[3] Sebuah Ketidaksengajaan

46.6K 2.8K 43
                                    


Pukul setengah tujuh pagi, seperti biasa aku mengayunkan kaki keluar dari lift di lantai 9. Departemen Procurement yang menjadi tanggung jawabku menempati salah satu ruangan di lantai 9 ini bersama dengan lima departemen lainnya. Sedangkan Departemen IT dan HRD mengisi ruangan di lantai 10, bersama dengan ruang kerja CEO perusahaan ini, meeting room, storage room dan server room.

Departemen Procurement hanya memiliki dua orang staf saja yaitu aku dan Cory serta seorang manajer bernama Pak Aidan. Bos kami ini diam-diam memiliki banyak pengagum—termasuk dua orang stafnya. Selain wajahnya tampan yang setara dengan bintang iklan produk pria dewasa atau pemain sinetron, Pak Aidan juga seorang atasan yang baik kepada anak buahnya. Meski kalau ditelisik lebih dalam, alasan kami semua sebenarnya adalah karena Pak Aidan masih berstatus lajang.

"Selama belum ada yang mengikat di jari manisnya, Pak Aidan itu masuk wilayah domain publik, An. Siapa saja boleh memperebutkannya. Bebas! Dia sendiri juga ngerasa kok kalau banyak yang suka." Demikian pendapat Cory secara pribadi. Aku hanya mengiakan pendapat Cory saja, tetapi pada akhirnya aku ikut-ikutan seperti mereka—diam-diam menjadi pengagum gelap Pak Aidan.

Bicara tentang Cory, pada awal-awal aku bekerja di perusahaan ini, aku tidak terlalu berharap bisa akrab dengan Cory. Di hari pertama aku dibawa Pak Aidan untuk berkenalan dengan Cory, kedua bola matanya sudah menatapku penuh penilaian. Pada hari berikutnya aku langsung menyadari kalau tidak ada kesamaan dalam diri kami yang memungkinkan kami cocok dalam berteman. Cory banyak bicara bahkan cenderung cerewet, sedangkan aku lebih banyak diam dan memendam perasaan. Kalau Cory yang memang sudah cantik dari sana, selalu tampil modis, sebaliknya denganku yang hanya tampil sederhana.

Namun, seiring berjalannya waktu aku mulai suka dengan gaya blak-blakan Cory. Selain aku mendapati kenyataan yang membuatku makin menyukainya, yaitu Cory ternyata adalah tipe orang yang setia kawan. Wanita ini dengan senang hati akan membantuku tanpa perlu aku meminta padanya terlebih dahulu. Seperti hari ini.

Kakiku tiba di kubikelku dan mataku menemukan temanku tersebut malah sudah duduk manis di balik kubikelnya.

"Masalahmu dengan Hitech sudah kelar, An?" Melihatku datang, tanpa perlu repot-repot melongokkan kepala, Cory bertanya dengan suara nyaring dari balik dinding pembatas sebatas dada ini.

Tempat kami memang hanya memiliki dua ruangan. Ruangan pertama isinya kubikelku dan Cory, ruangan satunya lagi yang lebih kecil dan tak jauh dari kami adalah ruang kerja Pak Aidan. Alhasil, kami mau bicara dengan berteriak pun tidak akan mengganggu departemen lain yang berada berbeda ruangan dengan kami. Aku menyimpan tasku ke dalam laci meja kerja dan berjalan mendekati meja Cory. Wanita ini menengadah dari gelas kopi dan green tea bun favoritnya. Jarinya menunjuk pada roti bun di atas meja kerjanya, aku hanya menggeleng pelan. Aku sudah sarapan di rumah.

"Sorry, kemarin aku nggak bisa support apa pun. Aku harus membuat summary report tagihan vendors kita. Biasa, orang finance kalau closing date lagunya sudah kayak debt collector sama kita." Imbuh Cory dengan mulut penuh dengan gigitan roti bun.

"Report-nya sekarang sudah kamu submit?" tanyaku sedikit khawatir. Jangan sampai belum.

"Sudah. Nanti jam 10 aku submit ke finance. Hitech sendiri bagaimana, An?" Cory balik ke topik awal. Ia menempelkan selembar tisu ke mulutnya, lantas menyesap kopi pelan-pelan dari gelas kertas di tangannya.

"Sudah selesai. Kemarin dibantu Pak Aidan negosiasi dengan orang Hitech untuk sortir, yang di line produksi juga." Aku menjelaskan dengan singkat.

"Aku iri deh sama kamu. Pak Aidan kalau sama kamu perhatian banget. Masalahmu di monitor terus sama dia sampai detail. Beda banget perlakuannya dengan supplier yang aku pegang. Kalau customer belum maki-maki aku, dia nggak bakal turun tangan. Sebel, ih!" ujar Cory sewot, hingga mulutnya maju beberapa senti. Sahabatku tersebut sudah selesai berurusan dengan sarapannya. Tangannya meraup bekas pembungkus makanan dan minumannya dengan cepat sebelum kena tegur Pak Aidan karena sudah membawa makanan ke atas meja kerja.

[END] Conditional LoveWhere stories live. Discover now