09 (Not) Favoritism

19 3 16
                                    

Aku menyaksikan apa itu dunia malam--ralat, bukan dunia dewasa atau kerlap-kerlip kasino haram. Aku bisa mengelilingi kota di malam hari tanpa takut diganggu preman, oh tentu karena aku yang sekarang sedang bertugas sebagai side-kick dari superhero bernama NightQueen yang namanya saja sudah membuat penjahat kota Helling kencing di celana.

Tapi aku belum punya nama sebagai pahlawan sih.

"An, jangan melamun!"

Aku tatap kak Resti yang mendekat ke arahku yang baru saja mengikat dua penjahat yang berhasil dilumpuhkan. Apa mukaku seram ya sampai-sampai dibilang melamun?

"Darling, satu lagi."

Conner terbang rendah sehingga cukup untuk melempar penjahat satunya ke adiknya yang masih newbie. Aku mengeluarkan kembali laso sehingga dengan mudah menangkap sasaran yang setelah aku tilik kembali ternyata sudah tidak sadarkan diri.

"Dududu," Conner bersenandung tatkala menghampiri kami, tapi kemudian mengaduh karena Kak Resti menarik telinganya dengan tenaga agak kuat. "Telingaku kenapa kakak tarik?"

"Kamu ngapain di sini?"

"Aku mau bantuin kalian," ucap Conner optimis. Kakak laki-lakiku yang Jamet  mengedipkan salah satu matanya ke arahku bersikap sok keren. Aku cuma tertawa karena setelahnya kak Resti memukul punggung Conner hingga remaja itu mengaduh. "Aku nggak kabur dari tugas di Metropolis, lagian Superman tidak butuh side-kick."

"Ya kamu jangan ke sini. Bahaya."

Waduh, aku mengamati ketegangan yang terjadi walaupun apa yang bisa membahayakan makhluk kuat seperti Conner di sebuah kota kecil seperti ini? ya, tentu selain tante-tante cantik yang memakai baju seksi.

"Bahaya apa?" Mendadak Conner sok dramatis, "bilang saja Kak Resti lebih sayang Darling daripada aku! aku benci!"

Dia lalu terbang meninggalkan kami.

"Susul nggak, An?"

"Susul, tapi gendong aku."

.
.

Begitu kami mendarat aku mendapati Conner yang tadinya menangis bawang bombai sudah selonjoran kaki dan membuka beberapa bungkus keripik nyaris kadaluarsa yang belum sempat aku buang.

Astaga, sia-sia kami menyusul dia.

"Hm, ternyata aku masih dicintai. Kalian boleh peluk aku-"

"Conner!"

Kak Resti mengamuk, aku melempar bantal yang tepat mengenai mukanya. Conner lantas tertawa terbahak-bahak dengan kedua lengannya melebar dan menarik kami ke dalam sebuah pelukan hangat.

Diperlakukan begini jelas siapapun tidak akan marah, aku justru tertawa kecil walaupun tangannya terpeleset mencubit tangan berotot Conner.

"Jangan ulangi," kata Kak Resti tiba-tiba.

Aku dan Conner memperhatikannya, si wanita paling dewasa dalam keluarga memberikan ekspresi marah bercampur nelangsa. Apa Conner dalam masalah besar?

"Aku nggak pernah membeda-bedakan kalian."

Loh ....

"Aku nggak anggap Ana lebih penting, sebaliknya aku nggak anggap Conner lebih penting. Kalian semua sama di mataku, jadi jangan sampai ada perdebatan soal ini, Oke?"

Aku menyikut Conner, kakakku itu  menggigit kuku-kukunya yang padahal tersembunyi di balik sarung tangan merah terang.

"Maaf, Kak Resti. Aku tadi hanya iseng agar kalian mengikuti ku kembali ke rumah."

Kayaknya nggak cukup deh.

Aku akhirnya angkat bicara. "Ini pesta, iya kan Conner? Pesta kan?"

"Iya!"

Conner menepuk pundak Kak Resti dan membiarkan dia menjadi satu-satunya orang yang duduk di sofa. Aku berlari mengambil sebuah nampan dan berinisiatif menjadikan benda itu sebuah kipas.

"Mohon ampun kepada paduka ratu," ucap aku dan Conner berbarengan.

"Kalian dimaafkan asal kita nonton film."

"ASIK FILM."

"GAS! KITA BEGADANG SAMPAI PAGI BUTA!"

Kami tertidur lelap setelah beberapa menit, seharusnya sih hanya sampai situ sebelum cahaya masuk ke mataku dan sebuah selimut menyelimuti kami yang saling bersandar satu sama lain dengan Kak Resti yang berada di tengah. Dalam keterkejutan sayup-sayup aku membuka mataku. Walaupun tidak jelas bisa aku dapati Lex yang berbalik.

Pria itu menjatuhkan tubuhnya ke sofa lain, melonggarkan dasinya dan mungkin tertidur?

Aku tidak yakin, yang aku yakini hanya kesadaran penuh bila kak Resti dan Conner tidak sepenuhnya tidur. Mereka sama sama bingungnya denganku.

Keluarga BencanaOnde as histórias ganham vida. Descobre agora