Part 3. Problem Solution

2 2 0
                                    


"Jangan gila, Nita! Aku bukan laki-laki hidung belang! Saran mu sama sekali tidak membantu!"

"Lha, itu kan salahmu sendiri, Wid! Kenapa butuh perempuan cuma buat teman kondangan? Jelas susah cari wanita baik-baik yang mau melakukannya, kecuali dia kekasihmu. Satu-satunya jalan ya cari perempuan yang  memang dibayar untuk menemani laki-laki. Banyak agensi lady escort online, kalau kamu memang mau." Ucapan Nita itu membuatku mengerutkan dahi.

"Wow, kamu sudah ganti profesi jadi mami mucikari? Keren banget!"

"Sialan, Wid! Aku kan cuma bantuin cari solusi. Kalau kamu nggak cocok yowislah, cari aja sendiri!" sungut ibu dua anak itu sambil melotot ke arahku.

"Iya, ini lagi mikir. Masalahnya aku sudah lama nggak kontakan sama teman-teman wanitaku. Nggak enaklah minta bantuan mereka tanpa menyebabkan salah persepsi. Apalagi sebagian besar kayaknya sudah pada married, jelas nggak mungkin."

"Kamu kayaknya cupu banget waktu kuliah? Masa nggak ada mantan satu pun!"

"I'm one woman man! Mantanku sudah pergi ke dimensi lain sejak tiga tahun yang lalu. Aku hanya bisa menjenguknya di pemakaman Karet, kalau tidak sedang berada di anjungan," sahutku sambil membuang muka enggan setelah melihat sinar keterkejutan di mata Nita.

"Sorry Wid, aku baru tahu. Bukan hak ku sebenarnya memberi mu saran. Dia pergi 3 tahun yang lalu, seharusnya kamu sudah bisa move on. Meskipun sulit, hidupmu berjalan terus, 'moving forward' bukannya malah mundur."

"Aku tahu, Nita. Aku juga sudah berusaha, tapi sampai saat ini tak ada perempuan yang menarik perhatianku, apalagi membuatku terkesan," gerutu ku.

"Ah, aku nggak percaya! Aku yakin kamu pasti sering bertemu wanita cantik yang menarik perhatianmu. Tapi rasa tertarik mu akan lenyap begitu kamu membandingkannya dengan almarhum kekasihmu. Kalau kamu terus begitu, hatimu akan terbelenggu selamanya. Mantan kekasihmu pasti nggak ingin itu terjadi padamu."

"Entahlah, Nit. Aku memang sudah janji sama Maya akan membuka hati begitu dia pergi. Rasanya sulit sekali melupakan orang yang benar-benar kita cintai. Ah,  ini kenapa kita jadi ngomongin Maya? Aku kan cuma cari seorang wanita yang mau menemaniku datang ke resepsi pernikahan sepupuku, tanpa ada perasaan tertentu yang mengikat. Aku hanya minta tolong. Kalau perlu aku mau bayar jasanya."

Akhirnya mulutku menumpahkan hampir semua yang sudah lama tersimpan tentang Maya. Ada sedikit kelegaan yang diam-diam kurasakan.

"Sepertinya aku tahu seseorang yang mungkin mau menolong mu," cetus Nita tiba-tiba dengan senyum tipis di bibirnya.

"Jangan bercanda dan nggak usah memberiku harapan palsu, Nit!"

"Aku bukannya kasih harapan palsu, Wid. Ini hanya kemungkinan, win-win solution untuk masalah yang sedang kalian hadapi?" sahut Nita dengan kerut di kening.

"Win-win solution? Apa maksudmu dengan 'kalian'? Jangan melibatkan orang yang tidak berkepentingan, Nita! Apalagi yang nggak kukenal!"

"Duh? Sabar, hoi! Kamu kan sedang cari wanita yang mau menemanimu ke kondangan, berperan jadi kekasihmu, tanpa melibatkan perasaan. Aku ada teman yang mungkin mau melakukannya, dengan syarat dan kondisi tertentu," ujar Nita menatapku.

"Serius?"

"Seriuslah, Wid! Cuma aku belum ngomong sama orangnya, kan aku baru tahu masalahmu."

"Sialan! Itu namanya harapan palsu, Nyonya! Kalau pun nanti kamu ngomong sama gadis itu, belum tentu dia setuju!" cetusku agak putus asa.

"Dengar dulu, masalah gadis itu agak sensitif. Sebenarnya dia sudah wanti-wanti jangan sampai didengar orang lain, off the record. Dia curhat sama aku sebab aku supervisornya. Aku lihat memang kinerjanya belakangan ini agak lamban. Setelah aku desak, akhirnya dia mau cerita tentang masalah yang sedang dihadapinya."

"Wait...wait, jadi gadis ini anak buahmu? No..no...no...! Aku nggak mau kalau dia juga orang kantor ini! Aku nggak tertarik jadi bahan gosip. Mau ditaruh di mana mukaku? Jangan ngaco ah, Nit!"

"Dia bukan orang kantor sini, cuma dia memang sedang magang di sini. Tapi minggu depan kan udah kelar program magangnya."

Mendengar perkataan Nita, hatiku tiba-tiba berdegup lebih kencang. Apakah gadis itu salah satu anak magang di divisi keuangan?

"Aku nggak banyak kenal anak magang, apalagi bagian keuangan. Waktu mereka datang, aku lagi tugas di 'rig'. By the way, siapa namanya?" tanyaku.

"Nama gadis itu Alina. Dia baik dan low profile, tapi memang agak pendiam. Kalau nggak salah, hari Senin kemarin aku suruh dia antar file data yang kamu minta. Waktu itu aku pulang cepat karena ada janji dengan dokter gigi. Kalian ketemu, kan?"

"Iya, sebentar doang. Habis naruh file di meja dia langsung pergi. Aku nggak terlalu perhatian, bahkan nggak sempat tanya namanya," jawabku.  Tiba-tiba saja wajah gadis berkerudung yang muram tapi cantik kembali terbayang di mataku.

"Bohong banget kamu Wid, kalau sampai mata lelakimu melewatkan wajah secantik Alina!" sahut Nita dengan mencibir.

"Apa yang membuatmu berpikir kalau gadis berkerudung itu mau diajak kondangan laki-laki yang baru dia kenal?" tanyaku mengabaikan sindiran Nita.

"Karena kalau laki-laki itu dirimu, Wid,  aku yakin  kamu akan memperlakukannya dengan baik. I know you well. Apalagi ada imbalan yang pantas untuk jasanya, seperti katamu tadi. Dan itu pasti jadi solusi masalah yang sedang dihadapi gadis itu saat ini."

Aku mengerutkan kening mendengar jawaban Nita yang memujiku secara tidak langsung. Aku kenal baik dengan tabiat ibu dua anak yang sedang duduk di depanku. Kalau dia memuji, pasti ada yang diinginkannya. Dan aku mulai bisa menebak kemana arah percakapan kami.

"Gadis magang itu lagi kena masalah? Butuh uang? Terjerat hutang pinjol?" tebak ku asal saja.

"Alina memang punya masalah keuangan, tapi bukan terjerat hutang, Wid. Orangtuanya tidak sanggup membiayai kuliahnya, untung dia dapat beasiswa. Untuk biaya hidup sehari-hari dia dapat dari kerja paruh waktu sebagai 'book keeper' usaha garmen milik tantenya. Yang jadi masalah, dia sekarang butuh biaya untuk penelitian dan skripsi. Dia ingin semester ini bisa lulus, atau paling lambat semester depan. Kalau udah lulus dan pegang ijazah, dia kan bisa cari kerja dengan posisi yang lebih baik."

Aku terdiam agak lama setelah menyimak penjelasan Nita. Sebuah gambaran dari masalah klasik yang sering aku dengar. Diam-diam aku mengapresiasi kerja keras dan usaha gadis bernama Alina itu hingga tahap akhir studinya. Gadis yang terlihat sederhana tapi cantik itu ternyata juga punya otak cerdas.

Akhirnya, aku pun mengambil keputusan sambil berdoa semoga hasil akhirnya nanti sesuai harapan. Meski sebenarnya aku sendiri masih belum yakin, apa sebenarnya yang bisa kuharap dari seorang gadis yang baru kukenal. Ah sudahlah, paling tidak masalahku sudah ada solusinya.

(bersambung)

**************

Hai jumpa lagi, update terbaru cerita "Tentang Sebuah Janji" semoga kalian masih tetap stay tune mengikuti kisah Widi dan Alina. Jangan lupa tulis komentar dan vote ya.

Thanks and happy reading!

Love you all!

Endah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TENTANG SEBUAH JANJITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang