Chapter 2: Saatnya Eksperimen

11.3K 789 573
                                    

Jumlah penduduk di kota ini tiap tahun kian menurun. Banyak di antaranya yang bunuh diri dengan sengaja membaca buku humor, ada juga yang terbunuh karena digelitiki. Siapa pun yang berasal dari luar kota dilarang masuk dan siapa pun yang ingin menginjakkan kaki keluar dari kota ini akan ditembak mati.

Regresi jumlah penduduk diperparah dengan semakin sedikitnya angka kelahiran. Jangankan memiliki anak, pria dan wanita di usia produktifnya banyak yang memilih untuk tidak menikah di kota ini. Mereka takut kebahagiaan saat menikah akan membunuh mereka.

Bahkan, pernah terdapat kasus kematian pasangan muda empat tahun lalu. Beritanya heboh di media massa, "Dua pasangan ditemukan meninggal saat sedang bercinta". Salahkan aku yang masih anak-anak waktu itu, aku tidak tau seberapa pentingnya berita itu sampai harus dihebohkan. Namun, setelah belajar sistem reproduksi manusia, sekarang aku tau kenapa para orang dewasa dulu sangat heboh membahasnya sampai-sampai berkomitmen untuk tidak berketurunan.

Angka kematian tinggi setiap tahun, angka kelahiran nol, dan kondisi kota stagnan tanpa ada transmigrasi penduduk. Separah itulah kondisi demografi di kota ini lima tahun terakhir. Syarat yang sangat cukup untuk membuat kota seluas 99 Km2 ini terlihat sangat sepi.

Karena itu tidak aneh jika ada sekolah yang tutup karena kekurangan tenaga kerja. Imbasnya para siswa dari sekolah itu didistribusikan ke sekolah-sekolah lain yang mencukupi. Seperti gadis yang duduk di sampingku saat ini. Tahun lalu, Ardian yang duduk dua meja di depanku juga merupakan siswa distribusi dua bulan sebelum ujian sekolah. Makanya tidak aneh kalau ada murid baru setelah dua bulan semester baru dimulai.

Aku akui dia gadis menarik dengan wajah cantik. Rambut berkilaunya tergerai hingga menutupi punggung. Tubuhnya pun ramping dan didukung dengan posturnya yang tegap. Melihatnya baik-baik sekali lagi, aku pasti akan percaya jika dia bilang dia adalah anak konglomerat meskipun itu tidak benar. Akan tetapi, bukan itu yang membuatku tertarik. Dia tersenyum, hanya itu yang membuatku tertarik untuk mengamatinya.

"Umh, ada apa yah?" Gadis itu menanyaiku dengan alis mengkerut.

Ekspresinya seperti khawatir akan sesuatu, tidak tersenyum sedikit pun seperti sebelumnya. Kupikir dia tipe kelainan yang akan tersenyum kapan pun di mana pun, ternyata tidak juga. Ataukah senyum yang dia tunjukkan sebelumnya hanya sebuah ilusi? Kurasa tidak, satu kelas menjadi saksi. Karena itu mereka sengaja menjauhkan meja mereka meski hanya sejengkal.

"Heri! Jangan godain murid baru!" Pak Setiyo menginterupsi pengamatanku. Bukan salahnya sih beranggapan seperti itu.

"Saya gak godain, cuman sedikit tertarik," jawabku sambil membenarkan posisi duduk menghadap ke depan.

"Cieeeee." Pak Setiyo men-cie-i dengan wajah kaku yang sangat jelas menahan diri untuk tidak senyum-senyum. Sungguh keajaiban orang ini masih bertahan hidup dengan kepribadian yang suka bercandanya seperti itu.

Sebelum kembali fokus pada pelajaran, aku sempat melirik gadis di sampingku dari sudut mata. Mungkin karena faktor kulitnya yang putih, ketika wajahnya memerah terlihat sangat jelas sekali. Bibirnya juga berkedut-kedut terlihat kesusahan untuk menahan senyuman. Sekali lagi aku terpikir, apa benar gadis ini bisa tersenyum?

Bel berbunyi tiga kali menjadi pertanda waktunya istirahat pertama. Pak Setiyo segera menyudahi pelajaran Biologi-nya. Sebagian siswa memutuskan untuk pergi makan ke kantin, tapi sebagian besar memilih untuk tetap di kelas karena makan pada istirahat pertama itu bukan keharusan.

Seperti yang kuduga, tidak ada seorang pun yang berani mendekati murid baru di sampingku. Orang yang dipermasalahkan pun tampak cuek saja diabaikan. Dia membereskan buku Biologi dari mejanya dan mengeluarkan buku mata pelajaran berikutnya. Melihat dari tabiatnya, dia sudah terbiasa menyendiri. Dasar ansos.

L.O.LWhere stories live. Discover now