[2] Parviz

51.2K 2.7K 21
                                    


Almarhum ayah adalah orang yang bersahaja dengan profesi sederhana. Beliau sudah bekerja bertahun-tahun sebagai seorang karyawan rendahan di sebuah universitas swasta terbaik sekaligus termahal di Jakarta. Ayah pernah mengatakan kalau biaya kuliah satu tahun seorang mahasiswa di sana, bisa untuk membeli satu unit rumah kecil seperti milik kami. Saat itu, membayangkan nilai rupiahnya saja, aku merasa tak sanggup.

Ayah sudah mendedikasikan seluruh hidupnya di sekolah tersebut tepatnya sudah lebih dari 20 tahun, sejak ibu masih hidup. Hingga membawanya menjadi karyawan rendahan yang paling dipercaya oleh kepala bagian administrasi Fakultas Teknik untuk membantunya. Sudah menjadi tugas ayah untuk menggandakan, menghitung dan mendistribusikan soal-soal ujian setiap semester. Dulu sepanjang yang aku ingat, kalau ayah pulang larut, artinya mereka dalam masa ujian semesteran.

Seharusnya semua berjalan dengan lancar, hingga peristiwa sialan itu terjadi.

Malam itu pukul delapan, aku pulang dari kerja paruh waktuku menjadi kasir di sebuah departemen store. Ada yang mengganggu mataku ketika sebuah mobil sedan putih mewah berhenti di depan pagar rumahku. Sambil membawa masuk motor bebekku, dari kaca depan yang tidak terlalu gelap, aku melihat bayangan seorang pria duduk di belakang setirnya.

Menyimpan pertanyaan dalam hati, kakiku berayun hendak masuk ke rumah. Tetapi percakapan tidak biasa yang terjadi di ruang tamu menghentikan ayunan kakiku.

Aku berdiri terpaku di tempat.

"Tenang saja, Pak Parviz. Saya hanya butuh dua mata kuliah saja. Bapak maunya berapa, sebut saja. Saya bisa sediakan sekarang. Bapak berikan copy-nya besok nggak apa-apa. Saya jamin, tidak ada yang tahu urusan kita." Suara seorang laki-laki dengan nada sedikit memaksa.

Telingaku menegak waspada.

"Maafkan saya, Mas Fidel. Mending mas belajar saja. Lagipula, Mas Fidel itu calon pemimpin bangsa masa mau menyuap saya begini. Di samping saya nggak berani, apa yang mas lakukan sekarang sudah merusak masa depan Mas Fidel sendiri." Kali ini terdengar suara ayah menyahut.

Degup jantungku meningkat. Sepertinya aku bisa menebak arah pembicaraan di dalam.

"Sudahlah, Pak Parviz. Urusan moral biar jadi urusan saya. Saya tahu kok kondisi bapak sekarang. Bapak tidak perlu malu. Ayo, sebut saja." Laki-laki itu semakin mendesak. Aku menahan napas.

Jangan terima, Ayah! Jangan mau! Kita memang miskin, tetapi kita tidak serendah itu!

"Benaran, Mas. Saya nggak bisa." Ayah masih menyahut dengan sabar. Kedua kakiku sudah gatal ingin masuk dan menampar mulut laki-laki ini.

"Ayo, Pak. Sebut saja." Desakannya makin kuat. Kesabaranku sudah menguap habis. Tanpa mempertimbangkan kesopanan lagi, aku bergerak masuk dan membuat terkejut dua orang di ruang tamu kami.

"Ayah saya sudah bilang TIDAK. Kamu tidak bisa dengar?!" Aku langsung mengarahkan telunjukku pada laki-laki tersebut, yang ternyata adalah seorang mahasiswa jika dilihat dari wajahnya yang masih muda sepertiku.

"Rara, jaga sikapmu!" Melihat aksi dadakanku, kontan ayah berdiri dengan wajah merah padam karena aku sudah tidak bersikap sopan pada tamunya. Tergesa-gesa ayah menurunkan lenganku. Dari mulutnya keluar permintaan maaf pada tamu tak tahu diri di rumah kami sekarang. "Maafkan putri saya, Mas Fidel. Kadang-kadang putri saya memang nggak punya sopan santun."

Namun, emosi sudah membakar diriku. Apalagi mendengar kata-kata ayah barusan.

"Sekarang juga, silakan kamu keluar dari rumah kami," desisku tajam. Kedua mataku melotot penuh amarah padanya.

[END] Conditional LoveWhere stories live. Discover now