Tetangga Berbahaya

15 3 0
                                    

Punya tetangga janda muda itu bikin resah.

Sorry. Oke, aku ralat.

Punya tetangga calon janda muda itu bikin resah. Apalagi calon janda mudanya punya tubuh montok mirip babi guling -- menonjol di tempat tertentu, berlemak, dan haram. Iya, calon janda muda ini haram bagi para pria beristri. Baru calon janda lho ini, belum resmi menjanda apalagi jadi anak didiknya Abu Janda.

"Perkenalkanh namah akuh Anih," kata tetangga baruku di hari pertama dia datang.

Suaranya ... Bukan salah telingaku, kan? Dia ngomong sambil ... mendesah?

Kupandangi wujud Ani dari atas sampai bawah. Rambut panjangnya bergelombang dengan warna cokelat yang cantik banget. Tubuhnya sedikit lebih tinggi dari aku. Cara berpakaiannya menunjukkan dia punya selera fashion yang nggak remeh. Aku memang nggak paham merek barang ternama, tapi aku tahu mana pakaian yang belinya di kaki lima atau di negara tetangga, Timor Leste misalnya.

"Frannie. Panggil aja Oma Fran," sahutku sambil menjabat tangannya erat. Sebuah jabat tangan tanda selamat datang.

"Inih anakh akuh, Luveh." Dia memperkenalkan gadis kecil di sampingnya. "Ciumh tanganh Budeh duluh, Sayangh," perintahnya.

Benar. Dia mendesah. Gila! Telingaku harus dirukyah secepatnya.

Luve? Bukan. Bukan nama tim sepak bola di Itali, tapi salah satu merek selotip. 

Luve itu lucu. Usianya masih dua tahun, lagi aktif-aktifnya. Pipinya tembam, mirip sama pipi emaknya. Rambutnya keriting gantung sedikit kemerahan, akibat kebanyakan main layangan. Kalau tertawa suaranya mirip tikus kecepit.

"Eh, panggilnya jangan Bude. Kakak aja. Kakak Fran. Umur kita nggak jauh beda, kok," protesku. Kupamerkan senyum paling manis yang kumiliki. Gigi putihku sampai terlihat. Anak kecil itu kan suka sama yang manis-manis. Senyumku ini nggak kalah manis dari permen atau cokelat. Dia pasti suka.

"Nenek," celetuk Luve sambil menunjuk mukaku. Suara tikus berdecit terdengar dari bibir kecilnya. Dia benar-benar berbunyi cicit cicit, menggelikan.

Duh, kalau bukan bocah, sudah aku tendang sampai pluto dia. Ah, salah. Nggak ada orang yang bisa terbang sampai Pluto. Kalau gitu, aku tendang bocah ini sampai ke Palestina aja. Siapa tahu dia bisa membantu meredakan penjajahan di sana. Jadi, hidupnya bisa lebih bermanfaat. 

Kulit masih kencang gini dipanggil nenek. Sabar sabar. Obat darah tinggi mahal.

Katanya, sih, umur tetangga baruku itu baru 23 tahun. Tapi, mukanya terlihat lebih tua dari aku yang baru saja ulang tahun ke tiga puluh bulan kemarin. Ini pasti efek kebanyakan makan ayam yang disuntik hormon. Jadi, tampilan fisiknya dewasa duluan dibanding umur aslinya. Dia pasti menstruasi di umur delapan tahun.

Makanya aku hampir nggak pernah jajan ayam goreng tepung itu. Selain berbahaya, alasan pastinya karena mahal. Sepotong ayam goreng bapak tua berkaca mata itu, sama harganya kayak beli ayam mentah buat sekali makan tiga orang anggota keluargaku. Ayam goreng tepung masak sendiri lebih irit. Emak-emak itu harus pintar mengatur duit, bukan cuma karena pengin terus semua dibeli. Boros!

Eh, atau alasan sebenarnya adalah aku terlahir dengan wajah yang manis banget. Ini kenapa orang-orang memanggilku Oma, singkatan dari Orang Manis Amat. Aku punya alis tipis yang kalau dicukur baru bisa numbuh dua tahun kemudian. Bibirku kecil dan mungil. Hidungku juga minimalis, bukan pesek, ya. Ini bukti aku bukan orang yang serakah. Degan hidung minimalis ini aku nggak bisa menghirup oksigen banyak-banyak. Jadi, aku menyelamatkan dunia dari krisis oksigen yang sekarang udah banyak tercampur polusi. 

Di Kampung Berbudi Luhur ini udah banyak orang terkena diabetes, karena terlalu sering melihat wajah manisku. Nggak ada yang bisa menyaingi peringkatku sebagai orang paling manis di sini, bahkan mungkin di dunia. Coba aja sebut siapa wanita paling manis selain aku. Nggak bisa, kan?

Oma Fran and The Widow Wadidaw!Where stories live. Discover now