| p r o l o g |

4.5K 472 18
                                    

"Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam. Tujuh. Delapan. Sembilan. Sepuluh. Mel datang!"

Seorang anak perempuan membuka matanya dan tersenyum lebar. Poni yang menutupi dahinya ia singkirkan, lalu ia berjalan menyusuri taman yang dipenuhi anak kecil lain yang bermain.

"Mal, kamu di mana?" kata anak perempuan itu sambil menutup mulutnya menahan tawa. "Mel pasti bisa nemuin Mal."

Ia berjalan menuju sebuah perosotan berliku yang memungkinkan seseorang bersembunyi di baliknya. Anak perempuan itu menahan napas dan menutup mulut agar tidak berisik.

"Mal kena! Boo!" teriak anak perempuan itu dari balik perosotan, mengagetkan seseorang di baliknya.

Dari balik perosotan muncul seorang anak laki-laki dengan senyum lebar memamerkan gigi kelincinya yang hilang. Ia berpura-pura kesal, lalu berkata, "Yah, Mel jago banget mainnya. Mal kena terus."

"Ayo gantian," kata Mel sambil menarik tangan anak laki-laki bernama Mal itu. "Mel mau ngumpet sekarang—"

Suara petir yang memecah langit mengagetkan keduanya. Mel menggenggam tangan Mal erat, ia memandang temannya itu dengan pandangan khawatir.

"Mel, besok lagi yuk, mainnya? Udah mau hujan, nanti Mel kehujanan," kata Mal sambil balik memandang anak perempuan itu.

Mel menggeleng. "Mel nggak takut hujan, kok. Mel mau ngumpet dulu. Ya?"

Awalnya anak laki-laki itu tampak akan menolak, tapi setelah Mel memberikan pandangan memohon sambil mengatupkan kedua tangannya di dada, akhirnya ia luluh juga.

"Ya udah, Mal hitung sampai sepuluh, ya? Ayo ngumpet!" perintah Mal sambil berbalik dan menutup matanya. "Satu, dua, tiga ...."

Mel berlari menuju salah satu semak di ujung taman dan menunduk. Ia tertawa kecil, pasti temannya itu tidak akan berhasil menemukan tempat persembunyian ini.

"Sepuluh!" kata Mal, ia langsung berbalik dan mulai mencari berkeliling.

Taman sudah semakin sepi, anak-anak lain yang tadi sibuk berlarian ke mana-mana sudah menghilang. Beberapa dari mereka merengek dan ditarik oleh ibu atau mbak yang menemani.

Rintik hujan mulai jatuh ke permukaan bumi. Mal menengadahkan tangan, perlahan semakin deras rintiknya. Ia berjalan terburu-buru mencari temannya.

"Mel, kamu di mana? Udah hujan, ayo pulang," kata Mal sambil memutari taman dengan terburu-buru.

"Mel, Mal ngaku kalah, deh. Ayo muncul," katanya lagi ketika hujan turun semakin deras. Ia mulai merasa panik. Setengah berlari, ia menuju sisi taman yang lain dan hendak mencari di semak-semak. Namun, tiba-tiba sebuah tangan menariknya.

"Den, ayo pulang. Udah ditunggu Mama."

Seorang perempuan tua berusia hampir lima puluh tahun menahan lengan anak laki-laki itu. Mal memberontak pelan. "Mal mau cari Mel dulu, Bi."

"Nggak bisa, Den. Mama udah nunggu, Den kan mau berangkat ke Jakarta," kata perempuan itu. Ia menarik lengan Mal yang terus meronta lalu menggendongnya sambil memayungi tubuh.

"Mel! Mel!" teriak anak laki-laki berumur empat tahun itu kencang. "Mel!"

Hujan turus semakin deras, membuat suaranya ditelan ruang hampa. Anak laki-laki itu menangis, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya terus tersedu sambil memanggil nama temannya.

"Mel, maafin Mal," katanya sambil terisak.

✩ ✩ ✩

Suara tangis anak perempuan itu semakin keras, berbanding lurus dengan suara hujan yang deras. Petir sesekali terdengar, membuatnya meringkuk memeluk lutut ketakutan.

"Mal," panggil anak perempuan itu pelan. Ia merasa dadanya sesak, dan seluruh tubuhnya bergetar. Takut, khawatir. Semua perasaan itu menjadi satu.

Ia mencoba bangun, tapi sesak membuatnya kembali terjatuh. "Mal, Mel di sini."

Terus berulang kali, sampai akhirnya ia kembali terjatuh dan bersandar di salah satu batang pohon di dekatnya. Ia meringkuk dengan tubuh gemetar.

Anak perempuan itu menangis, merasa kesal sekaligus sedih. Ia tidak tahu perasaan apa ini, tapi ia sangat ingin marah sekaligus bertemu dengan temannya, Mal.

Napasnya mulai putus-putus, ia mulai kehabisan napas karena rasa takut menyerang dan memberinya tekanan lebih tinggi.

"Mel?" panggil seseorang.

Anak perempuan itu menoleh dan tersenyum senang. Namun, ekspresi itu hanya sesaat, detik setelahnya ia kembali murung dan meringkuk sambil memegangi dadanya yang sesak.

"Mel ayo pulang, dicari sama Om Anwar. Kenapa masih di sini?" tanya anak laki-laki berbadan gempal yang menghampirinya sambil memegang payung.

Mel tidak menjawab, ia hanya menangis sambil memegangi dada. Anak laki-laki dengan payung itu menunduk, lalu menarik tangan Mel.

"Mel, kenapa?"

"S—sesak," kata Mel pelan. "T—takut."

Tangisnya pecah dan tubuhnya gemetar. Anak laki-laki itu semakin mendekat ke arah Mel dengan panik. Ia mengusap pipi Mel berusaha mengembalikan Mel yang ceria seperti biasa.

Bibir Mel membiru. Pandangannya mulai kabur, dan tubuhnya gemetar hebat. Entah ide dari mana, anak laki-laki itu tiba-tiba membuka mulut.

The itsy-bitsy spider
Climbed up the water spout
Down came the rain
And washed the spider out
Out came the sun
And dried up all the rain
And the itsy-bitsy spider
Climbed up the spout again

Berulang kali, terus menerus. Hingga beberapa orang datang menghampiri keduanya dan mengangkat tubuh lemas Mel. Anak laki-laki itu terus bersenandung, sampai suaranya ditelan hujan. Namun, ia sempat melihat Mel tersenyum ke arahnya, dan itu sudah cukup.

The itsy-bitsy spider
Climbed up the water spout
Down came the rain
And washed the spider out
Out came the sun
And dried up all the rain
And the itsy-bitsy spider
Climbed up the spout again

✩ ✩ ✩

a Puzzling of Journalism [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang