan janji yang belum mampu aku tepati. Sampai saat ini belum ada perempuan yang membuatku terkesan dan hatiku tergerak.

"Iya, Ma. Aku ngerti. Udah dulu ya, ini laporan ku belum kelar. Bos besar sudah bolak-balik nanyain. Nanti aku kabari lagi. Bye, Ma." Aku terpaksa menghentikan percakapan.

Kepalaku pening, apalagi melihat pekerjaan yang belum selesai di meja kerja. Urusan administrasi memang selalu membuatku pusing. Aku lebih suka menangani tugas-tugas lapangan. Mengawasi dari dekat proses pengeboran minyak dan lepas pantai terasa lebih menantang dari pada pekerjaan di belakang meja.

Aku berusaha keras konsentrasi dan menyelesaikan pekerjaan. Entah sudah berapa lama mataku fokus pada layar laptop hingga suara ketukan membuatku mengangkat kepala.

"Maaf, Pak. Ini data yang tadi Bapak minta sama Bu Nita. Beliau minta tolong saya untuk menyampaikan pada Bapak, karena ada keperluan mendadak dan pulang lebih awal," ucap seorang wanita yang berdiri di ambang pintu ruang kerjaku. Ruangan yang tak seberapa besar itu mendadak terasa sempit. Kami hanya terhalang jarak tak lebih dari 2 meter.

Mataku langsung terpaku pada raut wajah yang tanpa make-up, tetapi terlihat segar. Bibirnya merah muda penuh dan ranum. Bola matanya bulat jernih dikelilingi bulu mata panjang melengkung indah. Wanita itu memakai kerudung hitam polos yang menutupi sebagian baju putih atasannya. Ia memakai bawahan rok midi yang juga berwarna hitam panjang sampai mata kaki, membuat tubuhnya terlihat tinggi semampai.

Aku tidak mengenalnya, bahkan baru pertama kali melihat kehadirannya di kantor ini. Kalau melihat warna pakaian yang dikenakan, sepertinya ia salah satu peserta magang, entah dari universitas mana. Seingat ku mereka memulai programnya bersamaan dengan jadwal tugas lapangan ku di lepas pantai utara pulau Jawa sekitar 3 bulan yang lalu.

"Ada yang salah dengan baju saya, ya, Pak?" ucapnya tiba-tiba, membuatku agak salah tingkah setelah beberapa saat cuma bengong menatapnya.

"Nggak, nggak ada masalah dengan penampilanmu. Kamu anak magang ya?" tanyaku memastikan sekaligus menutupi kegelisahan yang tiba-tiba saja datang.

"Iya, Pak," jawab gadis itu sambil mendekati mejaku dan menyerahkan folder tipis, berisi data yang tadi aku minta pada Nita, wakil manager keuangan.

"Sampai kapan program magangnya?" Aku sengaja bertanya supaya pemandangan indah di depan mataku tak segera berlalu.

"Akhir minggu ini, Pak."

"Oh, sudah mau selesai ya? Berarti sebentar lagi program skripsi, dong."

"Semoga saja, Pak. Mohon doanya."

Gadis itu bicara pelan sambil mengusapkan telapak tangan kanannya pada rok hitam yang dikenakannya. Ada nada gelisah dan ketidakpastian dalam suaranya yang membuat hatiku bertanya-tanya. Namun, pikiranku segera mengenyahkan keinginanku memberikan secuil perhatian pada gadis berkerudung itu. Mau lulus cepat atau tidak, persoalan gadis itu bukan urusanmu. Jangan ikut campur!

*

Ini sudah pertengahan minggu. Aku belum juga menemukan gadis yang bisa kuajak menghadiri pernikahan Bono hari Sabtu. Kehidupan sosialku memang agak menyedihkan. Bukannya mengeluh, tapi itulah kenyataannya. Aku tidak punya banyak waktu santai di darat, apalagi jika sedang berada di anjungan pengeboran minyak lepas pantai.

Sebenarnya aku sama sekali tidak keberatan kerja keras demi memuluskan karir. Namun, norma dan budaya sosial, juga tuntutan keluarga belakangan ini membuatku memikirkan tentang pasangan hidup. Aku tidak memungkiri kalau suatu saat kelak pasti akan menikah, meskipun sampai saat ini calon istri belum ada. Jangankan calon istri, pacar aja nggak punya.

"Lagi mikirin apa sih, kok mukamu jutek begitu?"

Tiba-tiba sebuah suara membuyarkan renungan ku. Nita, wakil manager bagian keuangan, sudah berdiri di depan pintu ruang kerjaku yang sempit. Perempuan dengan tubuh agak subur setelah melahirkan anak keduanya itu lumayan dekat denganku, karena suaminya adalah kakak tingkat ku waktu SMU dulu.

"Mikirin gimana caranya dapat pasangan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya!" cetusku.

"Alhamdulilah. Kamu waras juga akhirnya, Wid!"

"Hei, jangan salah sangka dulu! Ini pasangan non permanen, cuma buat teman kondangan doang!"

"Astaghfirullah, apa maksudmu, Wid? Pasangan non permanen? Istilah apaan, tuh?"

Nita menghampiri mejaku dalam beberapa langkah. Perempuan itu menarik kursi dan duduk di hadapanku dengan wajah serius. Kalau sudah begitu, dia tidak akan puas dan akan menunggu sampai aku menjawab pertanyaannya.

Mau tidak mau akhirnya aku menceritakan permintaan Mama yang mengharuskan aku datang ke resepsi pernikahan sepupuku "plus one" alias dengan pasangan. Mendengar penjelasan ku, Nita yang tadinya serius malah tertawa.

"Syukurlah kalau ceritaku bisa jadi bahan hiburan buatmu," sindirku kesal.

"Sorry, aku nggak tahan, soalnya ekspresi mu agak menggelikan. Baru kali ini aku lihat Widianto Wicaksono kelimpungan hanya karena nggak punya pasangan buat datang kondangan." Kembali Nita bicara dengan nada geli campur tawa.

"Jangan cuma ngetawain, bantu cari solusi, kek!"

"Maaf, Bro. Solusi masalahmu sebenarnya mudah, bayar 'lady escort' aja."

Lady escort gundhulmu! Aku mengumpat dalam hati. Ide yang keluar dari mulut Nita seringkali aneh dan nggak masuk akal. Membayar seorang lady escort, itu ide gila!

(bersambung)

******

Hai Readers, apa kabar?
Aku update lagi lanjutan cerita Widi yang sedang pusing cari pasangan untuk teman kondangan. Di usia menjelang 30 tahun tapi belum punya pacar memang agak merepotkan.
Adakah diantara kalian yang seperti Widi? Apa yang akan kalian lakukan?
Ok, tulis kritik dan komentar ya dan jangan lupa untuk vote.

Have a nice day and happy reading!

Endah.

TENTANG SEBUAH JANJIWhere stories live. Discover now