Antarkasma - 6

437 84 25
                                    

SELAMA BEBERAPA WAKTU, Raka merasa aman karena mengikuti segala hal Yang Terlupakan ini lakukan. Mereka tak pernah berkata 'aku', selalu menggunakan kata ganti 'kami' dan kata ganti orang ketiga. Entah kenapa mereka pun tampak segan terhadap Raka. Mereka tidak makan maupun minum; juga selalu bicara dengan geraman rendah dari tenggorokannya. Meskipun begitu, setiap gerak-gerik mereka tak pernah membuat jantung Raka tidak berhenti. Tak jarang Raka didekati, diendus, bahkan ditatap dalam-dalam seolah-olah ia adalah sebuah benda asing yang harus dikenali lebih lanjut. Entah apa yang terjadi jika mereka tahu identitas Raka yang sebenarnya. Kemungkinan besar ia akan celaka.

Di tengah upaya Raka agar bisa kerap membuka mata, ia mendengarkan perbincangan antara satu sosok dengan sosok yang lainnya. Mereka tak pernah menyebut nama yang akrab di telinga sehingga sulit bagi Raka untuk memanggil yang satu dengan yang lainnya. Mereka bilang mereka tak bernama; hanya mereka yang mempunyai wujud nyaris menyerupai manusialah perlahan mendapat panggilannya sendiri.

Memori-memori itu terbentuk, katanya, dari organ-organ serta anggota tubuh yang disematkan oleh wujud Yang Terlupakan, membentuk sebuah entitas baru. Nama yang tersematkan mereka ambil dari tumpukan memori itu. Tujuan mereka cuma satu: pergi ke sebuah dunia baru —Permukaan Atas maupun Bumiapara— untuk mendapatkan sebuah kehidupan dan menikmati apa yang disebut dengan 'hidup'.

Kenapa mereka begitu terobsesi akan kehidupan, pikir Raka. Ya, menjadi manusia tentu saja menyenangkan dengan segala pesta, musik, dan juga makanan enaknya, tetapi tidak sesederhana itu 'kan? Manusia perlu istirahat, perlu memejamkan mata dan mengembalikan energi yang habis, perlu memikirkan uang yang sulit dicari, perlu buang air, perlu segala hal yang lebih kompleks hanya karena sebuah sistem. Kenapa yang terlupakan ini ingin sekali ke Permukaan Atas?

Alih-alih menanyakan hal itu secara langsung, Raka berdalih, berusaha mencari celah dari pembicaraan agar bisa masuk ke inti pertanyaannya. "Apa kalian tidak lihat?" ucap sosok bermata kambing, "tanah ini telah mati. Tak bisa kalian sebut rindang, pun kabut yang tebal menggelapkan segala hal."

"Betara Surya," ucapnya, "Sebuah entitas besar nan agung yang memberikan kehidupan... sang matahari."

Mengerutkan alis, Raka bertanya, "Dan dari mana kalian tahu nikmatnya matahari?"

"Kisah. Kisah yang selalu dinyanyikan sebelum semuanya tertimpa kabut dan kegelapan. Kejayaan Antarkasma dan anak-anak buangan dari Sang Pencipta."

Sang Pencipta? Tuhan? Huh, ini hal yang baru, pikir Raka.

Sosok-sosok itu terdiam, udara dingin membuat Raka tak kuasa merapatkan lagi jaketnya. Tubuh serupa bayangan mereka tak bisa merasa kedinginan maupun menggigil. Suara rendah bergemuruh terdengar tak lama kemudian, melantunkan nada-nada yang asing di telinganya. Tanpa komando maupun aba-aba, nyanyian kisah ini bagaikan sebuah dongeng yang diberikan anak cucu sebelum tidur. Beberapa katanya terdengar asing namun tak lama dirinya terasa merinding. Di balik tengkorak hewannya, Raka hanya bisa mendengarkan larik-larik yang suram dari sebuah balada.

Segala ihwal yang disentunya 'kan kehilangan mahia kehidupan.
Bentala tandus tiap setapak yang dilangkahkan.
O dialah Sang Kegelapan; anak Tuhan, anak Tuhan

Dijatuhkan oleh-Nya bagai nila ke bumi tanpa nama
Hancurkan segala satwa dan rimba; tandas, kandas.
O dialah Sang Kegelapan; anak Tuhan, anak Tuhan

Kembalilah kau anak-anak bintang,
Percayalah kau akan pulang.
Baskara kan menyambutmu kala datang
O merekalah yang terbuang; Yang Terlupakan, Yang Terlupakan

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now