Antarkasma - 7

450 81 13
                                    

LANGIT KELABU dan minimnya cahaya membuat Raka tak bisa membedakan siang siang atau malam. Kabut yang turun pun membuat jarak pandangnya tak bisa melebihi lima meter. Kilatan petir berwarna ungu terkadang muncul dari arah selatan seolah-olah ada badai di sebelah sana; di satu sisi tampak mengerikan namun di sisi lain membuat langit sedikit lebih berwarna.

Ia duduk di tanah yang gersang itu, terkantuk-kantuk. Mengamati langit pun jauh lebih membosankan daripada menunggu Cyrus dan pria asing itu berargumen. Rasanya sudah setengah jam berlalu untuk menanti perbincangan mereka berakhir. Raka merapatkan jaketnya lagi. Lehernya nyeri, seluruh tubuhnya berkedut sakit, tubuhnya juga bau amis. Ia merogoh kantong, menelan analgesik yang Dee berikan untuk meredam sakitnya. Menarik napas, kekesalannya pun kian menumpuk. Terdengar Cyrus menyebutkan namanya beberapa kali; seolah-olah Raka tidak berada di sana. Hal ini membuat Raka ingin memuntahkan amarahnya.

"Kau tahu aku enggak tuli 'kan?" tanya Raka sinis, memicingkan mata, "Kau menyebutkan namaku berkali-kali. Apa masalahmu?"

Cyrus menoleh, begitu pula dengan pria berwajah tirus di sampingnya. Mereka berhenti berbicara untuk beberapa saat sampai akhirnya Cy berkata, "Mau kuberi tahu pun, kau tidak akan mengerti, Hiraka. Duduk manis sajalah di sana sampai kami selesai."

Raka mengerling. Ia bangkit dari duduk, melipat kedua tangannya, "Yang benar saja? Aku sudah cukup sabar menunggu kalian bacot dengan bahasa asing. Kau harus menjawab pertanyaan, Cy! Seperti, kenapa kau bisa di sini?"

Mata hitamnya dipicingkan, ia menggelengkan kepala, "Aku menyelamatkan nyawamu dan pertanyaan yang muncul adalah 'kenapa aku di sini'?! Manusia itu memang tidak punya rasa terima kasih ya. Bahkan ikan saja masih berterimakasih pada Tuhan! Memangnya pertanyaanmu ini sepenting itu sekarang, Hiraka? Tidak. Bukannya kau mencariku? Dan disinilah aku, sang pangeran berkuda putih, menyelamatkanmu untuk kesekian kalinya. Lagipula Celene kalah suit. Dia yang seharusnya datang, tapi aku terlalu malas untuk pergi ke tempat Masou, kau tahu. Puas?"

Raka mendengus. Memang yang menyelamatkan Raka pada akhirnya adalah Cyrus, tapi yang menyelamatkan dia di saat genting adalah si pria berwajah tirus itu. Menelengkan kepalanya, Raka baru menyadari bahwa dari seluruh makhluk, monster, atau apapun itu yang mengejarnya, pria ini merupakan satu-satunya seseorang berwujud manusia utuh yang ia temui. Menyadari hal itu, tubuhnya bagai membeku.

Saat Cyrus hendak berbicara lagi dengan si pria asing, Raka cepat-cepat mencegahnya, "Tunggu. Kau mau membuatku menunggu setengah jam lagi? Aku butuh jawaban, oke?"

Cy mengerling, mendekati Raka dan berbicara sembari membelakangi pria asing itu. "Waktu tak bisa menunggu, Hiraka," ucap Cy dengan suara seraknya.

"Ya, tapi kau membuatku menunggu," balas Raka tanpa basa-basi, "Pertanyaannya adalah apa kita bisa mempercayai orang itu? Dia manusia 'kan?"

"Memangnya itu penting? Kau bisa memercayainya, tapi terlalu banyak masalah bagiku bersama orang itu jadi aku memilih untuk tidak. Tidak banyak manusia yang bisa kau lihat di sini, jadi ya tentu saja dia manusia. Kau pikir orang itu bukan manusia karena kau belum pernah melihat manusia lain sejak datang ke sini 'kan? Dia bisa jadi yang terakhir, bisa juga bukan. Kau ingat apa yang dikatakan Celene? Jangan membuatku kecewa."

Raka menyebutkan kata kuncinya setelah berpikir sejenak, "Pintu menghubungkan, warna menjelaskan, pikiran membentuk jalan, dan terakhir kekuatan pikiran?"

"Ya benar, pintu. Sekalinya kau menemukan pintu yang tepat, mungkin kau tidak akan masuk ke sini. Kalau beruntung, kau bisa terdampar ke sebuah tempat yang penuh dengan manusia. Mungkin mereka sedang berpesta atau mungkin sedang berduka, yah siapa tahu. Meskipun begitu aku sangat meragukan hal itu," kata Cy, "karena dia sendiri sudah mencari pintu itu untuk kembali dan belum pernah menemukannya."

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now