03| Pertemuan Pertama

17.9K 1.9K 85
                                    

Lanjutan cerita ini bisa dibaca di storial.co ya, ketik aja judul Tentang Lula di sana. Atau cari akunku TheSkyscraper.

--------------------------

Hari kedua ospek. Doakan aku.

Dengan malas aku memasuki lapangan yang sudah ramai. Tapi tenang, kali ini aku tidak terlambat. Mana berani aku terlambat lagi. Bisa-bisa aku tambah sengsara dikerjai oleh para senior.

"Lul, sini," teriak Winni yang ternyata sudah duduk manis di pinggiran lapangan bersama anak-anak yang lain.

Kemudian aku menghampiri mereka dan ikut duduk di sana. Kali ini, tidak ada barisan seperti kemarin. Semua peserta ospek duduk manis di lapangan. Aku harap, hari ini tak semenyebalkan kemarin.

Kalian tahu apa yang terjadi denganku setelah aku pura-pura pingsan di pelukan Aric? Akan kuberi tahu apa yang terjadi denganku saat itu. Setelah mengetahui bahwa aku pingsan lagi, Aric langsung menggendongku. Dia menggendongku tanpa bersuara sama sekali yang membuatku tenang, tapi juga membuat perasaanku tidak enak. Rasanya aneh.

Saat di gendongan Aric, aku merasa bahwa waktu berjalan sangat lambat. Rasanya lama sekali. Seperti saat kita menunggu jam pulang sekolah, kurang lima menit pun lamanya seperti dua hari. Sangat lama. Entah perasaanku saja atau memang Aric menggendongku keliling kampus juga aku tidak tahu. Yang aku tahu hanya memejamkan mata, jangan sampai terbuka.

Sampai pada akhirnya, tubuhku merasakan empuknya kasur. Di saat itulah gendongan Aric berakhir. Aku bersyukur, kini aku sudah berada di klinik. Memang tak seharusnya aku meninggalkan tempat itu. Namun, aku merasa ada yang aneh pada tempat ini. Tempatnya terasa lebih berisik dari suasana klinik sebelumnya. Bahkan aku mendengar banyak orang berbicara mempertanyakan seseorang yang tadi habis digendong Aric—yang kurasa mereka membicarakan diriku. Aku pun mendengar suara tawa dari beberapa orang. Bahkan aku merasakan ada flash kamera mengenai wajahku. Dan kurasa memang ada yang salah.

Perlahan kubuka mataku, kutatap langit-langit yang terlihat sangat tinggi. Kini aku melihat sekelilingku yang penuh dengan orang-orang yang tengah memandangiku sambil tertawa. Di sekitar sini pun kulihat banyak perlengkapan olah raga seperti bola basket, raket, net, bahkan yang kutiduri bukah kasur—seperti dugaanku sebelumnya—melainkan matras tempat orang guling-guling apalah itu. Akhirnya aku menyadari bahwa aku bukan berada di klinik melainkan di ruang olahraga—entah aula.

Bisa kalian bayangkan betapa malunya diriku ketika menjadi tontonan banyak orang seperti itu? Kalian tidak akan pernah bisa membayangkannya kalau tidak merasakannya sendiri. Serius.

Saat itu kulihat Aric hanya duduk di bangku yang berada di dekat matras dan tersenyum mengejek ke arahku. Aric memang menyebalkan. Aku menyesal berurusan dengannya. 

"Yang bernama Lula harap maju ke depan!" teriak seseorang dari arah tengah lapangan. Segera aku menoleh ke arah tersebut dan mengernyit bingung.

"Lula mana, Lula? Maju ke depan!" teriakan kembali terdengar dari mulut seorang cewek yang kutahu bernama Pinka.

Kini tiba-tiba jantungku berdegup sangat cepat. Perasaanku mulai tidak enak. Apa Lula yang mereka maksud itu aku? Tapi kenapa namaku dipanggil? Aku ada salah apa?

"Lul, nama lo dipanggil," bisik Winni di sebelahku. Aku mengangguk kaku menjawabi ucapannya.

"Yang namanya Lula gue doang apa ya?" bisikku balik.

"Kayaknya," balas Winni memandangku bingung. "Lul, maju deh, sebelum para senior tambah ngamuk." Winni menyenggolku yang membuatku mengangguk pasrah.

Perlahan aku mulai berdiri dari posisiku duduk. Kini beberapa pasang mata tengah memandang ke arahku. Kulihat raut bingung di wajah mereka. Ya, kurasa mereka sedang bingung, begitu juga denganku. Tanpa sengaja pandanganku mengarah pada sesosok cowok yang tengah berjalan santai ke arah lapangan. Oh tidak, itu Aric!

Tentang LulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang