4. Nilai Nol dan Es Tenteng

1K 131 28
                                    

Aku menggedor-gedor pintu kamar mandi yang merangkap sebagai toilet di rumahku. Iron lengah sekali, sekarang sudah pukul setengah tujuh dan aku belum mandi. Dia sudah masuk kamar mandi sejak setengah jam yang lalu dan aku belum mendengar suara air setetes pun yang jatuh ke lantai. Apa yang dia buat?

Bagaimana aku tidak menduga yang aneh-aneh sedangkan dia lama sekali di kamar mandi. Aku jelas saja curiga, pikiranku ke mana-mana.

Sekali lagi aku menggedor-gedor pintu.

"Sabar!" teriaknya dari dalam. Dari nada suaranya dia seperti sedang menahan sesuatu. Lalu terdengar suara hela napas yang memburu. Lagi-lagi pemikiran buruk itu merusak otakku.

"Lagi ngapain sih, Ron?"

"Makai sabun."

Sontak aku membulatkan mata. Apa-apaan ini?

Namun sebelum hal jahat itu bertambah parah Iron sudah keluar kamar mandi dengan muka berkeringat. "Sakit perut. Tapi gak bisa."

Penjelasan Iron tak kudengarkan lagi. Aku langsung masuk kamar mandi. Dan tara, aku tidak perlu minta penjelasan lebih jauh dari Iron. Dari bau-baunya aku tahu apa yang sebenarnya terjadi.

***

Iron tidak masuk sekolah gara-gara sakit perut. Tadi saat aku mandi, dia berteriak kencang, menyuruhku agar segera keluar. Hm, kuduga itu karena nasi goreng super pedas yang dia pesan tadi malam.

Alhasil aku harus pergi ke sekolah sendirian, membawa tas sendirian, dan mengobrol dalam hati sendirian.

Itu awalnya, sebelum hujan turun lagi pagi ini.

Saat aku memasang sepatu, langit tanpa aba-aba langsung menjatuhkan titik airnya tanpa ampun. Hujan deras turun. Aku tidak mungkin bisa pergi ke sekolah dengan berjalan kaki ataupun menggunakan sepeda roda dua. Kalau menggunakan sepeda yang mirip mobil, aku tidak akan mampu mengayuhnya sendiri. Itu terasa berat. Beruntung Ayahku dengan suka rela memberi tumpangan mobilnya untuk mengantarku ke sekolah. Namun tetap saja, di dalam mobil aku merasa sendirian. Ayahku tipikal pria yang kaku dan pelit bicara. Aku terlalu segan untuk memulai percakapan dengannya. Oleh karena itu, di sepanjang perjalanan aku hanya diam termenung sambil memandang embun yang melekat di kaca jendela.

Momen membosankan itu berlangsung selama 20 menit. Iya, 20 menit tanpa bicara bahkan dengan Ayahku sendiri.

Setelah tiba di gerbang depan, aku segera turun dari mobil dan berpamitan dengan Ayah. Tidak ada insiatif baginya untuk mengantarku sampai ke dalam. Hasilnya ya begini, aku terpaksa berlari menuju kelasku yang berada di lantai dua, membiarkan bajuku sedikit basah. Tapi tak apa lah, hitung-hitung rahmat dari yang Sang Pencipta.

Tiba di kelas aku disajikan suasana sepi. Baru ada beberapa temanku yang hadir. Aku bisa maklum, hujan-hujan begini mereka lebih seru bermain bersama selimut, bantal, dan guling kesayangan mereka.

Aku duduk di kursi paling depan seorang diri—harusnya bersama Iron, kalian tahu lah kenapa. Lantas aku dihampiri oleh Teta, si cewek ramah yang cukup popular di sekolah ini.

Teta tiba-tiba duduk di sebelahku. "Iron ke mana?"

Aku menolehnya. "Sakit perut gara-gara kebanyakan makan pedas," jawabku sambil berusaha tersenyum kepada Teta. Kemudian cewek itu balas tersenyum singkat dan menyerahkan sehelai kertas.

"Iron dapat nol nilai mengetik kemarin. Kemudian ini nilai kamu, dapat 70. Aku heran kenapa nilai Iron bisa se-memprihatinkan ini. Dia kukenal sebagai siswa yang pintar dan jenius, tidak mungkin tugas segampang itu dia tidak bisa. Oh ya, sampaikan salamku untuk Iron, semoga dia cepat sembuh." Setelah menutup obrolan, Teta beranjak meninggalkanku. Dia membagikan kertas hasil tes kemarin kepada semua teman kelas kami. Melihat bangku kosong, dia akan melakukan hal yang sama dengan yang ia lakukan tadi: duduk di kursi kosong, lalu memulai prolog sebelum membagikan kertas hasil tes.

"Teman sebangkumu ke mana?"

***

Yang aku heran, siang ini—saat istirahat kedua, cuaca panas. Kerongkonganku mendadak kering setelah pembelajaran kesenian tadi. Kami disuruh bernyanyi lagu klasik yang nadanya tinggi-tinggi. Padahal kalau dipikir-pikir, kami bernyanyi lagu 'balonku ada lima' saja masih sering sumbang. Tapi yang namanya guru memang tidak mau tahu, pokoknya kami harus selalu menyanggupi apapun tugas yang ia berikan. Bahkan mungkin jika kami harus bernyanyi sambil meniup terompet.

"Hei," sapa Teta. Dia merangkul pundakku sebagaimana teman akrab.

"Hei." Aku menjawab kaku. Aku tidak terbiasa untuk berbicara dengan teman sekolah kecuali ada hal penting. Makanya aku sering dianggap rada introvert. Walau terkadang juga sering dianggap gila oleh teman yang benar-benar dekat denganku.

"Mau ke depan gak? Beli es tenteng."

"Aku memang mau beli es tenteng. Ya udah, ayo sama-sama."

Teta mengangguk senang mendengar kalimat ajakanku—yang sebenarnya aku sendiri tidak yakin sudah bilang begitu.

Panas terik matahari membasuh bekas genangan air dari hujan tadi pagi. Kami berkerumun di warung depan sekolah yang menjual es tenteng.

Tangan Teta melasak di antara keramaian. Suaranya yang nyaring membuat suara-suara pelanggan lain tenggelam. "Es rasa alpukat dua! Buruan, Mak! Haus nih, entar saya dehidrasi terus masuk ICU."

Aku hanya berdiam diri di samping warung seperti umpan menunggu mangsa. Tatkala Teta keluar dari kerumunan, cewek itu langsung tersenyum kepadaku.

Aku bingung lagi, dalam waktu kurang dari tiga menit dia sudah mendapatkan pesanan. Sedangkan orang lain butuh waktu lima belas hingga tiga puluh menit.

"Udah!!!" Teta menyengir. Gebetan Iron ini bikin rusuh saja.

Tbc

Kok pendek? Iya sengaja. Biar apdetnya lebih cepat. Terus alur ceritanya bisa runtut, gitu. Bacanya juga ga bosan. Semoga kalian suka. Babay.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 23, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Lost Earth (Uneditted Vers)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang