14. Perasaan (2)

124 12 6
                                    

Kinal menaruh tasnya di atas meja. Ia mendengar suara tawa dari belakang. Tawa Jia. Ia menoleh ke sana. Jia sedang bicara dengan Alin. Sudah seminggu sejak Jia bercerita tentang ibunya yang akan menikah lagi. Jia sudah terlihat baik-baik saja. Kinal berpikir betapa mudahnya bagi Jia menerima itu semua, berkebalikan dengan dirinya yang begitu murka oleh keputusan ibunya.

"Gimana perasaan kamu?" tanya Kinal ketika ia dan Jia kebetulan membeli makanan ringan bersama. Kinal memandang lurus pada rak-rak keripik kentang, ia mengambil satu bungkus, rasa rumput laut.

Jia yang menumpuk makanan ringan yang sama menoleh dengan wajah heran. Kurang memahami perasaan apa yang dimaksud Kinal.

"Tentang mama kamu."

"Oh itu, aku baik-baik aja. Udah lebih baik."

"Kamu sama sekali nggak marah?"

"Yah, aku marah. Itu pasti, tapi mau dipaksain gimanapun keadaannya udah begini. Kita nggak bisa maksain kehendak kan? Jadi lebih baik menerima, lagian selama ini mama juga mikirin aku jadi aku pikir dia juga terbebani." Jia membayangkan senyuman hangat ibunya. Ia jadi ingin bertemu dengannya lagi. Namun yang Jia dengar ibunya pergi ke Singapura dan akan tinggal di sana selama menjalani karir modelnya.

Kinal tertegun. Ia berpikir dari mana ia memulai untuk mengikhlaskan rencana pernikahan ibunya. Ia selalu terbayang akan masa lalu, bagaimana dulunya keluarganya bahagia. Ia tidak mau menggantikan kebahagiaan itu dengan hal lain. Apalagi dengan pernikahan ibunya. Tak bisakah para orangtua memikirkan apa yang diinginkan anak mereka?

Kinal memilih menyendiri siang ini. Ia duduk di salah satu kursi di taman sekolah.

"Mama menikah bukan untuk kebahagiaan mama aja, Nal. Mama juga pengen kamu bahagia."

Itu kata-kata ibunya beberapa waktu lalu. Kinal tak dapat mengerti dimana letak kebahagiaan untuknya jika ibunya menikah lagi. Kinal tahu betapa baik dan perhatiannya om Yudi, tapi bagi Kinal ia tetaplah orang lain. Bagaimana kita bisa menerima orang lain dengan mudah untuk menjadi bagian dari keluarga.

"Apa gunanya teman kalo dalam situasi sulit kamu milih menyendiri?" sebuah suara yang amat dikenali Kinal terdengar. Di depannya Sekai tampak berjalan, menghampirinya.

"Ada saat di mana seseorang butuh sendirian." Sahut Kinal seraya membuang muka ke samping. Ia merutuk, haruskah Sekai selalu mencampuri urusannya?

"Apa aku harus stalking supaya aku tahu apa yang terjadi?"

"Apa aku perlu lapor polisi untuk tindak kriminal itu?"

Sekai tertawa. "Bercanda kamu lucu juga."

Kinal mendengus. Ia tidak sedang bercanda. Ia mendapati Jia yang berada tak jauh dari mereka. Terlihat kaget karena mendapati keduanya sedang bersama. Kinal merasa kurang nyaman. Ia beranjak dari duduknya.

"Hei, beneran nggak mau cerita?" tanya Sekai.

"Bukan urusan kamu." Kinal lekas pergi. Sekai tak berusaha menahan. Terlebih karena ia melihat Jia kini melangkah ke arahnya.

"Kamu seneng banget ya bikin Kinal kesel?" ujar Jia sembari menyodorkan soya milk pada Sekai. Ia menerimanya sembari tertawa hambar.

"Kebalik kali, Zee. Dia tuh yang seringnya bikin aku kesel." Ia meneguk soya milk itu dan merasakan kekuatannya terkumpul.

LOOKING FOR MOONLIGHTWhere stories live. Discover now